Mohon tunggu...
Wildan Hakim
Wildan Hakim Mohon Tunggu... Dosen - Dosen I Pengamat Komunikasi Politik I Konsultan Komunikasi l Penyuka Kopi

Arek Kediri Jatim. Alumni FISIP Komunikasi UNS Surakarta. Pernah menjadi wartawan di detikcom dan KBR 68H Jakarta. Menyelesaikan S2 Manajemen Komunikasi di Universitas Indonesia. Saat ini mengajar di Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) Jakarta dan Peneliti Senior di lembaga riset Motion Cipta Matrix.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mengkritisi Efek Jokowi

11 April 2014   02:22 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:49 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jokowi effect atau efek Jokowi banyak disebut di media sejak bekas Walikota Solo ini memenangkan Pilkada DKI Jakarta pada September 2012 lalu. Terpilihnya Jokowi kian menguatkan kesan, Indonesia butuh sosok pemimpin seperti dia. Sosok yang merakyat, sederhana, serta mampu menawarkan perubahan

Kesan seperti itu tidaklah salah. Joko Widodo sebelumnya hanyalah seorang Walikota Surakarta. Harus diakui, popularitas pengusaha mebel ini terus melejit ketika banyak pihak dan media mengundangnya berbicara tentang kiprahnya. Ini yang menjadikan nama Jokowi makin dikenal publik Indonesia.

Saat dikompetisikan dengan petahana Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo, Jokowi menunjukkan bukti. Dalam dua putaran Pilkada, perolehan suara Fauzi Bowo tak bisa melebihi Jokowi. PDIP selaku Parpol pengusung Jokowi pun kian berbangga hati. Pria berpostur kurus ini lantas diajak serta kampanye Pilkada Gubernur di Jawa Barat dan Sumatera Utara. PDIP berharap suara pemilih bakal diraup tinggi seiring adanya efek Jokowi. Sayang, hasilnya tak sesuai prediksi.

Dalam Pilkada Gubernur Jawa Barat, jago PDIP kalah suara dengan calon yang diusung PKS. Hal yang sama juga terjadi di Pilkada Gubernur Sumut. Politisi PDIP sekaliber Effendy Simbolon tak juga bisa mengalahkan Gatot Pujo Nugroho yang didukug PKS. Alhasil, hanya di Pilkada DKI Jakarta efek Jokowi tersaji. Dari dua perbandingan ini, publik dan media seharusnya sudah bisa mengkritisi efek Jokowi.

Jokowi diuntungkan situasi

Saat diminta Jusuf Kalla untuk berkompetisi di Pilkada DKI Jakarta, Jokowi sempat ragu. Begitu juga dengan Megawati Soekarno Putri selaku Ketua Umum PDIP. Namun, pesimisme itu pudar ketika Partai Gerindra ikut mendorong majunya Jokowi. Jokowi lantas dipasangkan dengan Basuki Tjahaja Poernama atau akrab disapa Ahok. Konsep dan strategi komunikasi politik ke publik pun dirancang.

Keduanya tampil segar dengan balutan khas baju kotak-kotak. Jokowi dibuat sesering mungkin menyapa warga Jakarta. Tak lupa, rombongan wartawan dari pelbagai media diajak serta. Tujuannya jelas, aktivitas Jokowi harus diblow up. Setiap hari, publik dibuat penasaran dengan aksi dan opini Jokowi. Publik senang, ketika melihat Jokowi begitu dekat dengan masyarakat di Jakarta.

Lain halnya dengan Fauzi Bowo. Foke rupanya berbeda gaya dengan Jokowi. Watak birokratisnya begitu kental. Foke terkesan enggan menyapa warganya dan jaga jarak dengan media. Sikap kontraproduktif Foke inilah yang kemudian menguntungkan Jokowi. Andaikata Foke seramah Jokowi dan meluangkan waktu untuk menyapa warganya, sangat mungkin simpati publik tetap akan diberikan kepada Fauzi Bowo.

Tak hanya itu, dalam beberapa kali kesempatan Foke juga terkesan kurang ramah terhadap media saat dicegat dan ditanya tentang Jakarta. Berita seputar Foke pun akhirnya cenderung miring. Situasi yang berbeda justru dialami Jokowi. Dengan jawaban yang taktis dan disampaikan dengan gaya yang lugu, Jokowi mampu memikat pekerja media.

Kerja para jurnalis kian dimudahkan. Kalau tidak ada berita bagus dari Jokowi, setidaknya ada kejadian atau pernyataan yang menarik. Jokowi lantas menjadi media darling. Ke manapun sosok yang satu ini beredar dan berkeliling, selalu ada kelompok wartawan yang seturut dan seiring.

Ide-ide ringan tentang perubahan Jakarta ala Jokowi dengan mudah tersaji di media. Publik diberi harapan. Di setiap pernyataan yang disampaikan, Jokowi juga tak pernah menyerang lawan. Sosok ini harus diakui tampil dengan elagan dengan pembawaan yang tenang.

Uji efek ketiga

Setelah resmi menjabat Gubernur DKI Jakarta, keinginan sejumlah pihak untuk menempatkan Jokowi sebagai calon presiden RI kian meninggi. Di banyak kesempatan Jokowi ditanya tentang pencapresannya. Padahal, janji Jokowi untuk memimpin Jakarta belumlah purna. Di sela-sela tugas rutinnya, Jokowi terus digoda dengan tanya tentang popularitas dan elektabilitasnya memimpin Indonesia.

Tekanan kepada Megawati untuk segera mencapreskan Jokowi tak jua surut. Lagi-lagi media massa berperan besar memengaruhi keputusan Ketua Umum PDIP. Begitu juga dengan sejumlah lembaga survei di negeri Indonesia. Sebelum kampanye terbuka Pemilu Legislatif 2014 digelar, Jokowi pun diberi mandat sebagai Capres dari PDIP.

Penulis menduga, pencapresan Jokowi ini diputuskan mbak Mega dengan sedikit berat hati. Beberapa bulan lalu, saat tampil di program Mata Najwa Metro TV, Megawati sempat mengingatkan Jokowi agar jangan mongkok (berbesar hati) dengan hasil survei seputar elektabilitasnya.

Pada Pemilu 2014 kemarin, ungkapan "jangan mongkok" seolah mendapatkan pembuktiannya. PDIP memang menang. Tapi, kemenangannya tak sebesar yang diharapkan. Iklan pencapresan Jokowi tak banyak berarti mendulang suara pemilih. Uji efek Jokowi yang ketiga kali tak banyak berarti. Lantas, masihkah efek Jokowi perlu diuji lagi?

Dari ketiga uji efek Jokowi, ada serangkaian bukti bahwa sosok populer yang satu ini akan mampu mendulang dukungan publik jika sosoknya dia sendiri yang dikompetisikan. Dukungan dan penampilan Jokowi pada kampanye Rieke Diah Pitaloka dan Effendy Simbolon tidak lantas menggiring publik di Jabar dan Sumut bahwa kedua calon gubernur PDIP itu akan seperti Jokowi. Artinya apa? Dukungan riil bagi Jokowi akan datang kalau dia sendiri yang maju dalam sebuah pencalonan kepala daerah.

Eksploitasi terhadap Jokowi sebagai Capres PDIP juga tidak lantas mendongkrak raihan suara para Caleg partai banteng secara fantastis. Jawabannya sederhana, para pemilih tak mengingat Jokowi saat berada di TPS dan memberikan coblosannya. Kan Jokowi masih menjadi Gubernur DKI Jakarta dan tidak menjadi Caleg, apa hubungannya mencoblos daftar nama Caleg dengan Jokowi? Sementara harus diakui tidak semua pemilih bersimpati kepada PDIP. Inilah yang kemudian melahirkan ungkapan Jokowi Yes PDIP No.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun