Mohon tunggu...
Wildan Hakim
Wildan Hakim Mohon Tunggu... Dosen - Dosen I Pengamat Komunikasi Politik I Konsultan Komunikasi l Penyuka Kopi

Arek Kediri Jatim. Alumni FISIP Komunikasi UNS Surakarta. Pernah menjadi wartawan di detikcom dan KBR 68H Jakarta. Menyelesaikan S2 Manajemen Komunikasi di Universitas Indonesia. Saat ini mengajar di Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) Jakarta dan Peneliti Senior di lembaga riset Motion Cipta Matrix.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menjadi Guru bagi Generasi Z

20 Februari 2019   15:58 Diperbarui: 15 Januari 2023   21:12 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pagi itu, 25 Agustus 2018, kami tiba di kompleks Talenta School yang berlokasi di Taman Kopo Indah Bandung Jawa Barat. Manajer Sekolah, Maria Susana menyambut saya dan Intan Primadini. Di ruang seminar, para guru sudah duduk rapi dan tertib. Ada sekira 120 guru dari seluruh jenjang di Talenta School yang siap mengikuti seminar.

Saya dan Intan Primadini dari Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara (UMN) hadir ke Talenta School sebagai pembicara. Topik yang hendak diulas sangat kekinian; Guru Zaman Now dan Tuntutan menjadi Guru Profesional. 

Buat saya, bicara di depan publik sudah biasa. Tapi bicara di depan para guru tanpa harus menggurui menjadi sesuatu yang di luar kebiasaan. Saya dan Intan berbagi peran. Intan membawakan materinya di sesi pertama, dan saya di sesi kedua. Sekira 90 menit Intan membawakan materinya tentang Generasi Z. Generasi yang sekarang ini duduk di bangku sekolah hingga kuliah. Sesekali dara asli Palembang ini berinteraksi dengan para guru di sela-sela ceramahnya.

Setelah istirahat sesi pertama selesai, giliran saya tampil. Materi yang saya bawakan teramat sederhana. Gen Z menyebutnya receh. Pagi itu, saya membawakan materi berjudul Bergaul dengan Generasi Z. Sejak awal, materi ini tidak saya rancang penuh dengan konsep atau teori. Saya tak punya nyali untuk 'menggarami' para guru itu dengan konsep-konsep ilmu pengajaran atau pedagogik. Sebagian besar dari mereka adalah Sarjana Pendidikan. Adapun saya sebatas Sarjana Sosial.

Alhasil, saya memilih jalan tengah. Menjadi fasilitator tawa dan memotivasi jiwa. Urusan memotivasi ini merupakan titipan dari ibu Christine, guru senior di Talenta School. Di sela-sela istirahat, ibu Christine mengeluhkan motivasi mengajar para guru muda. Dari situlah terbetik ide untuk 'memurnikan' kembali energi para guru. Untuk memberi impresi, saya membuka ceramah dengan sebuah pantun

Aura Kasih pergi ke Buah Batu
Terima kasih sudah meluangkan waktu di hari Sabtu

Tawa dan senyum pecah di ruangan. Para guru dan juga saya, seharunya libur di hari Sabtu. Namun pagi itu mereka kompak hadir untuk mengikuti seminar. Pantun pertama belum cukup. Perlu dikuatkan lagi dengan pantun kedua.

Pergi ke kantor pakai kemeja
Listrik mati lampunya redup
Menjadi guru bukan sebatas panggilan kerja
Menjadi guru adalah panggilan hidup

Alhamdulillah, para guru kembali tersenyum. Sebagiannya bertepuk tangan. Saya katakan, menjadi guru itu memang tak mudah. Namun keberadaan kita (guru dan dosen) selalu dibutuhkan di setiap negara. Saya tegaskan, selama manusia hidup ingin pandai, maka sekolah dan buku akan terus laku.

"Mari kita bangga dan bersyukur dengan profesi di bidang pendidikan ini," tegas saya.

Sebuah gambar lucu saya tampilkan. Seperti tampak di atas, dua anak kecil bermain peran di area kuburan. Para guru tertawa. Saya katakan, inilah kelakuan generasi Z, generasi yang sekarang kita ajar. Generasi Z merupakan generasi yang tahu cara-cara untuk menjadi viral.

Cerita tentang Gen Z saya lanjutkan dengan menampilkan gambar Fairel. Pembaca mungkin belum mengenal siapa si Fairel ini. Dialah si anak SD berseragam pramuka yang terngaga saat mengetahui pengendara sepeda motor besar di depannya adalah Jokowi. Semoga Anda masih ingat adegan pembukaan Asian Games 2018 yang jadi perbincangan hangat kala itu.

Fairel sang aktor itu jelas Gen Z. Di usianya yang sekecil itu dia sudah mampu akting. Lalu, saat ditanya Deddy Corbuzer di program Hitam Putih perihal honor akting yang diterimanya, Fairel masih berakting dengan gestur pura-pura tidak tahu. Gen Z adalah generasi yang berbakat akting.

Mengenali Gen Z
Setidaknya ada lima sebutan bagi Gen Z. Ada yang menyebutnya generasi post-millenials, the igeneration, founders, plurals, serta the homeland generation. Dua sebutan pertama menjelaskan bahwa Gen Z lahir pasca generasi millenial dan merupakan the internet generation. Mereka adalah digital native, sangat akrab dengan gawai dan juga internet. Sangat mungkin di masa depan Gen Z ini menjadi penemu (founders) sejumlah hal penting yang belum dipikirkan oleh Gen X maupun Gen Y.

Bagaimana dengan nasib para guru kita di depan Gen Z? Mengutip pendapat klasik Charles Darwin, yang mampu bertahan hidup bukanlah yang paling pandai atau paling kuat. Namun yang mampu beradaptasi atau menyesuaikan diri dengan perubahan. Jadi, memahami karakter Gen Z menjadi keharusan agar para guru bisa beradaptasi dengan perilaku dan kebiasaan mereka.

Ada tiga tips yang perlu dikuasai para guru. Pertama, menguasai ilmu pengajaran atau pedagogik. Kedua, paham hukum. Terakhir, punya ketrampilan bela diri.

Pedagogik harus dikuasai agar pembelajaran yang disampaikan para guru tetap merujuk pada Taxonomy of Educational Objectives (1956) yang dijabarkan Bloom Benjamin dan David R Krathwohl. Untuk ranah kognitif atau pengetahuan, urutan tugas yang dijalankan para guru adalah: (1) membagi pengetahuan, (2) menanamkan pemahaman, (3) mengajarkan aplikasi dari pengetahuan, (4) melatih siswa menganalisis, (5) mengajarkan siswa tentang evaluasi, (6) mengajarkan siswa agar mampu berkreasi.

Tentu, metode atau cara para guru saat mengajar akan sangat beragam. Yang penting, esensi keenam urutan di atas tak boleh dilupakan. Kalau pedagogik sudah dikuasai, guru harus paham hukum yang berarti bisa mengingat dengan baik mana yang boleh dilakukan terhadap siswa dan mana yang dilarang. Hak dan kewajiban guru harus bisa dipahami. Jangan sampai guru melakukan tindakan yang berbuah tuntutan balik dari orangtua siswa.

"Untuk ketrampilan bela diri itu sekadar berjaga-jaga saja bapak dan ibu. Mungkin bapak ibu masih ingat kejadian di Sampang Madura pada Januari 2018 lalu. Seorang guru SMA tewas setelah dipukul oleh siswanya sendiri," papar saya.

Merujuk pada Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen disebutkan ada tujuh 'me' yang harus dijalankan para guru sebagaimana terlihat pada gambar di atas. 

"Saat mendidik, kita harus bisa memberikan contoh. Saat mengajar, kita harus punya persiapan. Amunisi dan gizi harus cukup. Amunisi itu isi kepala kita, dan gizi itu asupan yang masuk ke tubuh kita. Sebelum mengajar, saya membiasakan diri sarapan. Saya tidak mau hilang konsentrasi atau bad mood saat berada di depan kelas. Sebab, saat berada di depan kelas, kita para pengajar menjadi tontonan yang sekaligus bisa memberikan tuntunan," tegas saya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun