"Dalam perjalanan saya menemui begitu banyak orang, namun saya tak mengeluarkan satu katapun---diam seribu Bahasa"
Kasihku, berapa banyak jalan harus kutempuh untuk mendapatkan ciuman,
berapa kali aku tersesat kesepian sebelum menemukanmu!
Ah, barangkali siluetmu tak pernah larut di pantai
barangkali kelopak matamu tidak pernah berdenyar
di bentang jarak yang hampa
jangan pernah tinggalkan aku sedetikpun sayang
karena jika terjadi, kau akan terlanjur begitu jauh
(Pablo Neruda)
Ketika senja mulai tampak indahnya, aku hilir mudik kelaparan di tepi pantai Cepi Watu, berusaha memperkosamu dalam keheningan. Aku berharap sembari memandang jauh pada pasir putih yang bagaikan permadani berkilau malu pada siluet batu karang yang perkasa dan kekar.Â
Namun semua hadiah semesta ini belum cukup memuaskan dahaga sesuatu yang bertengger dalam celana. "Aku merindukanmu sayang. Tengkorak mukamu yang teratur, bibirmu yang merah bak delima, serta payudaramu yang padat," bisiku pada semilir angin yang berhembus. Â
Belum sampai sedetik aku dibakar rindu, dia datang padaku. Jalannya yang gugup mengisyaratkan kerinduannya yang sama denganku.Â
Betapa cantik, betapa jelita engkau, hai tercinta di antara segala yang disenangi. Sosok tubuhmu seumpama pohon koma, dan buah dadamu gugusannya."Aku ingin memanjat pohon korma itu, dan memegang gugusan-gugusannya yang masih merah pudar."
Dia tersenyum pelan padaku kala langkah kakinya mendekat, dan terus merapat hingga aroma mulutnya dapat kutangkap dengan batang hidungku yang lebar.Â
Senyum itu yang mengingatkanku pada tahun-tahun silam kala kutiduri wanitaku degan liar, lapar dan birahi. Kutiduri dia saat rumahnya sepi tak ada penghuni.Â
Jadi kala orangtuanya berpacul dengan lahan untuk menumbuhkan benih padi, kami berduapun berpacul di sebuah kasur tua yang aromanya masih kuingat. Wanitaku yang sebelumnya pemalu kini menjadi penantang takdir. Aku membelai bulu mukanya.Â
Dan tampak dari alisnya yang mengerut napsu, ia pun menyetujui belaianku, mendesah halus namun mengatasi suara angin. Desahannya adalah badai dalam jiwaku. Dan ini pasti tidak akan sama sperti sebelumnya, kala rasa sakit yang amat keras dia rasakan di hari pertama, di malam liar--- saat kami saling membungkus lengan dan kaki, di atas dan di bawah. Aku ingat malam liar itu, kala aku mencium pahanya, merasakan kepolosannya, dan menggigit bibirnya. Satu kali, namun, aku masih ingin itu terulang lagi dan lagi, kala dua manusia menjadi satu nafas. Â
Eh.... Belum sampai permohonanku dikabulkan Dewi Kesuburan, wanitaku sudah melahap bibirku. Kami saling memburu ciuman dan aku serasa ingin memakan kulitnya. Sesekali terjeda untuk setiap kami mengumpulkan lagi udara dan kembali saling melahap. Tanganku pun dengan kasar melingkari pinggangnya, dan seakan memahami instingku, wanitaku tersenyum sinis. Seolah meremehkan. Aku mulai memegang hangat payudaranya, dan sesekali dia mendesah karena merasa geli, malu, namun tetap membutuhkan. Seprti anjing yang kelaparan, sampai tulangpun ingin dihabisi.
Wanitaku kini mulai berbalik menyerang. Ia mengulurkan tangannya ke dalam celanaku yang sengaja kupasang longgar dan menyentuh batang Oak-ku. Tangannya yang kurus seolah menggenggam segalanya termasuk dua pilar kejantanan yang kubanggakan sebagai karunia suci Dewa Langit yang seolah pernah hidup sebagai manusia.
Ahhhhh..... Desisku menyerah pada wanitaku yang kusangka Perempuan Suci. Suci dalam parasnya. Suci dalam budinya. Suci dalam nuraninya. Dan suci dalam tubuhnya. Namun hari ini akan kutiduri kesucianmu lagi.Â
Akan kutelanjangi semuanya. Kupegang tangannya, "Wanita tak boleh pertama memulai", bisiku pada telinganya yang menempel pada bibirku yang gemuk. Tangan kasarku pun mulai menjalar liar dalam guanya. Kadang dia menggenggam tanganku dengan keras. Namun masa bodoh, kamu adalah wanitaku yang kunapsui setiap hari hidupku.
Kami lalu rebahan di atas pasir. Masih dalam satu tubuh. Satu keringat. Aku telah dikalahkan olehnya. Tangannya yang lembut perlahan menyentuh jakunku.
"Masih ada bang," tanyanya sedih.
"Yah, ini kekal".
Wanitaku lalu bangun dan lari terbirit-birit. Diburu oleh dosa masa lalu. Aku lalu bangun dari pasir itu. Mengejarnya namun tak kujumpai jantung hatiku. Ku masuki setiap taman-taman kota, namun yang ada hanyalah "Ular yang melintasi pohon kehidupan". Aku pun seperti dia berlari tanpa arah ke ujung dunia. Membawa dosaku berlari menuju gerbang keabadian. Semoga dalam Firdaus yang baru kami dapat bertemu, meski dengan wajah bagai hewan yang diburu dan terluka. Â
"Ah, perempuan! Sudah beratus kali kuhancurkan badanmu di ranjang. Tetapi kesepian ini, kesepian ini datang berulang". (Subagio Sastrowardoyo) Â Â Â
Â
Kupang 01 Agustus 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H