Mohon tunggu...
willem wandik
willem wandik Mohon Tunggu... Anggota DPR RI -

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Realisasi Belanja Pemerintah Menurun dan Utang Meningkat, Bahaya Bagi Konsumen di Dalam Negeri

24 Februari 2016   05:18 Diperbarui: 24 Februari 2016   11:23 287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="rendahnya serapan anggaran dalam belanja Pemerintah semakin memperparah kondisi ekonomi Indonesia"][/caption]DEP PU&PK DPP DEMOKRAT – Fakta statistik yang cukup mengejutkan, ditengah-tengah perlambatan ekonomi yang terjadi di Indonesia, justru Pemerintah mengalami kesulitan untuk mengharmonisasi komponen belanja anggaran yang direncanakan dalam alokasi belanja APBN, agar tepat waktu dalam menjadwalkan realisasinya. Peran Belanja Pemerintah sangat penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi agar tetap berada dalam trend pertumbuhan yang dipandang positif, sebab berharap dari keuntungan yang bisa diperoleh dari pasar yang disediakan oleh ekspor komoditas tentunya masih dihadapkan pada kondisi rendahnya permintaan yang diyakini masih mengalami kontraksi dalam jangka panjang. Banyak para pengamat ekonomi yang menyalahkan rendahnya permintaan global terhadap komoditas yang selama ini menjadi produk andalan Indonesia untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi di dalam negeri.

Pentingnya untuk menjaga realisasi anggaran Pemerintah Pusat agar tepat waktu dan mencapai target realisasi yang mendekati angka sempurna 100%, sepertinya masih menjadi masalah utama di pemerintahan hari ini. Mempelajari besaran realisasi anggaran yang berhasil dicapai oleh Pemerintah dalam APBN 2015 kemarin, justru menampilkan angka-angka yang tidak begitu menggembirakan. Kondisi ini semakin meyakinkan publik, bahwa sumber masalah rendahnya pencapaian target realisasi belanja Pemerintah, justru berasal dari sejumlah masalah yang telah banyak dikeluhkan selama ini, mulai dari harmonisasi perubahan nomenklatur dalam Pemerintahan, hingga permasalahan yang terkait dengan rendahnya penyerapan pendapatan negara yang berdampak pada semakin kecilnya output anggaran yang bisa di kelola oleh Pemerintah.

[caption caption="Position Realisasi Belanja Pemerintah Pusat dalam APBNP 2015 (Sumber Kemenkeu, 2016)"]

[/caption]

Berdasarkan laporan realisasi yang diterbitkan oleh Kementerian Keuangan menunjukkan realisasi belanja Pemerintah Pusat menjelang akhir Tahun 2015 hanya mencapai 71,4% atau sebesar Rp 942,1 Triliun, lebih rendah dari rencana belanja Pemerintah Pusat yang ditargetkan dalam APBNP 2015 yang seharusnya mencapai Rp 1319,5 Triliun. Komponen belanja yang berpengaruh penting dalam rendahnya realisasi belanja Pemerintah Pusat terletak pada realisasi belanja barang dan belanja modal yang masing-masing hanya mencapai 62% dan 51,1%. Besaran realisasi belanja barang di periode akhir APBNP 2015 hanya sebesar Rp 161 Triliun, lebih rendah dari target yang ditetapkan dalam belanja Pemerintah yang seharusnya sebesar Rp 259,7 Triliun. Sedangkan nilai realisasi belanja modal di periode akhir APBNP 2015 hanya mampu direalisasikan sebesar Rp 129,3 Triliun, lebih rendah dari target yang rencakanan dalam belanja Pemerintah yang mencapai Rp 252,8 Triliun.

Sempat menjadi polemik diawal Pemerintahan baru terbentuk, dengan skema pencabutan secara besar-besaran subsidi bahan bakar fosil (minyak) dengan opsi pengalihan subsidi ke sektor infrastruktur dan subsidi sosial, justru pada hari ini mengalami sejumlah masalah dalam pendistribusian anggarannya. Hal ini bisa dilihat pada rendahnya realisasi belanja modal “termasuk infrastruktur” yang hanya mencapai 51,1% dari target yang ditetapkan dalam APBNP 2015. Belanja bantuan sosial yang ditargetkan sebesar Rp 103,6 Triliun dalam rencana belanja APBNP 2015 hanya mampu direalisasikan sebesar Rp 84,7 Triliun. Selain itu, subsidi non-energi (seperti subsidi pertanian, perikanan, kesehatan, dll) yang ditargetkan dalam belanja APBNP 2015 hanya mampu direalisasikan Rp 52,3 Triliun, padahal target yang ditetapkan dalam rencana belanja APBNP 2015 mencapai 74,3 Triliun.

Kondisi realisasi belanja Pemerintah Pusat yang rendah tersebut, memberikan feedback negatif terhadap pertumbuhan ekonomi di dalam negeri yang semakin diperparah dengan penurunan daya beli masyarakat. Pemerintah tidak mampu mempertahankan position-nya untuk tetap menjaga kontribusi sektor belanja Pemerintah menjadi bagian penting lain, dalam mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh menurunnya konsumsi masyarakat dan rendahnya permintaan komoditas di dalam negeri. Ketaatan pada Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) yang ditetapkan oleh Pemerintah menjadi sesuatu yang penting pada hari ini, dan Pemerintah Pusat justru terkesan tidak detail memperhatikan masalah ini.

[caption caption="Keseimbangan Primer Neraca Keuangan Pemerintah Indonesia dalam Realisasi APBNP 2015 (Sumber Kemenkeu, 2016)"]

[/caption]

Sekalipun realisasi belanja Pemerintah serendah yang ditampilkan dalam laporan kinerja APBNP 2015, justru hal tersebut tidak berpengaruh pada semakin rendahnya defisit anggaran “fiscal space” yang dialami oleh APBNP 2015. Mengapa demikian, seperti sebuah siklus yang saling mempengaruhi, bahwa sektor hulu penerimaan negara sangat terkait dengan bagian hilir anggaran yang melakukan kerja penyerapan anggaran yang tergambar pada keseimbangan primer realisasi APBNP 2015. Dalam laporan terakhir realisasi APBNP 2015 justru keseimbangan primer neraca keuangan negara mengalami defisit terlalu besar yang mencapai negatif Rp 177,6 Triliun, yang seharusnya hanya mengalami defisit sebesar Rp 66,8 Triliun seperti yang direncanakan dalam APBNP 2015. Secara jelas, defisit ini tidak perlu dideskripsikan sebagai kesalahan pemerintahan sebelumnya, seperti yang sering dilakukan oleh sejumlah pejabat di kementerian dalam melakukan pembelaan diri, karena gagal melaksanakan tugasnya sebagai pembantu presiden yang baik.

[caption caption="Tambahan Realisasi Pembiayaan Utang Dalam APBNP 2015 (Sumber Kemenkeu, 2016)"]

[/caption]

Seperti menjadi sebuah konsekuensi yang terprogram dengan baik, untuk mengantisipasi defisit anggaran yang terjadi dalam APBNP 2015, Pemerintah telah melakukan upaya pencarian pendanaan yang bersumber dari utang Pemerintah. Atas kekacauan penerimaan yang dialami dalam APBNP 2015, Pemerintah lalu melakukan kompensasi dengan melakukan utang terhadap perbankan di dalam negeri sebesar Rp 3,5 Triliun dan non-perbankan dalam negeri sebesar Rp 320,6 Triliun. Selain pinjaman dari dalam negeri, Pemerintah juga melakukan pinjaman utang dari luar negeri berbentuk pinjaman program sebesar Rp 41,8 Triliun dan pinjaman proyek sebesar Rp 14,1 Triliun.

Sehingga tidak mengherankan jika akumulasi status utang Pemerintah dan Bank Sentral (BI) terhadap pihak luar negeri yang jatuh tempo pada bulan Desember (diartikan per-Desember) 2015 mencapai 143009 Juta USD (143,009 Miliar USD). Dimana komponen utang luar negeri Pemerintah sendiri saja telah mencapai 137746 Juta USD seperti tampak pada grafik dibawah ini:

[caption caption="Position Utang Pemerintah Indonesia per-Desember 2015 Dalam Juta USD (Sumber Bank Indonesia, 2016)"]

[/caption]

Status Utang Luar Negeri Pemerintah per-Desember 2015 yang terlihat pada grafik diatas terdiri dari utang yang bersumber dari Domestic Government Securities (DGS) atau yang lebih dikenal dengan istilah Surat Berharga Negara Domestik (SBN-Domestik) mencapai 40487 Juta USD, utang luar negeri yang bersumber dari International Government Securities (IGS) atau yang lebih dikenal dengan istilah Surat Berharga Negara Internasional (SBN-Internasional) mencapai 43032 Juta USD, utang luar negeri yang bersumber dari utang komersil (Commercial) mencapai 2605 Juta USD, sumber utang luar negeri yang berasal dari Export Credit Facility (ECF) atau Fasilitas Kredit Ekspor mencapai 3971 Juta USD, utang luar negeri yang berasal dari utang Multilateral mencapai 26094 Juta USD, dan utang yang berasal dari utang Bilateral mencapai 21556 Juta USD.

Status utang yang meningkat, tidak akan mungkin bisa dihindari jika Pemerintah terus menerus mengalami keseimbangan primer neraca belanja negara yang cenderung mengarah ke kondisi negatif. Bahkan kecenderungan tersebut mengalami koreksi yang semakin meningkat seiring tertekannya penerimaan negara disepanjang Tahun 2015 kemarin. Kondisi fiskal negara tersebut, justru memberikan informasi penting bahwa negara pada hari ini mengalami kesulitan keuangan untuk membiayai program-program Pemerintah.

Potensi pergerakan pertumbuhan ekonomi merupakan keadaan ideal yang menggambarkan kontribusi setiap pilar penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, yang diantaranya melalui belanja Pemerintah yang berkualitas dan tepat waktu. Memang komponen belanja Pemerintah, bukanlah satu-satunya sumber pertumbuhan ekonomi, namun dilihat dari realitas perekonomian nasional pada hari ini, sejumlah masalah memang sedang dihadapi dalam sektor konsumsi dan belanja komoditas yang dipengaruhi oleh kondisi perlambatan ekonomi global. Sehingga belanja Pemerintah yang baik dan tepat waktu, akan sedikit membantu menyelamatkan pertumbuhan ekonomi yang relatif melambat.

Ketika pondasi fiskal negara mengalami goncangan yang terlihat pada rendahnya sisi penerimaan Pemerintah dan rendahnya sisi belanja Pemerintah, justru dapat menimbulkan persepsi negatif terhadap daya tahan perekonomian negara. Salah satu yang dapat terkena imbas negatif adalah kepercayaan pasar keuangan terhadap nilai intrinsik Rupiah. Asumsinya adalah pasar menangkap kondisi yang menggambarkan ketidakmampuan Pemerintah untuk membiayai program-program Pemerintah. Jika pertumbuhan cukup menjanjikan, tentunya Pemerintah tidak perlu mengalami kesulitan dari sisi penerimaan maupun dari sisi belanja negara. Karena Pemerintah dapat terus meningkatkan rasio penerimaan dari aktivitas perekonomian yang sedang tumbuh di dalam negeri.

Rakyat tentunya sudah mempelajari dan turut merasakan dampak dari pelemahan nilai intrinsik Rupiah, yang ikut melemahkan daya beli masyarakat dan turut menyumbang pada rendahnya pertumbuhan ekonomi dari sektor konsumsi masyarakat pada hari ini. Bahkan dampak yang dirasakan pada hari ini, jauh lebih hebat dari sekedar inflasi yang terjadi sebagai dampak naiknya harga minyak mentah dunia dalam beberapa dekade terakhir. Terdapat kondisi yang sulit untuk dilepaskan, antara pondasi fiskal keuangan negara dengan tingkat kepercayaan pasar keuangan, apakah akan tetap mempertahankan nilai instrinsik Rupiah berada pada level yang benar-benar aman dan apakah kondisi ini tidak membahayakan perekonomian masyarakat kecil. Pada hari ini masyarakat sebagai konsumen hanya merasakan gejala berupa sulitnya perekonomian di dalam negeri, dengan tidak begitu perduli tentang pertanyaan apa yang sebenarnya terjadi dengan posisi fiskal keuangan Pemerintah pada hari ini.

Perlu menjadi catatan penting dari sisi realisasi belanja yang telah masuk dalam rencana kerja dan anggaran Pemerintah, untuk tidak menunda-nunda realisasi belanja negara, karena faktor-faktor eksternal diluar permasalahan teknis anggaran. Tidak perlu pula harus menunggu pola penyerapan anggaran yang selama ini konsisten dengan model pelaksanaannya yang dikerjakan secara tergesa-gesa ketika memasuki triwulan ke-3 dan triwulan ke-4. Terlebih lagi jika model realisasinya menyasar program-program pelatihan dan pengembangan SDM yang terkesan hanya menghabiskan anggaran secara tidak berkualitas. Keterpaduan perencanaan dan sasaran program yang benar-benar berkualitas perlu di desain oleh Pemerintah dengan konsisten pada output yang berkualitas, yang pelaksanaannya dimaksimalkan justru di awal-awal triwulan pertama dan kedua. Sehingga dampak yang diharapkan berupa feedback ekonomi yang besar bagi perekonomian masyarakat dapat benar-benar terjadi dan dirasakan oleh masyarakat.

Willem Wandik, S. SOS (Ketua Departemen Persaingan Usaha dan Perlindungan Konsumen DPP-Partai Demokrat)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun