Mohon tunggu...
Willa YacintaWardah
Willa YacintaWardah Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa_Universitas Pendidikan Indonesia

Halo! Nama saya Willa Yacinta Wardah saya berasal dari kota Bandung, Saya seorang mahasiswa aktif jurusan Pendidikan IPS S1 Universitas Pendidikan Indonesia. Saya aktif diberbagai kegiatan kepanitiaan ataupun organisasi di kampus. saya suka membuat puisi dan suka membaca cerita fiksi.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kearifan Lokal Kampung Adat Kasepuhan Cikondang

5 Januari 2023   15:35 Diperbarui: 5 Januari 2023   15:41 427
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berdasarkan Data yang kita peroleh bahwa di Kampung Adat Kasepuhan Cikondang masih melakukan tradisi loh teman-teman. Masyarakat Cikondang seluruhnya beragama Islam. 

Artinya disini terjadi proses integrasi dan akulturasi Islam dengan budaya Sunda dalam segala aspek kehidupan. Hal tersebut terlihat dari masih dilaksanakannya kegiatan kegiatan adat yang masih rutin dilaksanakan seperti: hajat buruan, hajat solokan, hajat lembur, dan yang lainnya. Dari sekian banyaknya tradisi yang masih bertahan di Kampung adat Cikondang, ada satu tradisi yang menjadi objek dan kajian dalam artikel ini, yaitu di kenal dengan istilah upacara adat Wuku Taun atau Mapag Taun.

Cikondang adalah nama sebuah kampung di Lereng Gunung Tilu yang nyaman dan damai di Pangalengan. Secara periodik, masyarakat Kampung Cikondang masih taat memegang adat istiadat leluhur, sehingga kearifan yang diwariskan secara turun temurun, menjadikan wilayah setempat mampu membuat alam sekitarnya lestari. 

Upacara Wuku Taun diselenggarakan di Kampung Adat Cikondang, tepatnya di Bumi Adat oleh generasi awal Masyarakat Cikondang sampai generasi sekarang tetap patuh dan mempertahankan ritual upacara wuku taun, dikarenakan upacara ini berasal dari nenek moyang atau leluhur yang menempati bumi adat secara turun temurun. 

Tradisi Wuku Taun termasuk kedalam kategori adat istiadat, sebab wajib dilaksanakan setiap tahunnya. Upacara ini berhubungan dengan tahun baru Islam. Diperingati setiap tanggal 15 Muharram. Istilah seleh taun, dan/ atau mapag taun dapat didefinisikan "seleh taun" yang artinya pergantian tahun sedangkan "mapag taun" artinya menyambut Tahun Baru. 

Istilah "Wuku" 4 identik dengan "seren" berarti melepas tahun ataupun serah terima tahun lalu dengan segala kenangannya dan menyambut tahun baru agar lebih baik dari tahun yang sebelumnya. upacara adat ini dilakukan dengan secara besar-besaran, oleh penduduk Cikondang. Ada tiga matlamat dalam rangka pelaksanaan upacara wuku taun dan mapag taun yaitu yang pertama sebagai upacara untuk mengungkapakan rasa terima kasih dan rasa syukur. Ungkapan rasa terima kasih diungkapkan pada i (leluhur), yang telah membuka kawasan Cikondang dari hutan menjadi permukiman untuk anak cucunya sampai sekarang. 

Adapun rasa syukur di tunjukan kepada Allah SWT. Yang telah memberikan segalanya kepada mereka, baik itu tempat tinggal yang subur, ketentraman kedamaian, mata pencaharian dan sebagainya. Tujuan lain diselenggarakannya wuku taun ini adalah untuk berdo'a dan memohon keselamatan kepada Yang Maha Kuasa bagi seluruh warga khususnya masyarakat kampung Cikondang, umumnya semua warga yang berada disekitarnya. Mereka percaya, jika upacara ini tidak dilaksanakan akan mendapat malapetaka atau bala bagi warga masyarakat. Oleh karena itu dari tahun ke tahun upacara tersebut selalu dilaksanakan secara periodik.

Kemudian Masyarakat Cikondang dikenal sebagai etnis Sunda seluruhnya beragama Islam dan dikategorikan sebagai komunitas adat, identifikasi ini berhubungan dengan berbagai ungkapan yang menyebutkan pola hubungan Islam dengan budaya Sunda yang begitu dekat, seperti ungkapan "Islam teh Sunda, Sunda teh Islam" atau "Urang Sunda mah geus Islam samemeh Islam" dimana maksudnya adalah "Orang Sunda sudah Islam sebelum Islam masuk ke wilayah Tatar Sunda" (Susanti, S., & Koswara, I. 2019).

Yang menarik dari bentuk ungkapan tersebut, yaitu adanya jalinana hubungan antara budaya Sunda dengan Agama Islam yang harmonis yang menunjukan adanya hubungan dalam bentuk Akulturasi dari adanya tradisi 5 Wuku dan Mapag taun ini. Fenomena tersebut menunjukan bahwa agama dan kebudayaan ada secara bersamaan pada suatu masyarakat. Dalam melihat akulturasi Islam dengan budaya Sunda, tentu yang harus diperhatikan adalah bagaimana nilai-nilai ajaran Islam itu masuk dan bersentuhan dengan kebudayaan Sunda itu sendiri. 

Proses integrasi Islam dengan budaya Sunda terjadi, ketika masyarakat adat Cikondang tetap teguh mempertahankan nilai-nilai padangan hidup tersebut dalam setiap aktifitas yang rutin dilaksanakan. Baik melalui kegiatan formal di sekolah, di mesjid bahkan dalam kegiatan non formal melalui ritual keagamaan yang sengaja dilaksanakan secara terjadwal dan teratur. 

Nilai-nilai ajaran Islam pada masyarakat adat Cikondang lebih cenderung diintegrasikan dengan tradisi yang sudah dibangun sejak dahulu kala. Hubungan antara kebudayaan Sunda dengan agama Islam bisa meliputi atas beberapa bentuk. Pertama, kemungkinan terjadi koeksistensi atau adhesi antara agama Islam dengan kebudayaan Sunda tanpa saling intervensi dan mengganggu. Kehidupan masyarakat di Jawa Barat khususnya masyarakat Sunda umumnya tidak terlepas dari bermacam-macam upacara syukuran, lengkap dengan prosedurnya masing-masing. 

Aktifitas mereka bukan hanya kebiasaan belaka, tetapi bahkan sudah menjadi suatu peranan hidup yang harus dilakukan dan di pegang teguh oleh mereka. Tuntutan hidup yang harus dan ditaati ini adalah hasil dari warisan dari para leluhur yaitu berupa tradisi atau adat-istiadat. Terhitung sejak leluhur pertama mereka tinggal di kawasan hutan Gunung Tilu. Setiap tahun, tanpa diundang, ratusan orang keturunan masyarakat adat Cikondang ikut terlibat dalam upacara tersebut. 

Upacara dimulai dengan penyembelihan ayam untuk dimasukkan dalam tumpeng padi ladang dan padi sawah.penggunaan makanan berbahan dasar beras ini menegaskan tentang keterikatan masyarakat Kampung Cikondang dengan alam sekitar. Mayoritas penduduk Kampung Cikondang bermata pencaharian petani. Bahan lain yang digunakan sebagai pelengkap juga berasal dari beras. 

Di samping tumpeng, terdapat 12 jenis makanan ringan pengiring, seperti peuyeum, dodol, wajit, angleng, upuntir, ampeyang, borondong, lontong, opak merah dan opak putih. Pengiring yang nonberas hanya tebu dan buah pisang. Berdasarkan uraian tersebut, maka bisa disebutkan bahwa tradisi 6 wuku taun merupakan bentuk integrasi agama Islam dengan budaya Sunda yang dilaksanakan setiap menyambut bulan Muharam setiap tahunnya oleh masyarakat adat Cikondang.

Daftar Pustaka

Bisri, Cik Hasan et al. (eds.). 2005. Pergumulan Islam Dengan Kebudayaan Lokal di Tatar Sunda. Cetakan ke-1. Bandung: Kaki Langit.

Susanti, S., & Koswara, I. (2019). Concept of Silih Asih, Silih Asah, Silih Asuh In The Acculturation In Bandung. In 3rd Annual International Seminar and Conference on Global Issues (ISCoGI 2017) (pp. 13-17). Atlantis Press.  

Penulis:

Siti Hanifah

Sri Astuti Aminah

Willa Yacinta

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun