perempuan. Apalagi kita hidup di tengah digitalisasi teknologi yang membuka lebar segala kesempatan untuk mengasah potensi yang kita miliki. Namun, nyatanya begitu banyak di luar sana yang masih memperdebatkan antara perempuan/istri/ibu bekerja atau tidak bekerja lebih baik mana.
Berdaya tidak melulu harus bekerja di kantoran. Banyak sekali yang masih bisa dilakukan sebagaiMemang benar, sebagai perempuan seringkali menjadi tantangan besar untuk menentukan pilihan. Apalagi sedang menjalankan beragam peran, seperti seorang istri yang memiliki peran ganda untuk mengurus diri dan juga suami. Ditambah lagi saat perempuan menjadi seorang ibu, yang harus siap membagi waktu mulai menyusui hingga mengganti popok bayi. Hal itu menjadi wajar bagi lingkungan sekitar, sebab perempuan memang perlu multitasking dalam mengambil banyak peran.
Namun, menjadi perempuan yang bekerja atau tidak bekerja itu murni adalah sebuah pilihan. Tidak ada yang perlu dipermasalahkan karena setiap pilihan memiliki konsekuensi yang jelas berbeda. Karena sebenarnya yang perlu digarisbawahi, menjadi perempuan yang bekerja bukan mereka yang mengorbankan keluarga dan mereka yang menjadi ibu rumah tangga juga bukan karena tidak mau berdaya. Di rumah atau di luar rumah, perempuan tidak kekurangan pekerjaan.
Mereka yang harus bagun pagi sebelum terbit matahari, berbelanja meski kadang masih menjadi buah bibir tetangga, bahkan ketika terlihat banyak istirahatnya bisa menjadi aib bagi ibu mertua. Terdengar menakutkan, tapi inilah kehidupan yang perlu dijalani perempuan ibu rumah tangga. Jika ada yang bertanya, untuk apa sekolah tinggi-tinggi jika pada akhirnya di rumah saja. Bukankah rumah menjadi sekolah pertama bagi semua anak yang terlahir di dunia? Dan bukankah seorang ibu yang menjadi madrasah pertama bagi anak-anaknya?.
Menjamin segala kebutuhan anak terpenuhi dan tumbuh kembangnya bisa diawasi diri sendiri, tidak semua ibu memiliki kesempatan yang sama. Menjadi perempuan bekerja di luar rumah, masih memiliki banyak keraguan atas pilihannya sendiri. Menjadi ibu yang bahagia adalah kunci bagi pengasuhan anak, namun mereka memiliki waktu yang terbatas meski dengan kasih yang tiada batas. Menjadi ibu yang berkarya juga bukan sebagai bentuk pembuktian, melainkan bagian dari usaha melengkapi, bahwa perempuan selain bisa mengaktualisasi diri, ia juga mampu menjadi ibu bagi sang buah hati.
Perlu banyak berkompromi, meski di satu sisi perempuan yang multiperan tidak butuh belas kasihan. Mereka membangun kebiasaan dengan cara melatih diri sendiri dalam memahami banyak persoalan. Berusaha memahami diri sendiri di setiap harinya adalah cara perempuan hidup dalam kebijaksanaannya. Berusaha kokoh mencari jati dirinya, meski kadang runtuh dalam percintaannya. Menjadi wajar, jika perempuan hari ini dikenal seperti cuitan di sosial media, diam-diam melanjutkan S2, menyibukkan diri dengan mengupgrade diri, karena upaya lari dari sakit hati, ini adalah bentuk perempuan mewaraskan diri bahwa hidup tidak hanya tentang perasaaan apalagi persoalan bucin terhadap laki-laki.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H