Ada beragam perubahan yang terjadi beberapa tahun terakhir ini. Meski perubahan-perubahan tersebut merupakan rintisan berbagai perubahan yang terjadi puluhan tahun lalu, namun yang terjadi beberapa tahun belakangan ini benar-benar hal-hal yang baru dan berbeda. Karena perubahan tersebut, banyak orang yang kemudian baru menyadari bahwa kita sudah masuk pada era disrupsi.Â
Era di mana munculnya berbagai inovasi-inovasi baru dalam teknologi digital maupun dalam lingkup hidup sosial manusia sehari-hari dalam bentuk pergeseran tatanan sosial. Tentu dalam hal ini kita masyarakat Indonesia, mengalami sedikit ketertinggalan.Â
Bagaimana tidak, disrupsi sendiri merupakan sebuah paham yang petama kali diungkapkan oleh seorang Profesor di Harvard Business Schooll, Clayton M. Christensen dari hasil penelitiannya yang menjadi populer saat ia tuangkan dalam bukunya The Innovator's Dilemma yang diterbitkan tahun 1997. Di Indonesia, teori ini baru dipopulerkan beberapa tahun lalu oleh Prof. Rhenald Khazali dalam beberapa bukunya yang bertema Disrupsi. Christensen menyoroti berbagai perubahan dan perkembangan tekonlogi digital khusunya.
Di Indonesia, salah satu perkembangan yang mendapat tanggapan serius adalah hadirnya jasa transportasi online yang membuka mata masyarakat. Penolakan dan penerimaan mewarnai perkembangan startup-starup tersebut.
Dalam tulisan-tulisannya mengenai disrupsi, Rhenald menyoroti berbagai model-model bisnis baru yang tidak hanya mengancam para incumbent (pelaku bisnis lama) tapi bahkan menghancurkan mereka. Model-model bisnis baru tumbuh dengan gaya ekonomi berbagi yang tidak hanya melibatkan satu kekuatan seperti cirikhas para incumbent tapi menghimpun bisnis atau pelaku-pelaku kecil dalam satu jaringan dan dengan pembagian yang sama-sama menguntungkan. Disrupsi di sini dilihat sebagai inovasi yang memberikan keuntungan, bukan karena suatu perusahan memiliki highly regulated procedures, melainkan karena suatu penyangkalan (deception) atau pengabaian terhadap apa yang dianggap remeh.
Ada kecenderungan oleh para pelaku ekonomi yang sudah mapan, merasa nyaman dengan sistem yang mereka miliki. Kekuasaan yang besar dianggap paling kuat dan aman, sehingga diyakini akan terus mendatangkan keuntungan. Prosedur kerja perusahaan atau usaha mereka dianggap sudah baik dan cendeurng menutup relasi dengan pelaku-pelaku usaha lain.Â
Akibatnya para incumbent ini malah menjadi defensive saat berhadapan dengan hal-hal baru yang disurptif. Mereka menolak disrupsi dan akhirnya mereka yang terdisrupsi. Berbagai perkembangan teknologi dilihat sebagai ancaman justru dihindari dan malah dilawan, bukan dihadapi dan dimanfaatkan.
 Lihat bagaimana pengelola taksi-taksi konvensional kewalahan saat pemerintah akhirnya menyetujui jasa tranportasi online hadir di tanah air. Kini taksi-taksi tersebut terdisrupsi dan bahkan terancam gulung tikar. Atau siapa yang menyangka bahwa orang terkaya di dunia ini adalah seorang milenalis, pemilik Amazon.com sebuah toko online yang sudah mendunia. Ia menggantikan posisi bos Microsoft yang terlalu fokus berinovasi tanpa melihat disrupsi.Â
Dulunya toko ini hanya menjual satu jenis barang dagangan, dan kini hampir tidak ada barang yang tidak kita jumpai di dalam platform tersebut. Di Indonesia pun demikian, toko-toko online membuat para pelaku usaha ritel harus menutup usahanya karena kekuarangan pendapatan. Orang mulai mencari yang murah, berkualitas, mudah di dapat, terpercaya, dan tidak butuh banyak prosedur.
Namun apakah disrupsi hanya soal keuntungan saja? Kita perlu mengakui bahwa disrupsi bukan hanya tentang invoasi yang menguntungkan. Disrupsi juga merupakan invoasi yang merusak tatanan sosial. Sekurang-kurangnya kita dapat melihat teori ini dalam pandangan Francis Fukuyama, seorang ilmuwan politik tapi juga sosiolog yang merangkum pemahamannya dalam buku The Great Disruption.Â
Perkembangan teknologi yang semakin radikal menjadi indikator yang membuat Fukuyama melihat era ini sebagai era disrupsi, dimana terjadinya kemerosotan dalam tatanan sosial. Disrupsi olehnya dilihat sebagaimana arti leksikal dari kata itu sendiri, yakni keterpecahan. Ia melihat masyarakat informasi (information society) yang ditandai dengan kondisi-kondisi sosial yang memburuk.Â