Mohon tunggu...
Iden Wildensyah™
Iden Wildensyah™ Mohon Tunggu... Administrasi - Senang jalan-jalan, menulis lingkungan, dan sesekali menulis ide yang muncul tentang pendidikan kreatif. Temui saya juga di http://www.iden.web.id

Senang jalan-jalan, menulis lingkungan, dan sesekali menulis ide yang muncul tentang pendidikan kreatif. Temui saya juga di http://www.iden.web.id

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kemarau dan Bulan Purnama

25 Oktober 2015   08:44 Diperbarui: 25 Oktober 2015   08:44 495
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Bulan Purnama (http://www.bekasitiga.com)"][/caption]

Kemarau adalah malam yang terang benderang dikala bulan purnama. Keceriaan sore berlanjut dimalam hari, sehabis ngaji (saya ngaji di rumah di wuruk (diajar) oleh bapak) dan teman juga beres ngaji di surau kampung kami. Saya langsung keluar rumah, tentu setelah mendapat ijin dari orang tua. Bersama teman-teman saya kembali bermain di teras rumah, di tempat yang lapang. Main kuda-kudaan (maaf jangan dikonotasi dengan kuda-kudaan versi dewasa yah) dengan sarung dililitkan ke leher dan seorang teman yang dibelakang sebagai joki, bergantian kami memainkan peran itu. Saling kejar saling teriak di bawah sinar bulan purnama.

Di malam hari dimusim kemarau bulan purnama terlihat sempurna, bulan terlihat penuh. Saya selalu penasaran melihat bulan, memandangi dari jauh dan kata bapak saya, harus dilihat dengan mengucap maha besar Alloh. Saya bertanya tentang bulan. Saya bertanya pada banyak orang, pada seorang kakek juga pada seorang nenek. Dan jawabannya sama, di bulan ada nini anteh. Nini (nenek) anteh juga sama dengan sanekala, saya belum menemukannya sampai era google pun saya tidak menemukan nini anteh.
Kata jawaban itu, nini anteh di bulan ditemani kucing dan nini anteh suka menenun. Bayangkan sudah berapa kain yang nini anteh bikin.

Sinar bulan purnama yang sempurna di musim kemarau, walau sesekali awan menghalangi untuk sekedar numpang lewat itu, membuat malam terlalu sayang untuk dilewatkan begitu saja. Dan saya bersama teman-teman melewatkan malam dengan keceriaan. Keceriaan itu biasanya berakhir kalau sudah larut malam, atau seorang anak kecil nangis karena jatuh, atau ibu kami memanggil. Saya tidak tahu persis jam berapa kami mengakhiri bermain malam, yang pasti saya selalu tertidur nyenyak jika sudah kecapean.

Kemarau menyisakan malam bulan purnama dengan keceriaan.

4

Kadangkala kemarau benar-benar membuat saya khawatir, kejadiannya karena sering terjadi kebakaran hutan. Bahkan kebun kami pernah dilahap sijago merah, untungnya bukan kebun belakang yang tanamannya saya sirami setiap pagi dan sore menjelang pergi sekolah.
Saya menyaksikan sendiri bagaimana api melahap tanaman kering yang ada di kebun, atau ilalalang di padang penggembalaan. Saya menduga ada orang jahil yang sengaja membakar. Tetapi seiring waktu saya belajar bahwa suhu panas matahari yang memancar ke bumi pada titik tertentu bisa membuat api, terutama pada gesekan-gesekan ranting pohon yang kering. Saya tahu ini dari tayangan di televisi. 

Kekeringan menyebabkan lahan yang tadinya subur untuk bercocok tanam menjadi gersang, bahkan terlihat sangat kering kerontang. Ditambah dengan suhu yang panas maka lengkaplah cerita penderitaan di desa kami, sebagian menyebutnya musim kemarau sebagai peringatan Tuhan untuk manusia agar mensyukuri karuniaNya. Untuk ini dalam Islam ada sebuah sholat meminta hujan, namanya Sholat Istiskho. Waktu saya kecil saya pernah diajak bapak untuk Sholat Istiskho. Saya tidak mengerti dengan sholat ini, sholat dilaksanakan mirip dengan Sholat Idul Fitri hanya waktu pelaksanaannya saja yang berbeda. Sholat Istiskho dilaksanakan pada waktu siang menjelang matahari berada tepat di atas ubun-ubun.

Terbayang bagaimana panasnya, saya berada disamping bapak waktu sholat ini. Bapak begitu bersungguh-sungguh dalam memanjatkan doa memohon hujan walau panasnya minta ampun. Kepanasan ditengah terik matahari membuat saya kecil mengeluh ke bapak, dan tahu kah apa jawaban bapak? Beliau menjawab: ”Panasnya matahari disini tidak akan sepanas matahari di padang mahsyar dengan 7 matahari yang jaraknya satu jengkal di atas kepala kita”. Saya kaget tetapi saya berpikir positif waktu itu, karena kata bapak kalau orang beriman jangan takut ada Alloh yang akan melindungi. Saya merasakan optimisme bapak ketika berdoa. Jadi walaupun panas, saya tetap bertahan. Dalam hati saya berkata, ”bagaimana mungkin saya bisa bertahan dengan 7 matahari kalau 1 matahari saja saya mengeluh”.

Selepas sholat meminta hujan, saya tidak menghitung hari menunggu hujan, yang saya rasakan hanya ada sedikit optimis dalam diri saya bahwa hujan akan datang. Kenyataan memang hujan datang turun ke bumi, tetapi sekali lagi saya tidak menghitung berapa hari atau berapa bulan rentang waktu dari kami sholat meminta hujan dengan hujan turun.

Kemarau menjadi pelajaran bagi saya dari bapak untuk tidak mengeluh karena panas. Terima kasih untuk bapak, semoga beliau damai disisiNya. Tuhan, masukanlah beliau pada golongan orang yang diberkati, pada golongan orang yang bersyukur! Amien.

Kemarau menyisakan semangat, optimisme dan yakin akan pertolongan Tuhan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun