Sudah sejak semalam hujan deras mengguyur. Angin bertiup kencang menumbangkan pepohonan. Kota Kupang, Minggu (04/04/2021) diselimuti kabut tebal, menyebabkan jarak pandang serba terbatas. Aliran listrik PLN sudah terputus sejak dini hari tadi. Situasi benar-benar mencekam.Â
Tidak ada seorangpun yang keluar. Semuanya memilih bertahan dalam rumah sembari menanti dan berharap semua ini segera berakhir. Demikian pun saya, memilih bertahan dalam kamar kos. Musabab listrik padam sedari pagi, saya tidak bisa berbuat apa-apa. Menunda lapar dengan makan mie mentah adalah satu-satunya jalan.
Sesekali saya membuka ponsel untuk sekedar melihat jam, sebab jaringan internet sudah tiada. Saya ingat persis, beberapa pesan terakhir yang sempat masuk adalah peringatan dari BMKG soal bahaya siklon tropis seroja yang puncaknya di malam nanti.
Menjelang sore hujan perlahan mereda. Bersama teman-teman kos, kami berjalan keliling memantau kondisi lingkungan sekitar. Beberapa warga di lereng tebing jembatan Naimata sudah mengungsi ke rumah tetangga di sekitaran kos. Bagaimana tidak, sejumlah rumah mereka sudah rata tanah. Sedang di lereng sebelah, kampung Amanuban, longsoran tanah terlihat jelas.
Usai jeda belasan menit, hujan turun lagi. Angin kencang makin menggila. Tanpa permisi menumbangkan pepohonan, tiang listrik, papan iklan dan memindahkan atap rumah warga entah kemana. Alam seolah menunjukkan murkanya yang mendalam pada manusia.Â
Malam itu, tanpa penerangan (listrik), makanan dan jaringan internet, saya mengurung diri dalam kamar kos. Satu-satunya sumber cahaya malam itu adalah lubang angin di bawah pintu. "Sebentar kalau terjadi apa-apa, jangan panik. Lari ke arah situ (baca: pintu)", gumamku dalam hati.
Jelang pukul 22.00 WITA (puncak badai menurut perkiraan BMKG), hujan angin semakin mengganas. Saya mulai panik. Atap kos sudah dari tadi bergetar. Bayangan akan longsor di kampung Amanuban sore tadi membuat saya makin panik. Belum lagi posisi kos kami yang tidak jauh dari lereng tebing.Â
Di tengah kepanikan, tiba-tiba pintu kos saya di gedor. "Kaka, ayo keluar. Kita lari dari sini", teriak Mas Fikri, tetangga sebelah kamar. "Lari ke mana?" tanyaku. "Kita ke rumah bapak kos" sambung Fikri. "Oke, telpon bapa kos, buka pintu untuk kita masuk", kataku. "Jaringan tidak ada. Kita lari saja, gedor pintu. Saya ke sana duluan", balasnya.
Fikri pun segera berlari menuju pintu dapur rumah bapak kos yang berjarak sekitar 50 meter dari kos. Digedornya pintu rumah berulang kali tapi tidak ada respon balik dari orang rumah. Fikri lalu kembali ke kos. Baru beberapa langkah Fikri berjalan, tiba-tiba...."kaka, tunduk....!" teriakku keras. Selembar seng dari rumah Pak RT terbang tak jauh di atas kepala Fikri.Â
Kembali ke kos, kami lalu membangunkan teman-teman lain. Untungnya ada Om Burhan, tentara angkatan udara yang juga ngekos di situ bersama tunangannya. Berbekal pengalaman tempurnya di medan laga, Om Burhan lalu memainkan senter ke jendela rumah bapak kos yang juga merupakan anggota TNI AU. Kode nyala senter itu dipahami bapak kos. Sejurus kemudian, pintu dapurnya dibukakan. Kami berlarian menuju rumah bapak kos.