Perkembangan teknologi informasi telah menggeser tren peperangan secara global, yang tak melulu tentang adu senjata militer atau taktik kamuflase di medan pertempuran (konvensional), tapi juga melibatkan operasi asimetris (nonkonvensional). Dinamika perang asimetris ini mengerahkan pelbagai sumber daya demi menguasai informasi, terutama di ruang siber untuk mempengaruhi individu dan masyarakat, baik di dalam negeri hingga meluas ke negara lain tanpa batasan ruang dan waktu.
Topik ini penting dibahas lebih mendalam karena terjadi peningkatan signifikan perang asimetris, baik frekuensi maupun kompleksitasnya, dengan pola-pola operasi siber yang kian beragam, salah satunya didorong munculnya teknologi baru seperti artificial intelligence (AI).
Invasi Rusia ke Ukraina menjadi contoh aktual untuk melihat perkembangan dan dinamika perang asimetris tersebut. Rusia tak hanya mengerahkan peralatan perang konvensional, namun juga memobilisasi sumber dayanya untuk menggencarkan perang informasi secara massif ke seluruh dunia melalui propaganda dan disinformasi di ruang digital untuk menggalang dukungan internasional.
Perang informasi yang menjadi karakteristik dalam perang asimetris mencakup tindakan manipulasi dan pemanfaatan suatu informasi secara spesifik untuk memperoleh keunggulan signifikan atas lawan. Operasi tersebut bertujuan untuk mempengaruhi, menimbulkan kebingungan atau kerancuan yang pada akhirnya dapat menurunkan moral (demoralisasi) lawan, namun melindungi aset informasi diri sendiri atau pihak penyerang.
Reisman dan Antoniou (1994) dalam Damjanovi (2017) menyatakan perang informasi dapat mencakup lima elemen yakni: 1) mengumpulkan informasi taktis, 2) memeriksa keakuratan informasi, 3) menyebarkan propaganda dan disinformasi untuk menurunkan moral atau memanipulasi lawan dan masyarakat, 4) meremehkan kualitas informasi lawan, dan 5) menghambat kesempatan lawan untuk mengumpulkan informasi. Sejumlah negara kerap merogoh dana cukup besar untuk membangun unit-unit tersebut itu berikut investasi terhadap teknologi digital.
Sedangkan menurut Libicki (1995), perang informasi memiliki tujuh bentuk antara lain:
1) peperangan dalam lingkup komando dan kendali; 2) perang intelijen; 3) peperangan elektronik; 4) perang psikologis; 5) perang peretas; 6) peperangan informasi ekonomi; dan 7) perang siber. Semua bentuk ini saling berhubungan, terutama perang para peretas (hacker) dan perang siber yang tidak sepenuhnya disjungtif.
Sebagai taktik dalam perang asimetris, perang informasi dinilai dapat menghadirkan efek yang luar biasa saat dikolaborasikan dengan penggunaan teknologi serta operasi siber lainnya. Â Mengingat saat ini, jumlah pengguna internet yang makin tinggi, rentannya media sosial, dan rendahnya literasi digital warga, mendorong bentuk-bentuk perang informasi seperti propaganda, disinformasi, ataupun jenis manipulasi informasi lainnya dapat disebarkan lebih mudah, lebih cepat, serta menjangkau populasi lebih luas di luar batas-batas administrasi negara.
Tujuan strategis pelaku perang informasi adalah sebagai alat untuk memberikan pengaruh dan membentuk persepsi di negara tujuan, menurut Plazova, dkk (2024). Berbagai perspektif dibangun misal untuk melemahkan posisi dari dalam seperti meningkatkan keraguan dan kecemasan yang berangkat dari eksploitasi berbagai isu fundamental yang terjadi.
Untuk mempengaruhi opini publik di negara-negara lain, digunakan pula metode membuat akun palsu untuk menyebarkan disinformasi, membuat konten manipulatif untuk menyebarkan narasi yang mempromosikan ideologi yang memecah belah serta mempromosikan narasi perpecahan di media sosial (media baru). Strategi berupa peretasan juga dilakukan misal dalam bentuk pengambilalihan secara ilegal terhadap berbagai portal berita, akun media sosial, hingga penguasaan jaringan Internet dari negara target ketika memang diharuskan.
Manipulasi Informasi Rusia
Dalam konteks invasi Rusia ke Ukraina, sejumlah peneliti telah mengungkap bentuk-bentuk perang informasi telah dilakukan secara serius oleh Kremlin. Center for Strategic and International Studies (CSIS, 2023) mengungkap peran pembentukan persepsi publik melalui media sosial, dengan cara menyebarkan dan memviralkan suatu informasi dari satu pihak dengan tujuan untuk mempengaruhi opini dan strategi global.
Selain itu, laporan The Digital Forensics Research Lab (2024) menyebutkan bahwa propaganda informasi yang diorkestrasi oleh Rusia dilakukan dengan cara mengoptimalkan berbagai platform media sosial, operasi peretasan (hacking operation), dan menyebarkan dokumen palsu, adalah taktik-taktik untuk melemahkan kemampuan Ukraina. Selain itu, Rusia juga menjalin kerjasama dengan jaringan media di berbagai negara pendukung dalam mengontrol dan menyebarluaskan arus informasi, berita palsu hingga narasi yang menyesatkan.
Operasi siber yang dilakukan secara terstruktur membuat berbagai berita palsu disebar ke berbagai platform media sosial dalam berbagai bentuk mulai dari video, teks hingga berbentuk berita. Secara teknis, Rusia disinyalir membangun berbagai bot yang mendistribusikan informasi-informasi yang telah dimanipulasi itu secara cepat dan massal untuk menjangkau audiens lebih besar dan ke berbagai segmen usia. Narasi-narasi pro-Rusia itu juga dipublikasikan di media tradisional dan situs web yang dikontrol langsung oleh negara, kemudian disebarkan oleh jaringan media yang bekerja sama dengan Rusia.
Jejaring manipulasi informasi juga menyebar pada berbagai portal berbagi video di Youtube yang menayangkan ribuan video propaganda Rusia (Treyger dkk, 2022). Penulis mencoba menelusuri medatada kanal berbagi video melalui aplikasi khusus seperti https://filmot.com dan https://exportcomments.com. Hasilnya, penulis menemukan informasi detail mengenai tanggal, waktu tayang suatu video, hingga jumlah tayang (views). Anomali yang terlihat adalah digunakannya suatu aplikasi untuk mengunggah video dalam jumlah banyak pada satu waktu, serta jumlah views dari setiap video yang mencapai puluhan ribu dalam waktu tayang yang singkat.
Rusia sejak awal menyadari bahwa mengelaborasi kemampuannya dalam perang informasi memiliki dampak lebih besar dengan biaya yang murah, sehingga menjadi suatu keharusan untuk memiliki pemahaman serta kemampuan di area tersebut (Polyakova, 2018). Saat ini, Rusia juga berupaya meningkatkan kapabilitas dalam penguasaan AI-Driven Asymmetric warfare (ADAW), dimana kecerdasan buatan atau artificial intelligence digunakan dalam mendukung kampanye propaganda dan disinformasi sehingga informasi yang salah tersebar lebih cepat dan efektif.
Kombinasi teknologi canggih yang dimiliki tentu pula ditengarai didukung oleh aktivitas kolaborasi antara aktor negara dan non-negara. Rusia diketahui bekerja sama dengan salah satu grup berita di Indonesia, individu atau pemengaruh (influencer) tertentu yang dimungkinkan untuk mempengaruhi serta meningkatkan jangkauan serta dampak dari kampanye propaganda yang dilakukan.
Bahasa yang digunakan pada konten propaganda Rusia, juga ditemukan banyak dibuat dalam Bahasa Indonesia dengan narasi positif untuk memuja individu atau negara tertentu. Setidaknya terdapat tiga strategi agar konten menjadi viral, yaitu visualisasi konten yang tajam misal berupa rekaman perang, menggunakan tagar populer, dan mendistribusikan konten ke berbagai chat group, forum, serta portal berita.
Bentuk strategi yang yang semakin canggih ini dapat mendominasi narasi positif mengenai Rusia di negara-negara target dan sebaliknya mendegradasi negara yang lebih lemah seperti Ukraina. Dampak yang patut dikhawatirkan kemudian adalah munculnya dukungan dari warga lokal atas invasi Rusia karena telah terpapar disinformasi atau manipulasi informasi secara terus-menerus yang akhirnya dapat menggeser atau mengubah opini publik, serta mempengaruhi dukungan politik dari negara-negara target.
Tantangan Bagi Negara TargetÂ
Di era digital dan kemajuan teknologi yang berkembang pesat saat ini, publik yang menjadi target sasaran perang informasi, menghadapi tantangan yang kian kompleks. Di satu sisi, kemajuan teknologi Internet memang memberikan akses informasi serta sarana komunikasi yang lebih cepat dan terbuka. Akan tetapi publik semakin rentan karena peluang terpapar disinformasi dan propaganda jauh lebih besar.
Jika masalah tersebut diabaikan, maka dampak negatif yang ditimbulkan jauh lebih destruktif.  Pemerintah perlu bergerak aktif melibatkan partisipasi aktif dari individu, serta  komunitas, untuk merumuskan upaya-upaya mitigasi dan penanganan yang komprehensif dengan tetap mengedepankan hak-hak asasi manusia.
Menurut penulis, inisiatif cek fakta dengan memberikan pelabelan informasi palsu perlu dioptimalkan. Akan tetapi cek fakta saja tidak cukup. Perlu mengelaborasi dengan cara-cara yang lebih efektif untuk melawan disinformasi dan propaganda melalui kanal atau platform media sosial yang sama seperti yang digunakan oleh pelaku.
Konten yang berisi narasi tanding maupun narasi alternatif untuk melawan informasi palsu, dapat didistribusikan lebih luas sehingga secara perlahan menggantikan konten palsu tersebut. Kita harus meyakini bersama bahwa disinformasi, propaganda dan bentuk bentuk manipulasi informasi lainnya pada akhirnya dapat melemahkan rasa persatuan dan kesatuan sebagai bangsa.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H