Dalam perjalanan panjang sejarah, ada momen-momen di mana kemanusiaan diuji dalam cara yang paling ekstrim. Film "Schindler's List" menyuguhkan salah satu momen tersebut, menggali dalam ke dalam kisah Oskar Schindler, seorang pengusaha Jerman yang mempertaruhkan segalanya untuk menyelamatkan lebih dari seribu orang Yahudi dari kekejaman Holocaust. Dalam narasi yang menyeret kita ke dalam kegelapan Perang Dunia II, kita dihadapkan pada pertanyaan etis yang sulit: Apakah tindakan Schindler, yang menyalahi aturan dengan berbohong dan menyogok Nazi untuk melindungi pekerja Yahudinya, dapat dibenarkan secara moral?
Menilai Tindakan Oskar Secara Etis
Oskar Schindler, awalnya digambarkan sebagai pria oportunis dan mata duitan, terlibat dalam berbohong dan memberi suap untuk keuntungan pribadi dan perluasan bisnisnya. Namun, ketika ia menyaksikan kekejaman yang dilakukan terhadap orang Yahudi, motivasinya bergeser secara signifikan. Pemalsuan, suap, dan manipulasi—tindakan yang dalam keadaan normal akan dianggap tidak etis—berubah menjadi alat demi keberlangsungan hidup orang-orang yang tak berdaya. Secara etis, kita dipaksa untuk bertanya: apakah tujuan mulia menghalalkan cara?
Dalam konteks Holocaust, di mana hukum dan moralitas yang berlaku berpihak pada rezim yang keji, Schindler menerapkan prinsip etika situasional. Ia bergerak di luar hitam dan putih etika konvensional, bermain dalam area abu-abu demi melindungi nyawa. Dalam situasi tersebut, perilaku yang secara moral dipertanyakan dalam keadaan damai, seperti memberi suap, dapat dilihat sebagai tindakan berani dan etis yang dilakukan untuk menentang ketidakadilan yang tak terucapkan.
Membedah Etika Normatif dalam "Schindler's List"
Dari perspektif etika normatif, kita bisa menelaah perbuatan Schindler melalui berbagai lensa. Etika teleologis, khususnya utilitarianisme, menilai suatu tindakan berdasarkan hasil akhirnya. Dalam kasus ini, tindakan Schindler yang menyelamatkan nyawa lebih dari seribu orang Yahudi bisa dilihat sebagai tindakan yang sangat etis karena konsekuensi akhirnya sangat bermanfaat bagi banyak orang.
Di sisi lain, etika deontologis—yang berfokus pada kepatuhan terhadap aturan moral yang ketat—akan memberikan sudut pandang yang berbeda. Menurut prinsip deontologis, tindakan memberi suap adalah tidak etis, tidak peduli hasil yang dihasilkannya. Namun, jika kita mempertimbangkan "duty of care"—kewajiban untuk merawat orang lain yang tidak mampu melindungi diri mereka sendiri—tindakan Schindler dapat diinterpretasikan sebagai pemenuhan kewajiban moral yang lebih tinggi untuk melindungi kehidupan manusia.
Keadekuatan Etika Deontologis dalam Menilai Tindakan Schindler
Ketika kita mencoba memahami tindakan Schindler melalui lensa etika deontologis non-konsekuensialis, kita menemukan diri kita di persimpangan. Etika deontologis menekankan pentingnya berperilaku sesuai dengan prinsip moral, tanpa memperhatikan hasil dari tindakan tersebut. Dalam situasi Schindler, ini bisa berarti menolak suap karena suap itu sendiri secara tradisional dianggap tidak etis.
Namun, ketika prinsip-prinsip moral bertabrakan dengan realitas mengerikan Holocaust, pertimbangan deontologis bisa dianggap sekunder dibandingkan dengan kebutuhan mendesak untuk menyelamatkan nyawa. Dalam kondisi di mana aturan hukum dan moralitas yang berlaku telah dikorupsi oleh rezim Nazi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H