Sandal jepit itu sudah butut. Ada sedikit bolong di ujung kanan kirinya , tempat telapak kaki beradu dengan aspal jalanan, tanda sang pemilik menumpukan beban berlebih pada kedua tumitnya.
Sudah lebih dari 2 tahun, sandal itu menemani tuannya, kemana saja si tuan pergi. Usia yang tidak bisa dibilang muda lagi, bagi sepasang sandal jepit, untuk wara wiri menghadapi kekejaman jalan yang penuh ranjau-ranjau darat. Tapi Si Sandal tak putus semangat, si Tuan hanya memiliki dia sebagai satu-satunya alas kaki , dan Si Tuan menyayangi dia seperti anaknya sendiri. Maklum Si Tuan sebatang kara. Tak punya anak juga sanak saudara. Yang dimilikinya hanya beberapa lembar baju lusuh yang sudah bolong disana sininya, dan pondok reot yang bertahan mungkin hanya karena ibanya pada nasib si Tuan. Kemana lagi si Tuan dapat berlindung dari angin dan hujan, bila bukan dipondok reotnya itu?
Pernah suatu kali saat si Tuan tertidur kelelahan, segenap penghuni rumah bermusyawarah dengan sangat serius. Kreat-kreot, suara Dipan, disusul Kreat-Kreot lain sebagai angguk tanda setuju dari pintu, jendela, kursi dan meja kayu, juga lemari baju dipojokan yang hanya berisi 5 lembar baju tak layak pakai. Sendalpun tak mau kalah , Tak-tak –tak, tanda diapun setuju dengan usulan sang Dipan.
“Saudara-saudaraku, yang setia, nasib sudah mempertemukan kita di rumah sang Tuan. Kita sudah seperti saudara yang menghadapi pahit getir kehidupan dengan tabah dan gagah berani, demi menjaga tuan kita dengan segala daya upaya yang kita bisa.
Umur kita sudah tak muda lagi, banyak diantara kita yang seharusnya sudah pensiun, namun apa daya, tuan kita belum sanggup untuk mencari gantinya. Maka dari itu Saudara-saudaraku, mari kita kuatkan hati, selelah dan seringkih apapun kita, kita harus kuat bertahan, menemani Sang Tuan, disepanjang sisa umurnya.” Orasi Dipan begitu berapi-api, membakar lagi seluruh semangat perabot, agar tak menyerah saat usia memakan sisa sisa stamina mereka untuk berdiri tegak, tak tergoyahkan.
Sandalpun memberikan vote inspiratif dengan komentar, saya setuju, dan saya akan mendukung sepenuh hati, hasil permusyawarahan ini.
000oo000
Meski alasnya sudah menipis, dengan sangat drastis, Si Sandal, tak pernah mengeluh. Lumpur kini sudah berani menjajah sampai atas alasnya. Memperkeruh warna putihnya yang memang sudah pudar sejak dulu.
Sandal bersedih, bukan karena lumpur mengotori seluruh tubuhnya, membenamkan wajahnya, hingga dia kesulitan bernafas. Dia lebih bersedih, karena ketidakmampuannya menjaga agar kaki sang Tuan tidak ternoda lumpur. Tapi bagaimana bisa, tak ada lagi sisa-sisa karet di alasnya, semua sudah luruh tergerus aspal jalan. Tuanku sungguh malang nasibmu, begitulah guman sandal pilu. Namun ia terus melangkah, menemani sang Tuan berjalan mengais rejeki dinegeri kolam susu, yang susunya kini mengering diperah kaum borjuis dengan serakah, dan menyisakan sedikit saja ampas untuk disesap rakyak "papa" seperti tuannya.
Sudah dilihatnya berbagai macam peristiwa, pedagang kaki lima yang digusur, karena keberadaannya membuat kemacetan meruwet tanpa solusi, rumah-rumah liar juga tergusur, tak memenuhi standar kesehatan, tak layak huni, membuat kotor sungai dan kali. Dilihatnya juga lahan hijau kini membeton, menjadi bagunan mewah yang menunjuk langit dengan pongahnya. Dia juga sudah kenyang berkenalan dengan bermacam macam benda, dialas kakinya. Lumpur, paku, beling, dan paling cilaka , kotoran dari hewan-hewan tak berotak yang dibuang seenak perut dijalan yang dilalui tuannya itu.
Sandal masih bertoleransi dan memaklumi, tindakan mereka, sebagai bentuk dari ketidaksengajaan atau ketidaktahuan dari para hewan. Namanya juga hewan, bagaimana mereka bisa tahu salah dan benar, mereka juga tak paham etika pertoiletan dan kode etik menjaga kebersihan. Meski hidungnya teramat sangat menderita, tapi si Sandal, tetap bersabar dan bersyukur.