Mohon tunggu...
Wilhelmus TarsianiAlang
Wilhelmus TarsianiAlang Mohon Tunggu... Musisi - Saya tidak pandai menulis. hanya ingin Bercerita!

"Darah lebih kental, dari Air". Menulis itu bercerita dengan jari-jari Anda.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Adelia: Ketika Kamu Pikir Aku Tidak Melihat, Aku Melihat!

20 Desember 2021   06:48 Diperbarui: 20 Desember 2021   06:54 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Satu setengah tahun sudah, Adelia melepas Wiliam mengembara ke negri atah-berantah. Kendati sudah merestui, namanya Mama, pasti selalu dilambung rindu, mengingat anaknya yang kini bagai ranting kering. Kadang memang Wiliam tidak memahami, mengapa ibunya selalu harus melalui jalan yang paling sulit dan menyakitkan. Dia tidak sadar, seorang ibu tidak pernah tahu mengapa ia harus memberi segalanya. Karena nalurinya hanyalah untuk mencintai dan melindungi. Itulah sebabnya kendati tersandung dan gagal, ibu tetap bersikeras menghadapi badai apa pun sendirian.

Di suatu malam Senin, di bulan lima, Adelia tahu, Wiliam di negri atah berantah menyebut namanya dalam kepahitan. Dia lantas terjaga di malam itu dan duduk di kursi merah plastik yang ada di samping kamarnya.

"Ibu kuatir kamu memilih perempuan sembarangan nak," batinnya.

Seperti Wiliam, ibunya pun tak sadar, mengapa Wiliam menyebut namanya dalam kepahitan. Bukan karena ia telah memilih perempuan sembarangan, namun karena memang nama Ibunya, Adelia, adalah nama lain Tuhan yang selalu ia sebut.

"Tuhan", seru Adelia pilu. "Jagalah anakku, karena kakiku terlalu pendek untuk sampai kepadanya. Peluklah dia, karena tanganku tak dapat sampai memeluknya. Aku mencintainya, lebih dari aku mencintai surga-Mu".

Usai bersujud di malam Senin itu, Adelia kembali ke biliknya dan mencoba untuk menutup matanya. Namun belum sampai sejam, ia terjaga lagi dan langsung memegang rahimnya. Yah, puluhan tahun silam, di malam Senin juga, di bulan lima, dalam hari ke duapuluh delapan, Wiliam yang kala itu belum diberi nama, menendang-nendang perutnya untuk segera dikeluarkan agar dapat menjadi manusia bebas.     

Adelia pun langsung bangun tersungkur ke tanah, menahan beban kepedihan, mengeram di dalam hatinya, "Anak momang zao, neka kimu pu'e ata dou ele mama", pakailah kain yang ibu beri. Mengapa malam ini ibu begitu merindukanmu seperti di malam senin waktu itu.  

Karena seperti dendam, rindu itu harus dibalas, Adelia mencoba menelpon William. Namun yang terdengar adalah suara perempuan, "Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif atau berda di luar jangkuan cobalah beberapa saat lagi", lalu suara itu dilanjutan dengan Bahasa Inggris yang Adelia sendiri tidak mengerti. Merasa tidak puas, Adelia kembali menelpon, dan sampai tiga kali, suara yang sama yang menjawabnya.

"Anak Momang Zao" seru Adelia mengantung harap, "Eme dapat pake, nuk emang gau......., eme gau dapat rezeki do',  anak momang zao, nuk endeng gau.....  eme gau dapat tuna, nuk om gau.......  Eme gou dapat ikan, anak momang zao, nuk tanta gau."

Di bawah terang bulan dan naungan bintang-bintang itu, Adelia kembali bersujud mencium tanah, menghirup aroma tanah yang siapa tahu masih menyimpan bau kaki Wiliam yang khas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun