Mohon tunggu...
Wildan Hakim
Wildan Hakim Mohon Tunggu... Dosen - Dosen I Pengamat Komunikasi Politik I Konsultan Komunikasi l Penyuka Kopi

Arek Kediri Jatim. Alumni FISIP Komunikasi UNS Surakarta. Pernah menjadi wartawan di detikcom dan KBR 68H Jakarta. Menyelesaikan S2 Manajemen Komunikasi di Universitas Indonesia. Saat ini mengajar di Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) Jakarta dan Peneliti Senior di lembaga riset Motion Cipta Matrix.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Kaos Kaki Bolong Mas Anas

26 Januari 2012   12:26 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:25 577
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_158530" align="alignnone" width="736" caption="Ketua Umum PD Anas Urbaningrum bersama Jubir PD Achmad Mubarok"][/caption] Ini sebuah cerita lama dari seorang kolega. Kebetulan, kolega ini pernah aktif menjadi anggota Himpunan Mahasiswa Islam atau HMI. Kala itu, dalam sebuah acara di kantor Setwapres Jakarta, Ketua Umum HMI periode 1997-1999 Anas Urbaningrum harus melepas sepatunya saat hendak menunaikan shalat jumat. Tanpa sengaja, kolega saya ini melihat ke arah kaki sang ketua umum. Tampak olehnya, kaos kaki yang dipakai Mas Anas – demikian dia biasa disapa – bolong di salah satu bagiannya.

“Kaos kaki Ketua Umum HMI kok bolong?” ujar teman saya sedikit heran bercampur gusar. Sangat mungkin, kolega saya ini berpikir, apa iya seorang Ketua Umum HMI ndak mampu beli kaos kaki yang layak. Secara implisit, kolega saya ini juga ingin menyampaikan betapa sederhananya Mas Anas. Sampai-sampai urusan kaos kaki bolong luput dari perhatiannya.

Sudahlah, itu cerita zaman baheula seputar Anas Urbaningrum. Anas yang dulu dengan yang sekarang tetaplah sama. Sama-sama menjadi ketua umum. Dulu, menjadi Ketua Umum HMI dan kini menjadi Ketua Umum Partai Demokrat. Bedanya, tentu saja lebih banyak. Kesederhanaan seorang Anas di masa lampau akan sangat timpang dengan gemerlap kemewahan yang dirasakannya sekarang. Terlebih, jika menilik popularitasnya.

Dulu, – semasa menjadi Ketua Umum HMI – nilai berita (newsworthy) dari sosok Anas dianggap rendah. Kini malah sebaliknya, Anas adalah newsmaker. Gelembung kasus korupsi yang membelit bekas Bendahara Umum PD Muhammad Nazarudin hingga kini terus menyebut keterlibatan nama Anas Urbaningrum di berbagai pemberitaan.

Nazarudin dan Anas merupakan sekondan yang padu saat pemilihan Ketua Umum PD pada 23 Mei 2010 lalu. Kemenangan Anas atas kandidat lain yakni Andy Malarangeng dinilai fenomenal. Meski harus diakui, upaya memenangkan Anas tidaklah mudah dan murah. Menurut mantan Wakil Direktur Keuangan Permai Group Yulianis yang tak lain adalah bawahan Nazarudin, Permai Group – perusahaan yang juga dimiliki Anas – menggelontorkan uang Rp 30 miliar dan US$ 5 juta ke kongres Partai Demokrat di Bandung tahun 2010 lalu. Dari kesaksian Yulianis dan Nazarudin di pengadilan Tipikor diketahui bahwa uang tersebut digunakan untuk biaya pemenangan Anas Urbaningrum (vivanews 25/01/2012).

Saling guyur uang di arena kongres sebuah partai politik bukanlah hal baru di Indonesia. Karena money can buy everything, banyak orang memakai uang untuk beragam kepentingan termasuk untuk merengkuh sebuah kuasa. Parahnya lagi, kebiasaan membeli suara pendukung ini sudah dimulai sejak anak-anak muda terlibat aktif dalam organisasi massa.

Kolega saya lainnya di HMI dengan bangganya pernah mengungkapkan betapa serunya persaingan untuk mendapatkan kursi ketua umum. Masing-masing tim sukses mendekati para pengurus cabang HMI yang memiliki hak suara. Para pemilik suara diajak makan bersama di tempat yang mewah dan kemudian “dibeli” suaranya dengan cara menyelipkan amplop berisi uang usai pertemuan. “Caranya sudah kayak para politisi,” ungkap kolega saya ini.

Berangkat dari cerita itulah muncul kesimpulan: sebelum memegang kendali kuasa pun, sejumlah pihak sudah terdorong untuk melakukan korupsi. Korupsi ini “terpaksa” dilakukan karena kekuasaan (baca: jabatan) tidaklah gratis. Kalau dulu Lord Acton pernah menyatakan the power tends to corrupt, maka dengan sedikit modifikasi saya menyatakan bahwa the will to get the power tends to corrupt. Artinya, berkehendak untuk berkuasa saja sudah memanggil orang untuk korupsi. Kenyataan itulah yang terjadi dalam prosesi alih kepemimpinan di Indonesia.

Istilah amunisi dan gizi sudah menjadi kode khusus bagi setiap orang yang berkehendak menjadi tokoh untuk memimpin sebuah organisasi yang punya kepentingan politis. Amunisi bisa berarti peluru sementara gizi diartikan kemampuan sang calon untuk bisa menghidupi dirinya dan timnya. Peluru yang berwujud ide, wacana, gagasan, ataupun yang lainnya takkan bisa dimuntahkan dengan mudah jika seorang calon tokoh tidak dibekali dengan gizi yang baik. Gizi harus selalu ada, tak ubahnya darah yang harus selalu terpompa ke jantung.

Perkara gizi ini pula yang menyeret sang tokoh bernama Anas Urbaningrum. Si pemberi gizi Nazarudin terus menguar fakta di persidangan. Mas Anas yang kini tak lagi berkaos kaki bolong berupaya keras menutup tudingan demi tudingan agar bolongnya tiada terlihat. Berulang kali dia meminta agar kasus korupsi Nazarudin tak dipolitisir. Tapi apa daya, bolong-bolong pada sosok Anas mulai terlihat. Setelah lolos dari dugaan korupsi saat menjabat Anggota KPU, akankah Anas Urbaningrum mampu berkelit lagi kali ini? Kita tunggu saja.

Salam bolong!

Wildan Hakim, kandidat master komunikasi Universitas Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun