Mohon tunggu...
Wilfridus Handaya
Wilfridus Handaya Mohon Tunggu... Konsultan - tuwuhwutuh.id

Peneliti keamanan siber dan forensika digital

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Perang Asimetris di Era Media Baru dan AI

23 Mei 2024   22:41 Diperbarui: 27 Mei 2024   04:26 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Alam dan Teknologi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Anthony

Perkembangan teknologi informasi telah menggeser tren peperangan secara global, yang tak melulu tentang adu senjata militer atau taktik kamuflase di medan pertempuran (konvensional), tapi juga melibatkan operasi asimetris (nonkonvensional). Dinamika perang asimetris ini mengerahkan pelbagai sumber daya demi menguasai informasi, terutama di ruang siber untuk mempengaruhi individu dan masyarakat, baik di dalam negeri hingga meluas ke negara lain tanpa batasan ruang dan waktu.

Topik ini penting dibahas lebih mendalam karena terjadi peningkatan signifikan perang asimetris, baik frekuensi maupun kompleksitasnya, dengan pola-pola operasi siber yang kian beragam, salah satunya didorong munculnya teknologi baru seperti artificial intelligence (AI).

Invasi Rusia ke Ukraina menjadi contoh aktual untuk melihat perkembangan dan dinamika perang asimetris tersebut. Rusia tak hanya mengerahkan peralatan perang konvensional, namun juga memobilisasi sumber dayanya untuk menggencarkan perang informasi secara massif ke seluruh dunia melalui propaganda dan disinformasi di ruang digital untuk menggalang dukungan internasional.

Perang informasi yang menjadi karakteristik dalam perang asimetris mencakup tindakan manipulasi dan pemanfaatan suatu informasi secara spesifik untuk memperoleh keunggulan signifikan atas lawan. Operasi tersebut bertujuan untuk mempengaruhi, menimbulkan kebingungan atau kerancuan yang pada akhirnya dapat menurunkan moral (demoralisasi) lawan, namun melindungi aset informasi diri sendiri atau pihak penyerang.

Reisman dan Antoniou (1994) dalam Damjanovi (2017) menyatakan perang informasi dapat mencakup lima elemen yakni: 1) mengumpulkan informasi taktis, 2) memeriksa keakuratan informasi, 3) menyebarkan propaganda dan disinformasi untuk menurunkan moral atau memanipulasi lawan dan masyarakat, 4) meremehkan kualitas informasi lawan, dan 5) menghambat kesempatan lawan untuk mengumpulkan informasi. Sejumlah negara kerap merogoh dana cukup besar untuk membangun unit-unit tersebut itu berikut investasi terhadap teknologi digital.

Sedangkan menurut Libicki (1995), perang informasi memiliki tujuh bentuk antara lain:

1) peperangan dalam lingkup komando dan kendali; 2) perang intelijen; 3) peperangan elektronik; 4) perang psikologis; 5) perang peretas; 6) peperangan informasi ekonomi; dan 7) perang siber. Semua bentuk ini saling berhubungan, terutama perang para peretas (hacker) dan perang siber yang tidak sepenuhnya disjungtif.

Sebagai taktik dalam perang asimetris, perang informasi dinilai dapat menghadirkan efek yang luar biasa saat dikolaborasikan dengan penggunaan teknologi serta operasi siber lainnya.  Mengingat saat ini, jumlah pengguna internet yang makin tinggi, rentannya media sosial, dan rendahnya literasi digital warga, mendorong bentuk-bentuk perang informasi seperti propaganda, disinformasi, ataupun jenis manipulasi informasi lainnya dapat disebarkan lebih mudah, lebih cepat, serta menjangkau populasi lebih luas di luar batas-batas administrasi negara.

Tujuan strategis pelaku perang informasi adalah sebagai alat untuk memberikan pengaruh dan membentuk persepsi di negara tujuan, menurut Plazova, dkk (2024). Berbagai perspektif dibangun misal untuk melemahkan posisi dari dalam seperti meningkatkan keraguan dan kecemasan yang berangkat dari eksploitasi berbagai isu fundamental yang terjadi.

Untuk mempengaruhi opini publik di negara-negara lain, digunakan pula metode membuat akun palsu untuk menyebarkan disinformasi, membuat konten manipulatif untuk menyebarkan narasi yang mempromosikan ideologi yang memecah belah serta mempromosikan narasi perpecahan di media sosial (media baru). Strategi berupa peretasan juga dilakukan misal dalam bentuk pengambilalihan secara ilegal terhadap berbagai portal berita, akun media sosial, hingga penguasaan jaringan Internet dari negara target ketika memang diharuskan.

Manipulasi Informasi Rusia

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun