TikTok' akhir-akhir ini, pasti sudah menjadi biasa bagi Anda apabila melihat debat kusir yang lewat di beranda. Namun tema debat oleh para konten kreator ini lebih sering mengangkat topik agama. Mereka yang terlibat dalam perdebatan ini pun beragam, mulai dari pegiat media sosial yang tidak jelas latar belakangnya, hingga yang berlatar belakang pendidikan teologi agama dengan gelar yang mentereng.Â
Jika Anda sering menggunakan media sosial 'Awal kemunculannya, TikTok menyajikan video-video pendek yang menampilkan musik dan gerakan yang bersifat menghibur. Namun seiring berjalannya waktu para kreator mulai menampilkan berbagai konten yang semakin bervariasi. Salah satunya adalah konten yang membahas tentang agama. Sayangnya para konten kreator ini tergoda untuk membahas agama lain, bukan agama yang dianutnya sendiri. Akibatnya, terjadi balas-balasan video yang berujung pada perdebatan antara para konten kreator. Bahkan tidak sedikit juga yang berlabuh di meja hijau karena kasus 'penistaan agama'.Â
Fenomena setelahnya adalah debat kusir yang akhir-akhir ini selalu muncul. Sayangnya debat ini bukan bertujuan untuk berbagi pengetahuan untuk mempererat tali persaudaraan, namun kerap untuk saling menemukan kekurangan dan menyerang secara teologis. Padahal, mereka yang terlibat hampir sebagian besar bukan orang yang berkompeten di bidangnya. Kebanyakan dari mereka hanya bermodalkan pengetahuan yang diperoleh melalui media sosial seperti YouTube atau website yang tidak jelas siapa penulisnya dan apa dasar penelitiannya.Â
Di sisi lain, para publik figur pun mulai menyadari bahwa perdebatan teologis agama-agama ini sangat digemari oleh sebagian besar pengguna media sosial. Seolah memanfaatkan keadaan ini, tema berbau agama pun kerap dijadikan sebagai topik pada podcast atau diskusi mereka, hingga mengundang narasumber kontroversial yang secara terang-terangan menyudutkan suatu agama tertentu. Bukannya menyejukan, sebagian besar konten mereka justru menimbulkan perpecahan dikalangan masyarakat.Â
Kita tidak bisa terlelap dengan situasi ini. Jangan berharap Indonesia emas akan terwujud. Bonus demografi di tahun 2040-an akan menjadi wacana semata jika generasi saat ini dicekoki debat kusir seperti ini.Â
Perlu diketahui bahwa pengguna media sosial saat ini, sebagian besar adalah Generasi Z (selanjutnya akan disebut Gen Z). Generasi ini sedang dalam usia membentuk jati diri, meniti pendidikan dan mengasah kecerdasan emosional dan intelektualnya. Generasi ini adalah penentu bonus demografi di 20 tahun yang akan datang. Jika Gen Z lebih banyak menghabiskan waktu untuk memperdebatkan teologi agama lain dibandingkan fokus untuk menjadi lebih produktif dan mengasah pengetahuan agamanya sendiri, maka niscaya generasi emas dan bonus demografi akan gagal.Â
Ironi lainnya, konten bersifat informatif yang menyajikan hasil riset, pengembangan ilmu pengetahuan, hingga kesehatan, kerap disepelekan dan disangsikan. Generasi ini lebih menyukai perdebatan yang mempersoalkan agama satu dengan agama lain. Lantas apa solusinya? Tulis komentar kamu di bawah ya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H