Menjadi bagian dari sejarah pertumbuhan murid di sekolah adalah suatu keajaiban luar biasa yang boleh saya alami. Melihat mereka tumbuh dan berkembang sesuai perkembangan jaman dengan tidak melupakan akar budaya dan adat istiadat sungguh berkat melimpah yang tidak tergantikan. Sama halnya juga dengan menjadi Calon Guru Penggerak (CGP) merupakan sebuah kesempatan langka karena boleh terlibat dan memberi diri untuk perkembangan pendidikan di bumi Nusantara Indonesia tercinta.
Bersama seluruh anggota CGP lain yang sedang berjuang menyelesaikan program ini kita boleh berbangga menjadi sebagian kecil dari sejarah bertumbuh dan berkembangnya pendidikan. Kita optimis dan membangun nilai-nilai guru Penggerak dalam tugas pekerjaan bahkan menjadi agen perubahan menuju persaingan global.
Inilah choice saya dan rekan CGP lain untuk tetap duduk di depan layar menikmati materi yang ada di modul karena tujuan mulia masa yang akan datang. Tidak ada paksaan kami menjadi CGP dan tentu menjadi modal voice kami semua untuk mengatakan kepada rekan guru yang belum mengikuti program guru penggerak untuk bersiap dan menjadi bagian dari CGP. Saya bukan mengejar faktor eksternal yang digadang-gadang, itu hanyalah bonus sebagai seorang calon guru penggerak. Hal paling penting dan utama yang saya kejar adalah memperbaiki kualitas pendidikan sehingga mampu menciptakan murid yang senang dan bahagia di kelas.
Semua pembelajaran demi perkembangan potensi peserta didik dan sebagai guru saya termasuk di dalamnya. Semua dimulai dari diri sendiri untuk berubah, bertumbuh dan berkembang. Jangan sampai sebagai guru ketinggalan dengan murid. Saya bersyukur bahwa choice dan voice saya ternyata tidak keliru dan sekarang sudah menjadi bagian dari diri untuk lebih paham dan mengerti (ownership) tentang guru penggerak. Secara tidak langsung dapat saya katakan guru penggerak sudah menjadi bagian tidak terpisahkan dengan tugas pengajaran di kelas dan sekolah.
Kini tibalah kita pada minggu ke-23. Minggu ini penuh tantangan yang dimulai dari modul yang harus dipelajari semakin padat berisi, dibutuhkan kecakapan membaca, memahami dan mengerti serta menentukan program yang kemudian dapat disharingkan, dikomentari di LMS. Syukurlah waktu yang tersedia cukup untuk memulai petualangan memahami isi modul. Modul 3.3 berisi tentang Pengelolaan Program yang Berdampak pada Murid. Membayangkan modul ini sungguh suatu berkat yang menantang. Kreatifitas, kemandirian guru diuji untuk menghasilkan program berkualitas yang dapat disukai, senangi oleh murid.
Kelompok kami berpikir mencari program yang sudah dilakukan dan biasa dibuat, tetapi hal baru yang nantinya murid akan terlibat didalamnya. Kami teringat dengan bagaimana mengangkat budaya dan kearifan lokal lalu diposting di media sosial sebagai bagian dari sosialiasi tentang budaya daerah. Hal ini tidak mudah untuk dilakukan, tetapi kami optimis dapat merealisasikannya dengan baik. Kami menamakan kegiatan ekstrakuriler Sumikolah.
Dinamakan Sumikolah karena memiliki unsur budaya yang lahir dari adat istiadat Minahasa yang kental dan merupakan kegiatan Ekstrakurikuler yang dapat diikuti oleh murid. Tujuan program ini untuk lebih mengenalkan dan menumbuhkan rasa cinta murid terhadap budaya dan kearifan lokal, memanfaatkan media digital secara positif serta membuka wawasan terhadap lingkungan sekitar. Diharapkan melalui kegiatan ini murid dapat memiliki daya lenting dan menjadi agen perubahan sesama murid dibidang budaya dan teknologi.
Alasan kelompok memilih Sumikolah yaitu hal ini merupakan salah satu program Merdeka Belajar yang disebutkan oleh Menteri Pendidikan. Selain itu, diangkat budaya dan teknologi supaya murid tidak kehilangan jati diri atau tergerus oleh perkembangan jaman. Murid jaman now sangat berkembang dalam teknologi tetapi diharapkan juga mereka mencintai, melestarikan dan mengembangkan budaya dan kearifan lokal yang ada. Bangsa yang maju adalah yang mencintai budaya sendiri.
Program ini terdiri dari 2 unsur yang digabungkan menjadi satu yaitu Budaya dan Media Digital. Memadukan antara kodrat alam dan kodrat jaman dengan pemahaman bahwa murid tidak dapat dilepaskan dari budaya dimana murid tumbuhkembang dan juga tidak "melek" teknologi sebagai kodrat jaman. Mengangkat budaya lokal Minahasa seperti bahasa, tarian, lagu, pakaian, makanan, adat kebiasaan, kearifan lokal. Murid diberikan kesempatan memilih mengangkat budaya yang dipilihnya (choice).
Dipilih tentu berdasarkan suara (voice) masing-masing dengan mengutamakan asal muasal diri sendiri atau asal orang tua. Misalnya orang tua Ayah berasal dari Tomohon dan Ibu dari Laikit berarti terdapat dua suku berbeda yaitu Tombulu dan Tonsea. Diberikan kesempatan kepada murid memilih dan kemudian dapat menyuarakan sendiri budaya mana yang akan diangkat. Ketika sudah menentukan dan menyuarakan murid diberi kesempatan ownership atas budaya tersebut dan diangkat melalui media yang dikuasai. Pastinya murid diberi kesempatan supaya produk yang dibuat berupa majalah dinding, infografis atau sejenisnya dan dapat diupload di media sosial (tiktok, youtube, instagram, dll). Ketika murid mulai mengupload di media sosial diharapkan lama kelamaan menjadi ownership untuk murid sendiri tentang budaya lokal.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H