Mohon tunggu...
Willem Hans Wakim
Willem Hans Wakim Mohon Tunggu... -

nguli

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Firman Kapital Nan Konsumtif

17 Februari 2011   05:36 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:31 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Logika pasar yang kapitalis dan konsumtif sudah menggurita ke mana-mana. Tak satu pun ranah kehidupan yang luput dari logika ini. Orang tidak bisa mengelak dan melawan great logic tersebut, sekalipun toh ada perlawanan-perlawanan yang dilakukan terhadapnya, misalnya, pembajakan, yang dari sudut pandang tertentu bisa dilihat sebagai social counter terhadap monopoli kapitalisme.

Untuk urusan jasmaniah kita: makan, minum, pakai, adalah sudah lumrah kalau kapitalisme dan konsumerisme sebagai sebuah keniscayaan. Dan, mau tak mau kita akhirnya dalam kepasrahan mengaku bahwa kita memang membutuhkan (atau memerlukan?) hal tersebut. Dan, ya, bolehlah kita (saya) berkompromi terhadap hal tersebut jika berhubungan dengan kebutuhan jasmaniah sebab tidak mau jatuh juga dalam sebuah kenaifan.

Akan tetapi, kalau kapitalisme dan konsumerisme itu sampai inheren di dalam gereja, apa jadinya? Apa jadinya kalau gereja sebagai pemberita firman kebenaran Tuhan menjadi pemberita kebenaran yang kapitalis? Dan, hal ini sudah tidak asing lagi bagi kita yang hidup di zaman sekarang ini. Kini, gereja (tentunya gereja yang dimaksud adalah segelintir gereja dan para hamba Tuhan) menjadikan firman kebenaran itu sebagai firman kapital nan konsumtif.

Terjadinya hal yang demikian tidak terlepas dari latar belakang atau siapa hamba Tuhan dalam gereja tersebut. Sudah bukan rahasia kalau sebagian para hamba Tuhan yang punya bekal menjadi hamba Tuhan (pendeta) saja tidak memadai tetapi mereka nekad mendirikan gereja dan atau mempunyai gereja. Dan tidak sedikit juga mereka yang justru berlatar belakang seorang pebisnis.

Apakah seorang pebisnis tidak boleh (sekaligus) menjadi pendeta? Oh, tentu tidak! Justru hamba Tuhan yang multitalenta seperti ini yang dicari. Mereka punya kelebihan untuk mengurus perkembangan dan pembuahan sebuah gereja. Gereja dapat menjadi sangat berkembang dan bertumbuh di tangan mereka. Jumlah pengunjung dan uang kolekte (yang dipergunakan untuk pelayanan nyata gereja terhadap dunia sekitar) bertambah sangat signifikan.

Sayangnya – nah, ini yang menjadi keprihatinan – hamba Tuhan seperti ini yang akhirnya membuat gerejanya sebagai mesin penghasil uang dan pengumpul kekayaan bagi dia (si hamba Tuhan tersebut notabene adalah pemegang saham tunggal atau terbesar). Untuk menghasilkan uang, gereja dimodifikasi sebagai mesin. Pemberitaan firman kebenaran yang mestinya bukan hanya berisikan ajakan, syukur, sukacita, melainkan juga harusnya berisikan teguran, hardikan, kecaman sehingga pendengarnya mengalami pembaruan diri yang terus-menerus dan selalu kembali berjalan dalam ketetapan Tuhan, dimodifikasi.

Firman pemberitaan diperhalus. Isinya dibuat senyaman mungkin sesuai dengan hasrat pendengar yang notabene adalah penikmat atau pelanggan. Kalau ’hal-hal yang keras’ dari firman itu tidak diperhalus, pelanggan akan kecewa dan meninggalkan gereja. Apalagi kalau metode penyampaiannya membosankan dan monoton. Oleh sebab itu jugalah kemasan penyampaiannya dipercantik dengan berbagai hal. Firman pun menjadi firman kapital nan konsumtif. Orang mengonsumsi firman layaknya mengonsumsi pakaian, McDonalds, Pizza Hut, gorengan, bakso, dst.

Yang penting adalah bagaimana menghasilkan uang. Yang penting adalah bagaimana mengumpulkan kekayaan (lewat kolekte, dlsb.). Parahnya, transparansi keuangan sebagai bentuk pertanggungjawaban terhadap Tuhan dan warga jemaat akan pemasukan keuangan tersebut tidak jelas dan bahkan tidak ada sama sekali. Lebih parah lagi, para pengunjung gereja-gereja seperti ini pun tidak pernah mempertanyakan hal ini. Boleh jadi karena mereka berpikir mereka datang membeli firman, bukan mendengar dan menerima firman.

Terhadap hal ini, patut dipertanyakan di mana hati nurani sang hamba Tuhan tersebut yang begitu tega (maaf) menggelapkan uang Tuhan dan warga jemaat. Ia menjual nama Tuhan dan menipu jemaat demi memperkaya dirinya. Seorang teman saya pernah mengatakan, ”Lebih baik mengorupsi uang rakyat karena hukumannya hanya puluhan tahun, daripada mengorupsi uang Tuhan/jemaat yang hukumannya seumur hidup.” Ya, apa yang dikatakan teman saya ini tidak sepenuhnya benar, tetapi kalau dipikir-pikir, masuk akal dan ada benarnya juga.

Ketika praktik-praktik seperti ini dipertanyakan dan dipersoalkan, sang hamba Tuhan atau pemilik sahamnya akan mengelak dengan berkata, ”Loh, yang penting ’kan saya memberikan apa yang mereka butuhkan.” ”Yang penting ’kan mereka mengalami pertumbuhan iman.”

Menanggapi hal ini, baik, kita bisa memahami hal ini. Yaitu bahwa ada sisi-sisi kebutuhan para pendengarnya yang tidak bisa dipenuhi oleh gereja tempat mereka berasal. Namun, kalau dibilang yang penting mereka bertumbuh, saya sangat menyangsikannya. Pertumbuhan iman bukanlah masalah ibadah semata. Bukan masalah datang, mendengar firman, beria-ria dan bertangis ria. Iman adalah soal kesinkronan dan harmonisasi antara fides qua creditur (pengakuan iman pribadi)dengan fides quae creditur (ajaran iman jemaat). Artinya, pendengar tidak sekadar mengaku percaya, bertobat, dan mau sungguh-sungguh hidup di dalam Tuhan, tetapi bagaimana supaya pengakuan itu tetap selalu diingat, diingatkan, dan tetap terpelihara. Dan untuk hal ini dibutuhkan sebuah perangkat, yaitu ajaran iman jemaat, yang ditanamkan lewat pembinaan, persekutuan-persekutuan yang kontinu, konseling, khotbah-khotbah yang mendewasakan, dlsb.

Ketidakseimbangan atau ketimpangan antara qua dan quae inilah yang menjadi salah satu alasan mengapa ketika ada guncangan-guncangan iman, terutama dari kemodernan sekarang, orang cepat sangsi terhadap apa yang dipercayainya. Mengapa? Ya, lagi-lagi karena tidak ada pembinaan iman yang kontinu. Belum lagi ditambah firman pemberitaan yang disampaikan melalui khotbah-khotbah hanyalah menyenangkan jemaat dan kering atau bahkan tidak ada sama sekali pengajaran. Makanya, bisa kita lihat, ketika ada kasus makam Yesus kemarin, banyak orang Kristen yang bingung dan ragu terhadap apa yang dipercayainya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun