Sederet nama perempuan terseret dalam kasus korupsi. Setidaknya ada sembilan nama yang bisa disebut di sini. Mulai dari Angelina Sondakh, Miranda Swaray Goeltom, Nunun Nurbaitie, Wa Ode Nurhayati, Yulianis, Mindo Rosalina Manulang, Neneng Sri Wahyuni, Arthalyta Suryani (Ayin) hingga Harini Wiyoso. Mengapa perempuan?
Deretan nama-nama di atas kian membuktikan bahwa syahwat korupsi bukan hanya monopoli laki-laki. Korupsi telah menjadi kejahatan yang punya magnet luar biasa bagi siapapun yang tergoda. Dari 9 nama di atas, dua di antaranya adalah anggota DPR yakni Angelina Sondakh serta Wa Ode Nurhayati. Terseretnya dua nama itu tidak hanya mencoreng citra DPR namun juga mencoreng citra keterwakilan perempuan di parlemen. Sementara, tujuh nama lainnya merupakan perempuan non-parlemen. Meski begitu, mereka berperan sentral dalam kasus korupsi. Sentralnya peran yang dimainkan ini setidaknya bisa dilihat dari pekerjaan atau jabatan yang disandang.
Tengok saja Miranda Swaray Goeltom, yang tak lain adalah mantan Deputi Gubernur BI dan berteman baik dengan sosialita Nunun Nurbaitie. Nunun sendiri merupakan istri dari mantan Wakapolri Adang Daradjatun. Selain itu ada pula Yulianis dan Mindo Rosalina Manulang yang merupakan staf dari Muhammad Nazarudin. Dalam perkara korupsi, Muhammad Nazarudin rupanya ditemani istrinya yakni Neneng Sri Wahyuni. Sedikit mundur ke belakang tersebut nama pengusaha Arthalyta Suryani (Ayin). Juga Harini Wiyoso yang tak lain adalah mantan hakim yang beralih menjadi pengacara.
Bila ditelusuri lebih jauh, keterlibatan perempuan dalam kasus-kasus korupsi belakangan ini juga banyak dipicu oleh adanya peluang atau kesempatan. Boleh jadi, sederet nama di atas awalnya tak berniat korupsi. Namun, niat itu terbentuk seiring adanya peluang. Inilah yang kemudian disebut dengan moral hazard alias aji mumpung. Ada banyak “mumpung” yang menguatkan naluri berkorupsi, misal: mumpung berkuasa, berdekatan dengan kekuasaan, hingga mumpung bisa mendapatkan cipratan korupsi.
Dalam sejumlah kasus korupsi, keterlibatan perempuan menjadi faktor penentu manakala korupsi yang direncanakan harus berjalan sistematis dan melibatkan banyak pihak. Ini diakui Guru Besar FISIP Universitas IndonesiaPaulus Wirutomo yang menyatakan bahwa kasus-kasus korupsi di Indonesia dilakukan secara sistemik. Dari sembilan nama yang tersebut di atas, semuanya terlibat dalam kasus korupsi yang tergolong rumit bagi orang awam. Yang mana kasus korupsinya dipengaruhi oleh sejumlah hal yakni: adanya akses, kegiatan lobby dengan berbagai pihak, serta rekayasa aksi agar kian kabur dan sulit ditelusuri. Kemampuan mengakses dan juga melobby itulah yang menempatkan sembilan perempuan di atas terjerat kasus korupsi dalam bentuk penyuapan.
Ditilik dari teori fiktimologi, menurut kriminolog asal Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya, Kristoforus L Kleden, perempuan memiliki potensi lebih dalam segala modus aksi kriminal. Peran perempuan ini, bukan sebatas pada kajahatan “kerah putih” melainkan sudah masuk kategori Top Hat Crime alias kejahatan topi miring atau kejahatan tingkat tinggi. (Surabaya Post 04/02/2012)
Adanya potensi lebih itulah yang mendorong para pria mengikutsertakan perempuan dalam tindak korupsinya. Asa dan puja pada hedonisme menjadi magnet ampuh untuk menarik perempuan dalam aksi korupsi dengan beragam variasi modus operandi. Dorongan korupsi dalam diri perempuan juga muncul karena peralihan peran dalam kehidupan sehari-hari. Perempuan yang dulunya identik dengan urusan backdoor kini banyak beralih mengurusi frontdoor. Peralihan peran inilah yang menjadikan mereka tak lagi terpenjara dengan rutinitas selaku ibu rumah tangga biasa yang lekat dengan urusan sumur, dapur, kasur. Tak jarang, sejumlah perempuan yang beralih peran mengurusi frontdoor telah mengantarkan mereka menjadi pesohor.
Interaksi pesohor perempuan dengan dunia politik dan ekonomi kian membuka peluang bagi mereka untuk terlibat (to be involved) dalam skenario korupsi. Meski berbeda ranah, dunia politik dan ekonomi punya ujung muara yang sama yakni uang. Gambaran tersebut terlihat jelas pada kasus korupsi Wisma Atlet. Tak tanggung-tanggung, 3 orang perempuan yakni: Yulianis, Mindo Rosalina Manulang, dan Angelina Sondakh terlibat kasus korupsi yang menghebohkan ini. Ketiganya memiliki peran yang berbeda namun punya pengaruh signifikan untuk menentukan keberhasilan korupsi yang dimainkan. Peran yang dimainkan ketiga perempuan tersebut bisa diumpamakan dengan atlet lari estafet. Artinya, ada pergantian peran yang dilakukan secara cepat dan sistematis.
Menarik pula untuk melihat aksi korupsi para perempuan ini dengan Teori DramaturginyaErping Goffman. Goffman membagi peran sosiologis seseorang dari ada sisi frontstage (panggung depan) dan backstage (panggung belakang). Di mana, keduanya berbeda dalam tingkah dan peran yang melatarbelakanginya. Angelina Sondakh dan Wa Ode Nurhayati merupakan contoh pemeran dua sisi. Yakni, panggung depan dan panggung belakang. Di panggung depan, keduanya dikenal sebagai politisi yang berkiprah di parlemen. Keduanya punya akses yang sangat luas terhadap informasi seputar tender proyek. Keluasan akses inilah yang mungkin menggoda atau menggiring keduanya bermain-main di belakang panggung dengan cara mengatur dan merekayasa pengerjaan proyek agar menguntungkan pihak-pihak tertentu. Dua peran yang dimainkan secara bersamaan ini mengharuskan Angelina Sondakh dan Wa Ode Nurhayati bermuka dua. Di depan terlihat baik namun di belakang menjatuhkan moralitasnya sendiri dengan ikut serta korupsi.
Praktik korupsi yang dilakukan sejumlah perempuan di atas seolah kian membuka tanya: ketika kaum perempuan sudah banyak yang menikmati kesetaraan gender dan menduduki jabatan strategis akankah mereka lebih tahan godaan terhadap korupsi atau justru ikut meramaikannya?
Wildan Hakim, mantan reporter KBR 68H, lulusan S2 Program Manajemen Komunikasi Universitas Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H