[caption id="attachment_120454" align="aligncenter" width="680" caption="Ilustrasi/Admin (KOMPAS)"][/caption] Jalan raya selayaknya digunakan untuk kepentingan umum dengan dana pembangunan yang mahal. Dari mulai pembangunan konstruksi jalan raya hingga pemeliharaannya, jalan sangat besar memakan dana operasional. Sekedar menambal-nambal saja, bisa jadi proyek puluhan bahkan ratusan juta rupiah. Itu wajar dan selayaknya demikian. Tetapi jika ada jalan yang setiap bulan rusak terus menerus diganti dan diganti maka itu menjadi sangat spesial. Datanglah ke Jalan Braga, jalan yang fenomenal karena mengalami masa keemasan pada jaman Hindi Belanda. Jalan spesial yang mengingatkan pada sebuah kota di Eropa. Jalan yang dulunya terbatas hanya untuk orang-orang Belanda. Jalan Braga yang ingin catat sebagai jalan termahal bukan karena nama jalan dan aset yang ada di dalamnya. Tetapi konstruksinya yang tidak kenal lelah butuh pemeliharaan. Jalan Braga diganti dengan batu andesit sekitar 2 tahun yang lalu. Saat itu ide-nya agar suasana jalan Braga kembali ke masa lalu. Batu andesit ditata sedemikian rupa sehingga menjadi jalan raya yang menggambarkan masa lalu. Sungguh sebuah jalan yang mengingatkan pada masa keemasan Jalan Braga. Tetapi sangat disayangkan, belum genap satu tahun konstruksi jalan tersebut sudah berantakan. Rusak parah dimana-mana. Batu pecah, bergeser, berlubang, dll. Walikota kemudian menginstruksikan agar diperbaiki, jalan bragapun diperbaiki pada sisi-sisi yang mengalami kerusakan. Tetapi kemudian terus menerus dan seterusnya Jalan Braga tidak pernah membaik. Bahkan sampai catatan ini saya tulis, Jalan Braga tetap saja rusak dibeberapa titik. Saya sebut saja jalan termahal di Bandung. Dasar argumentasinya begini, bayangkan jika harus setiap bulan memperbaiki jalan. Berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk membeli material batu andesit, semen, pasir, dll. Kemudian berapa biaya yang dikeluarkan untuk membayar upah pekerja. Dalam satu jalan saja bisa menghabiskan puluhan juta rupiah. Sementara jalan yang lain, simpel saja.Cukup dengan di beton (jika konstruksi bawahnya sering berlubang karena gerusan air) kemudian lapisi dengan aspal dan ting tong... Jalan raya bisa digunakan semua masyarakat. Tidak usah beberapa kali melakukan perbaikan dengan mengangkat beton dan aspalnya. Simpel bukan? Kebijakan penggantian jalan aspal dengan batu andesit menurut saya menunjukan perencana tidak bisa berpikir holistik, universal, dan terintegrasi dengan pihak lain. Misalnya begini, perencana tidak menghitung berapa kekuatan batu andesit jika terkena beban kendaraan roda 2, mobil roda 4, roda 6, dll. Kemudian tidak dipikirkan jauh-jauh dampaknya bila Braga diganti dengan batu andesit, dampak ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan. Coba kalau dihitung efektivitasnya dengan membandingkan jalan tersebut dengan jalan konstruksi aspal. Saya yakin lebih efektif jalan aspal karena pemeliharaannya tidak serumit sekarang. Oh iya, perencana mungkin lupa bahwa dahulu kala waktu jaman Hindia Belanda boleh saja batu andesit menjadi pilihan terbaik karena kendaraannya masih Kuda, Delman, dll. Tetapi sekarang hmmmm anak kecil saja sudah tahu, kendaraan itu sudah jarang melewati Jalan Braga. Kemudian berkembang wacana tentang melarang kendaraan bermotor lewat jalan braga. Saya sih senang-senang saja, jalan braga jadi lebih lengang dan bebas polusi. Tetapi sampai sekarang saat saya menulis ini, belum pernah ada larangan mobil masuk Braga. Hanya Bus dan Truk yang dilarang masuk Jalan Braga. Nah, itulah jalan termahal di Bandung. Hmmm bisa jadi mungkin termahal di Indonesia karena biaya pemeliharaan lebih besar dibanding jalan-jalan lainnya. Kita perlu kritisi karena sumber dana setiap proyek pemerintah untuk sarana dan prasarana umum kalau bukan dari pinjaman luar negeri adalah pajak yang kita bayar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H