Sepucuk Surat Dari Kelelawar: Tanggapan dalam Perspektif  Etika Lingkungan Hidup
Dalam diriku mengandung ribuan racun penyakit.
Seperti virus anjing gila super ganas, virus Ebola, virus Han Da dan berbagai virus-virus lain yang mematikan.
Sumbangsihku kepada umat manusia adalah mengumpulkan virus-virus ganas dalam diriku sebagai tempat berlindung, agar tidak bertaburan di luar dan mengganggu keselamatan umat manusia.
Saya menyadari seluruh tubuhku adalah racun, maka saya rela bersedia tinggal di lubang-lubang goa yang gelap dan dingin.
Dengan mengandalkan kekuatan sendiri selama puluhan ribu tahun, semua virus itu saya tutup dan kunci rapat-rapat.
Malam-malam keluar dan subuh kembali, dalam kesepian dan kesendirian.
Bahkan dengan sengaja saya menampilkan wujud wajah seram dan mengerikan, agar membuat manusia menjauh dan tidak menyentuhku.
Akan tetapi tidak pernah terbayangkan bahwa umat manusia tidak dapat mengendalikan sikap serakah dan nafsu makan mereka.
Wahai umat manusia, tahukah kalian jika membuka kotak Pandora, maka seluruh virus petaka akan berhamburan keluar menjerat kalian.
Kalian bisa menjadikanku sebagai santapan yang lezat, tapi virus-virus di tubuh saya akan kehilangan tempat tinggalnya.
Virus-virus ini perlu mencari rumah baru bagi mereka dan tubuh kalian penuh dengan lemak dan daging, bukannkah itu merupakan tempat yang cocok untuk virus-virus ini.
Saya hanya bisa mengeluh dengan penuh penyesalan.
Seluruh jerih payah saya selama ini pada akhirnya semua dirusak.
Saya hanya dapat membantu manusia menyampaikan Hukum Alam Semesta.
Melindungi hewan-hewan di alam semesta, sebenarnya bukan melindungi mereka, tapi justru untuk melindungi umat manusia.
Saya ingin lebih mendalam menyampaikan kehidupan manusia haruslah harmonis dengan alam.
Manusia sebenarnya adalah makhluk kecil di dalam alam semesta ini. Jangan lah manusia beranggapan bahwa dengan tercipta sebagai manusia lalu tidak ada yang ditakuti, sehingga menganggap diri yang paling hebat dan berkuasa.
Hukum Alam sangat adil, saat engkau tidak menghargai kehidupan makhluk lainnya, bencana dan malapetaka sudah diambang mata.
Terakhir saya masih ingin mengingatkan pada manusia, bahwa surat ini tidak mewakili pribadi para Kelelawar, tapi mewakili juga para Ular, Tikus, Burung-burung, Jangkrik, Belalang, Bintang Laut, Kuda laut dan seluruh hewan di Alam semesta ini.
Oleh : Chou Zi Guang
Terjemah : Tim INLA Bali & IVA Bali.
ÂGagasan-gagasan atau pokok pikiran filosofis tentang masalah lingkungan hidup yang dikemukakan kelelawar!
Manusia Tenggelam dalam kecenderungan bersikap "antroposentris". Tulisan berjudul "Sepucuk Surat dari Kelelawar kepada Manusia," sebenarnya menggambarkan cara manusia memandang alam semesta dan segala isinya. Manusia bersikap antroposentris, yakni menganggap dirinya sebagai pusat dari tatanan ekosistem. Manusia merasa diri sebagai ciptaan atau makhluk hidup yang memiliki nilai yang paling tinggi (Keraf, 2002:23). Sebagian besar manusia beranggapan bahwa apa yang ada di dunia ini terutama segala sumber daya yang mampu dimanfaatkan, diperuntukkan bagi manusia sendiri. Segala kebutuhan manusia akan dipenuhi oleh apa yang telah disediakan alam. Ditambah lagi penafsiran-penafsiran dangkal terhadap ajaran-ajaran iman dan isi Kitab Suci, seperti yang terdapat dalam Kitab Suci Perjanjian Lama bahwa Allah menyerahkan alam beserta isinya kepada manusia.[2] Manusia pun merasa menjadi tuan atas isi dunia dan kemudian bertindak tanpa memikirkan resiko bagi masa depan dirinya dan alam semesta. Hal itulah yang dilakukan oleh manusia kepada kelelawar dan tatanan ekosistem yang lain. Pada kelelawar misalnya, manusia mengeksploitasi kelelawar hanya demi memenuhi hasratnya akan makanan yang enak dan mengenyangkan.
Etika Instrumentalistik -Â Surat dari kelelawar juga menyiratkan sebuah argumen instrumental, di mana manusia mengenakan nilai pada alam dan segala isinya tetapi nilai di sini hanya sebatas nilai instrumental. Jadi alam dengan kekayaannya dijaga tetapi dimanfaatkan untuk kepentingan manusia. Pandangan ini didasari oleh keyakinan kolektif bahwa manusialah makhluk yang paling istimewa. Misalnya seperti yang dilakukan oleh manusia kepada kelelawar dan kepada hewan lain. Manusia berusaha merawat dan menjaga tetapi untuk kepentingannya, yakni agar bisa disantap dan memberikan kepuasan bagi mereka yang memakannya. Sayangnya, meskipun dirawat dan dipelihara, ketamakan manusia membuatnya tak pernah berpikir tentang resiko dari perbuatannya tersebut. Yang ada dalam benak manusia hanya soal rasa saja, tanpa mengenal lebih dalam apakah yang ia santap sungguh berguna dan bermanfaat bagi kesehatannya atau malah menghancurkan dirinya sendiri.Â
Penolakan terhadap hak asasi alam - Meminjam pandangan dari Leopold dan semua penganut teori etika lingkungan biosentrisme dan ekosentrisme, yang memandang bahwa etika juga mencakup seluruh komunitas biotis dan ekologis, maka hak asasi tidak hanya berlaku bagi manusia tetapi juga bagi seluruh anggota komunitas biotis. Terlepas dari perdebatan tentang apakah teori ini diterima atau tidak, surat dari kelelawar sebenarnya juga adalah seruan akan penghargaan terhadap hak dan juga kewajiban mereka sebagai anggota komunitas biosfer. Manusia dengan sifat antroposentrisnya menyangkal hal itu secara radikal. Pada kelelawar misalnya, mereka berhak untuk bertahan hidup, di sisi lain mereka membawa kewajiban mereka sebagai pelindung komunitas biotis dengan kemampuan mereka menampung virus-virus mematikan. Komunitas biotis yang lain pun masing-masing memiliki kewajiban tersebut. Namun sekali lagi manusia melanggar hak asasi itu tanpa menyadari konsekuensi yang akan ia terima. Hasilnya seperti yang disaksikan sekarang ini, manusia harus berhadapan dengan pandemi yang sangat mematikan.
Merusak tatanan ciptaan sama halnya dengan merusak relasi dengan Tuhan -Â Aquinas dalam metafisika-nya, menekankan bahwa semua makhluk bernilai pada dirinya. Aquinas tidak berbicara tentang manusia saja, tetapi semua komunitas biosfer. Semua makhluk punya kebaikan. Seekor kelelawar pun punya kebaikan pada dirinya. Bahkan juga seekor nyamuk, lalat dan binatang-binatang lain yang hampir dilupakan, masing-masing punya nilai dan kebaikannya. Aquinas menegaskan bahwa semua ciptaan berpartisipasi dalam Tuhan. Partisipasi itu berlangsung menurut esensi masing-masing ciptaan. Jadi, baik kelelawar, babi, anjing, ular atau batu pun berpartisipasi pada Tuhan (esse) menurut hakikatnya atau menurut potensialitasnya untuk mengada. Aquinas juga membuktikan eksistensi Tuhan dengan berdasarkan ketertiban alam semesta. Maka jelas bahwa setiap ciptaan sudah memiliki keteraturannya. Merusak satu spesies saja, maka akan merusak ketertiban dan kebaikan yang sudah Tuhan berikan. Konsekuensinya apa? Konsekuensinya adalah kacaunya tatanan ciptaan seperti yang terjadi saat ini. Maka bisa disimpulkan bahwa Tuhan yang menciptakan kelelawar, dengan berbagai virus mematikan yang berdiam dalam dirinya, sudah mengatur agar manusia tidak menjangkaunya dan merusaknya. Itulah mengapa aktivitas kelelawar berlangsung saat manusia beristirahat. Namun hasrat manusia akan kepuasan menikmati makanan tersebut, membuat ia melawan apa yang sudah ditentukan baginya. Ia merusak tatanan tersebut dan konsekuensinya adalah dosa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H