Siapa yang tak tahu, kalau lampu merah mengharuskan kita berhenti
Tapi sering ku terabas dia dengan paksa meski “kadang” sedikit terpaksa.
"Kadang" kataku, ini bila ada yang memepetku hingga ku terdesak dan berbohong,
Tapi sering juga ku langgar dia, karena ketidaksabaranku menunggu, ada malas, dan tak perduli bermain disana.
Lalu jalan hidupku macet
Saat disiplin dan semangat, terjebak tak bisa jalan,
akibat ulahku membiarkan malas menyelong bebas,
lalu abai ikut-ikutan, tak perduli, mau menang sendiri, tak pikir panjang semua berkonvoi
meminta jalur prioritas, seperti pejabat elite atau ambulan saja lagaknya.
Lalu rejekiku seret,
dengan segala keruwetan dari sikap mengemudiku yang ugal-ugalan.
Juga keragu-raguan, kerisauan, ketidaktegasanku dalam mengambil sikap dan keputusan di perempatan jalan.
Lampu kuning sudah menghijau dan aku masih terdiam tak tahu hendak berbelok ke kiri atau ke kanan.
Macet, semerawut, kusut
Bukan karena rambu jalan tak berfungsi
Namun karena aku tak mematuhi hukumku sendiri
Kini aku menepi, mengatur lagi semua laju hati dan emosiku
Semoga kemacetan tak lagi menghambat, bila ku patuhi dia dengan penuh kesadaran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H