Artinya, pengetahuan selalu identik dengan kebijaksanaan (sofia). Hal ini menjadi nyata saat Sokrates berargumentasi dimana ia tidak seperti kaum Sofis yang cenderung menghancurkan argumen lawan. Ia justru membangun dialog dengan bertitik tolak dari argumen lawan bicaranya menuju pengetahuan  dan kebenaran. Jadi, dialog atau dialektika yang dikembangkan oleh Sokrates bertujuan untuk menciptakan konsep-konsep tentang kebenaran dan kebaikan. Dengan hal ini, mau ditegaskan bahwa hakikat filsafat ialah mencari kebenaran.
Filsafat harus mengkritik jawaban-jawaban yang tidak memadai. Tetapi disaat yang sama, ia harus ikut mencari jawaban yang benar.[4] Dengan demikian, kritik Sokrates sebenarnya sudah mengarah pada hakikat dari filsafat. Jika seorang menamakan dirinya seorang filsuf maka ia akan beruasaha mencari kebenaran tersebut, dengan pertama-tama sadar bahwa kebenaran itu pasti ada (tidak skeptis seperti kaum Sofis), dan yang kedua, menyadari bahwa ia harus keluar dari dirinya karena kebenaran juga ada pada orang lain.
Sokrates menegaskan bahwa untuk mengatasi relativisme dan skeptisisme kaum Sofis, dibutuhkan dasar yang kokoh bagi pengetahuan. Nah, dasar ini justru ada dalam diri kita sebagai manusia. Ini yang tidak disadari oleh kaum Sofis, sehingga mereka berani bersikap skeptis dan teguh pada relativisme moral. Sokrates sebaliknya ia menemukan bahwa dalam pribadi manusia ada medan aktifitas yang unik seperti aktifitas mengetahui yang implikasinya akan menghantar orang pada kegiatan praktis (bertindak). Pertanyaannya sekarang bagaimana aktifitas unik itu dapat dipahami dan dijelaskan?
Sokrates menciptakan suatu konsep jiwa atau psykhe. Jiwa yang dipahami Sokrates disini lebih terarah pada kapasitas untuk aktifitas intelegensi dan watak. Maka, ia tidak lain dari personalitas manusia yang sadar. Karenanya, jiwa inilah yang membuat kita dapat menjelaskan tentang bijaksana atau tolol, baik atau jahat. Meskipun gambaran Sokrates tentang jiwa tidak begitu lengkap, namun ia menghubungkan hakikat dengan aktifitas mengetahui dan mengarahkan atau mengontrol tindakan atau pelaku.Â
Makanya, jiwa harus dirawat dan diperhatikan agar menjadi baik. Dengan jiwa yang baik, maka orang bisa membedakan dengan jernih antara kenyataan dan ilusi untuk membangun hidupnya atas dasar pengetahuan yang benar tentang kehidupan. Maka, Sokrates akhirnya menemukan bahwa landasan kokoh yang ia cari bagi pengetahuan, adalah jiwa. Jiwa dan aktifitasnya memungkin manusia untuk mencapai pengetahuan yang dapat diandalkan sebagai dasar moralitas.
Dialektika
Dialektika berasal dari kata Yunani dialegestai yang berarti bercakap-cakap atau berdialog. Metode Sokrates dinamakan dialektika karena di dalamnya, dialog atau percakapan mempunyai peranan yang hakiki. Dalam suatu kutipan yang terkenal, Sokrates sendiri mengusulkan nama lain untuk menunjukkan metodenya, yakni seni kebidanan atau dalam bahasa Yunani dinamai maieutike tekhne. Maksudnya seperti ibunya adalah seorang bidan, demikian Sokrates membidani jiwa-jiwa. Ia sendiri tidak menyampaikan pengetahuan tetapi dengan pertanyaan-pertanyaan, ia justru membedah pengetahuan yang terdapat dalam jiwa orang lain.
Jika pada poin sebelumnya agak panjang lebar dipaparkan tentang kritik Sokrates terhadap kaum Sofis dengan menekankan peranan jiwa, maka sebenarnya yang dimaksudkan adalah dari jiwalah pengetahuan menjadi mungkin. Dialektika sebenarnya sederhana saja karena ia memulai dari aspek tertentu dari suatu problem. Seocrates berkeyakinan bahwa melalui proses dialog setiap partisipan dibantu untuk menjelaskan ide-idenya dan bergerak menuju hasil akhir berupa definisi yang jelas mengenai apa yang dipermasalahkan pada awal dialog. Meski sederhana namun terkadang dialektika ini mengandung ironi yang menyebabkan perasaan kurang enak.
Kita pasti masih ingat kisah dialog antara Sokrates dan seorang pemuda bernama Euthyphro. Dalam dialog tersebut ada hal yang sangat menarik dimana Sokrates berlagak tidak mengerti banyak hal agar memancing lawan bicara mengungkapkan segala pengetahuan yang dia miliki. Pertanyaan yang diungkapkan oleh Sokrates dikemukakan secara tertib terarah sehingga ia tampak seperti seorang bidan yang membedah rahim intelektual agar melahirkan pengetahuan yang tertinggi.
Dijelaskan pada poin sebelumnya bahwa kebenaran yang dipahami oleh seorang filsuf tidak boleh hanya kebenaran pada diri sendiri, tetapi juga pada orang lain. Demikian dialektika membuktikan hal itu. Sokrates tidak saja mengungkapkan pertanyaan dalam sebuah dialektika. Diwaktu yang hampir bersamaan, ia justru secara progresif  mengoreksi pengertian tentang konsep yang tidak lengkap dan tidak akurat. Dengan cara ini, seorang lawan bicara secara bertahap dapat mengungkapkan kebenaran yang diketahuinya. Kenapa Sokrates sangat yakin dengan hal ini? Itu karena jiwa manusia mempunyai kemampuan untuk mengetahui sesuatu. Hal ini sudah dijelaskan dalam poin sebelumnya. Bahkan kalaupun pengetahuan seseorang keliru maka, dialektika dapat menjadi metode yang ampuh untuk mengungkapkan bahwa pengertian yang dimiliki itu memang keliru dan harus dikoreksi. Dalam kenyataannya berhubungan dengan dialog Sokrates, Plato mencatat bahwa tidak semua dialog berakhir dengan kesimpulan tentang pengetahuan yang benar. Hal itu disebabkan oleh kenyataan bahwa Sokrates selalu berusaha agar tidak memaksakan konsep tertentu pada lawan bicaranya.
Kesimpulan