Kesimpulan seluruh isi dari pemahaman proses pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara (KHD) terletak pada murid. Mengapa? Karena menurut KHD murid memiliki potensi masing-masing dan tugas guru adalah mengembangkan potensi yang dimiliki sesuai kehendak murid. Bahkan guru harus berhamba pada murid karena murid satu-satunya tujuan akhir dari proses pembelajaran yang dilakukan di dalam kelas maupun di luar kelas.Â
Menetapkan bahwa murid adalah bagian integral dari proses belajar maka guru harus menempatkan murid pada porosnya dengan tidak melupakan kodrat alam dan kodrat jaman, budaya, nilai kebangsaan dan nilai kemanusiaan.Â
Tujuannya adalah kemerdekaan belajar murid. Ketika murid merdeka, bahagia dan memperoleh kedamaian dalam belajar maka guru tersebut oleh KHD disebut sebagai guru yang memiliki nilai guru penggerak.
Nilai-nilai seperti kodrat alam, kodrat jaman, budaya, kebangsaan, kemanusiaan dan kemerdekaan belajar seharusnya menjadi terdepan untuk pengambilan keputusan. Mengapa? Oleh KHD nilai tersebut adalah bagian dari nilai kebajikan universal yang dapat dijadikan patokan dalam upaya edukasi.Â
Nilai budaya tidak dapat dilepaskan sebagai salah faktor yang dapat mempengaruhi keputusan yang diambil. Guru yang dididik dengan menghargai budaya setempat akan melihat kasus dari sudut pandang budaya dan hidup sosial masyarakat. Akan ada saatnya suatu nilai budaya yang lahir dari kodrat alam "bertentangan" dengan nilai kebajikan universal. Sama halnya juga dengan kodrat jaman yang membutuhkan pertimbangan hati nurani apakah "perkembangan" dapat diterima atau ditolak.
Dapat terjadi bahwa sebuah kasus adalah pertentangan antara nilai budaya yang perlu dilestarikan, tetapi di sisi lain nilai tersebut oleh masyarakat modern dianggap tidak bermanfaat karena disamakan dengan pesta pora (carpe diem). Misalnya Pengucapan Syukur (Thanksgiving) oleh masyarakat pada umumnya dianggap sebagai budaya tetapi sebagian merasa Pengucapan syukur hanya buang-buang uang saja (nilai budaya dan asas manfaat).Â
Atau nilai budaya yang dianggap tabu seperti pada contoh budaya orang meninggal di beberapa desa semua bunga yang disumbangkan harus dibawa ke kuburan, atau ajaran-ajaran lainnya yang kental dengan nilai budaya setempat (contoh budaya bungkus makanan di acara pesta, dan lain-lain). Budaya-budaya tertentu masih kental dan mempengaruhi keberadaan nilai-nilai universal.
Contoh yang disebutkan pada paragraf sebelumnya menunjukkan dilema paradigma antara nilai pribadi lawan nilai masyarakat. Manakah keputusan yang akan diambil?Â
Apakah keputusan tersebut sudah sesuai atau masih bertentangan? Bagaimana kalau kasus-kasus seperti ini terjadi dalam lingkungan sekolah atau kelas? Tidak mudah memang untuk menjadi pengambil keputusan. Tetapi perlu diingat bahwa dalam pengambilan keputusan yang memiliki 4 paradigma, 3 prinsip dan 9 langkah sebagai guru sangat diperlukan paham dan mampu melaksanakan praktik coaching.
Kaitan antara pengambilan keputusaan sebagai pemimpin pembelajaran dengan praktik Coaching sangat jelas berhubungan. Coaching adalah salah satu bentuk pendekatan komunikasi guru sebagai pendidik. Dalam praktik coaching guru perlu ingat bahwa murid adalah pribadi yang merdeka yang perlu didengarkan dan bukan dibiarkan.Â
Muridlah yang menentukan arah dan tujuan atas keputusan yang diambil. Ini berarti guru harus punya kepercayaan terhadap murid atas segala potensi yang dimiliki. Harapannya dalam proses coaching murid menjadi lebih terarah dan menemukan sendiri solusi secara mandiri dengan tujuan dapat meningkatkan potensi diri murid.
Selain praktik coaching, materi pengambilan keputusan berkaitan erat dengan aspek sosial emosional (mindfullness) guru. Guru ideal adalah guru yang matang intelektual dan emosional. Secara emosional guru juga seharusnya mampu bertindak sebagai seorang dewasa.Â
Aspek ini mengandaikan setiap guru mampu menghadapi masalah dengan kepala dingin dan tidak mudah terbawa situasi yang melibatkan emosi. Ketika muncul sebuah kasus dengan determinasi tinggi yang melibatkan misalnya orang tua atau masyarakat, dibutuhkan guru yang pembawaan tenang dan mampu menguasai keadaan.Â
Contoh, apa yang akan dilakukan oleh seorang guru apabila orang tua terbawa emosi dan datang ke sekolah lalu mengajak guru berkelahi? Atau karena kecewa siswa melempari kaca sekolah? Situasi pelik seperti ini dibutuhkan kesabaran dari seorang guru untuk meredam dan pada akhirnya mampu mempraktikkan pendekatan dengan komunikasi coaching.
Terkadang guru juga berhadapan dengan situasi yang melibatkan kasus dilema etika dan bujukan moral. Dilema etika artinya secara moral benar tetapi bertentangan.Â
Apa yang akan dilakukan oleh guru menerima murid yang datang ke sekolah tidak menggunakan seragam karena seragamnya hanya satu yang dikenakan selama seminggu atau memberi pengecualian? Menerima murid yang datang terlambat karena menolong orang kecelakaan atau tetap taat pada aturan sekolah tidak menerima murid yang terlambat masuk sekolah?Â
Memilih memberi nilai lebih baik kepada murid yang jarang masuk kelas karena persiapan lomba olahraga basket atau murid yang rajin hadir di kelas tetapi kemampuan intelektualnya kurang? Kasus dilema etika yang terjadi membutuhkan guru yang secara sosial emosi matang, mampu berkomunikasi dan mempratekkan coaching dan tentunya hal paling penting memiliki pemahaman tentang dilema etika dan bujukan moral.
Hal paling penting yang harus diingat oleh guru dalam pengambilan keputusan adalah keputusan yang diambil harulah tepat, berdampak pada terciptanya lingkungan yang positif, kondusif, aman dan nyaman. Menurut penulis, kesulitan yang dapat diambil guru sebagai pengambil keputusan dalam proses pembelajaran apabila guru sulit memecahkan masalah (problem solving) atau guru yang banyak kompromi serta mudah terbawa situasi.
Guru yang tidak mampu memecahkan masalah atau tidak mampu mengambil keputusan tidak layak menjadi guru. Karena guru yang bimbang dan bingung, bagaimana dapat berhadapan dengan murid yang membutuhkan kepastian dalam pembelajaran. Guru yang bimbang tidak akan mampu menyelesaikan masalah atau kasus.Â
Jika guru bimbang dan ragu bagaimana dengan murid? Selain itu guru juga harus benar-benar jujur dan mampu menyampaikan dengan tegas (posisi sebagai manager) dalam pengambilan keputuan. Dalam pembelajaran di kelas atau menyelesaikan kasus guru mampu berdiri sebagai seorang manager yang mampu mengedukasi murid dan bukan sebagai teman, pemberi rasa bersalah, pemantau atau penghukum.Â
Dalam pengambilan keputusan guru juga harus bebas dan mandiri, tidak terikat secara emosional dengan murid tertentu baik karena kedekatan, saudara, kepentingan atau hal lain yang dapat mengubah pengambilan keputusan atau sikap emosional guru. Hal ini akan berdampak sangat buruk di mata murid apabila guru tidak mampu hadir sebagai manager di sekolah.
Kesimpulannya bahwa segala keputusan yang diambil oleh guru adalah untuk memerdekakan murid. Murid yang merdeka berarti murid yang mampu mengembangkan segala potensi yang dimilikinya tanpa rasa takut dan cemas, tetapi penuh rasa bahagia. Bahagia ketika belajar di dalam kelas maupun luar kelas. Bahagia bertemu dengan guru, rekan murid, mengikuti kegiatan belajar. Bahagia bukan berarti murid menjadi bebas.Â
Bahagia berarti menciptakan situasi nyaman, damai untuk murid belajar dan menikmati proses belajar. Bahagia berarti murid "tergila-gila" datang ke sekolah, seakan-akan sekolah adalah tempat sempurna untuk dirinya bertumbuh dan berkembang, meraih impian dan masa depan yang lebih baik. Murid yang bahagia tidak terbebani dan tidak merasa buruk di hadapan dirinya, orang lain dan masyarakat.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H