Mohon tunggu...
Wild flower
Wild flower Mohon Tunggu... -

Tukang baca yang sedang berusaha merangkai kata.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Potret Pinggiran Kota

2 Juli 2016   14:26 Diperbarui: 2 Juli 2016   15:08 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar : http://i.huffpost.com/gen/1298360/thumbs/o-LUCILLE-BALL-570.jpg?3

Menurut Tini, di Bedeng ini,  semua penghuni sudah terbiasa dengan air butek macam air kali di sungai kalijodo atau ciliwung. "Sudah bagus kalau ada air," begitu katanya. Aku heran, ku lihat anak anak disana sehat walafiat, begitupun orang dewasanya. Tak ada guncangan bagi mereka soal vaksinasi palsu yang kini meresahkan sebagian besar warga. Mungkin mereka juga tak terlalu  perduli. Aku juga tak tahu pernahkah  anak mereka  diimunisasi. Apakah  Tuhan bermurah hati , sehingga penyakit jarang singgah pada mereka, atau karena penyakit enggan datang karena tidak dialemi, dan tidak digubris sama sekali, begitu pikirku. Kata Tini lagi,"Orang Miskin tak boleh sakit, karena sakit itu mahal."  Aku jadi teringat candaan salah satu menteri anak mantan Presiden yang pernah berseloroh Orang miskin harus diet dan tak boleh banyak makan.  "Ehe eheeeeeeee" Tak usah dicandakan, mereka cukup tahu diri, dan sudah lama sekali mengerti tentang hal itu,  Lapar dan sakit karena lapar sudah biasa, dan motto Tini bukanlah milik Tini semata, di Bedeng ini ada motto, bahwa : Tak ada uang , tak ada obat paten apalagi dokter. Cukuplah panadol dari kaki lima, dan sakitpun harus lupa pada sakitnya. 

Penghuni Bedeng macam macam, dari pencuri kecil kecilan, (kalau pencuri besar dan kelas kakap pasti sudah tinggal di kawasan elite macam anggota DPR ). Pejaja kenikmatan "eks", pedagang kaki lima, Asisten Rumah tangga (nama yang di"eufemismi" agar terdengar lebih santun dari sekedar kata pembantu) , padahal tidak ada yang salah dengan kata pembantu, bila artinya tidak direduksi oleh banyak orang. Seperti pereduksian kata Bibi, sehingga  panggilan Bibi di haluskan menjadi Mba atau Mbok. 

Tak ada jalan lebar yang mudah diakses untuk mobil lewat apalagi parkir. Lagipula pemilik mobil mana mau tinggal di Bedeng. Kadang akses jalanpun harus ditempuh dengan naik getek, menyeberangi kali, tempat air butek itu mungkin berasal. Seribu sekali lewat. Dulu Lima ratus rupiah saja. Tak naik getek sama  artinya dengan  berjalan jauh  memutari  pinggiran kali baru  kita bisa sampai kesana.

Jarak "rumah" kalau saja  bisa disebut rumah, berdempet dempetan. Tak mungkin ada rahasia  tersembunyi disana. Semua kabar terdengar dari bilik yang satu menjalar ke bilik yang lain. Berita perselingkuhan, kalah judi, ketangkap saat ngutil di mini market, pertengkaran rumah tangga, gosip ibu ibu yang tak kerja dan menunggu suami pulang, sampai lagu dangdut bercampur menjadi "simfoni" yang tak pernah sepi.  Kalau kamu tak mau urusan RTmu terungkap, marahlah sambil berbisik bisik, itupun kalau cicak tak sibuk menguping.

Di Bedeng ini, anak anak tak pernah bermain dengan Little poni yang harga satu kuda poni kecil saja  bisa mencapai Rp 190.000,- itupun harga sesudah discount menjelang Ramadhan. Maka aku agak heran melihat si "Tracia" yang menangis berguling guling di depan Lego land, saat minta sekotak lego  lengkap dengan kolam renang dan luncuran yang harganya  jutaan, padahal dirumahnya berderet lego dengan berbagai tema , belum lagi little poni dengan puluhan nama yang tak pernah bisa ku hafalkan. 

"Tracia, Tracia," andai kamu pernah bermain main di Bedeng, disana anak anak sudah sangat bergembira bila bisa bermain dengan boneka bekas hasil sumbangan, juga mobil mobilan dari kulit jeruk bali, atau plastik yang diterbangkan seperti balon udara. Mana ada lego , sudah cukup makan dan bisa sekolah saja mereka sudah tertawa penuh syukur.

Ingatkan aku untuk menunjukkan pada Tracia kecil , muka anak anak yang tertawa sangat gembira saat makan sekotak  nasi KFC, sedang si kecil Tracia, susah sekali makan bila tak dilauki sushi Tei, atau Steak.

Kembali ke Tini yang sedang asik mencuci piring dengan ditemani Radio tangannya, ku lihat ada wanita paruh baya, duduk didepan rumahnya, tepat bersebelahan dengan tempat Tini mencuci. Kursinya  berbunyi "kreot- kreot", bila sedikit saja wanita itu bergerak. Wanita itu entah mengapa menarik perhatianku,  Ku pamit pada Tini yang sudah memberiku banyak cerita, dan Tini tersenyum manis dan terus mencuci, sekarang cucian baju yang lagi lagi dicucinya dengan air butek, sumber air satu satunya milik warga Bedeng. Wajah  Wanita paruh baya itu  terlihat sendu meski ku lihat masih ada sisa sisa keayuan  dan kecantikan dari masa jayanya dulu , terpancar jelas dari raut mukanya yang bergincu, merah tua, meski itu gincu tanpa merek yang bisa kau beli di toko senyum 5000.

Ku hampiri ibu bergincu itu, berkenalan dengannya membuatku memiliki sekeping kisah masa lalu. Masa lalu dari seorang "BIMBI" yang kini tergerus ke pinggiran kota, tersepak dari hinggar binggarnya pusat kota metropolitan. Surtini binti Suleha bernama panggung Julaika, begitu nama wanita paruh baya itu. Tersapu air matanya yang jatuh satu satu, saat menceritakan kisah yang mungkin senada dengan lagu Bimbi yang masih terdengar kresek kresek dari radio si Tini.

 

Bimbi…tak mau kenal lagi kampungnya…Bimbi…tak mau kenal lagi saudara…

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun