Ingin merasakan sunyinya sebuah kota? Singgahlah ke Soasio di Pulau Tidore Provinsi Maluku Utara. Di Kota Tidore, Anda akan menemukan jalanan yang bersih, bebas macet, dan jauh dari hingar bingar kota. Berkunjung ke Tidore bisa menjadi salah satu agenda saat singgah ke Ternate.
Dari ibukota Maluku Utara inilah Tidore bisa dijangkau. Ada baiknya berangkat ke Pulau Tidore pagi hari dengan naik kapal feri yang bertolak jam 07.00 WIT dari Pelabuhan Bastiong. Bila tak sanggup berangkat pagi hari, perjalanan ke Tidore bisa ditempuh dengan kapal kayu yang berangkat sewaktu-waktu dari pelabuhan yang sama.
Untuk naik kapal feri, sediakan saja uang Rp4.300 per orang. Jika membawa sepeda motor, ongkosnya bertambah Rp6.700. Ongkos yang dipungut saat kapal kayu lebih mahal lagi, Rp25 ribu per orang. Ongkos tersebut sudah termasuk biaya angkut sepeda motor.
Keramaian Pulau Tidore bermula pada pukul 07.00 WIT. Itulah saat puluhan orang dengan sepeda motor dan mobil berangkat ke Tidore. Para penumpang kapal feri ini berangkat dari Ternate, menyeberang ke Pulau Tidore dan beraktivitas di sana. Sore hari, mereka kembali ke Ternate.
Arus datang dan pergi itulah yang menjadikan Tidore selalu sepi. Hanya penduduk asli Tidore yang betah tinggal di sana. Para polisi, PNS, dan pekerja lain asal Ternate memilih pulang-balik setiap hari ketimbang tinggal di Tidore. Saking sepinya, di Kota Tidore hanya ada satu penginapan. Tak ada hotel.
Kamis 04 Desember 2014, saya berkesempatan menyeberang ke Pulau Tidore. Terpicu rasa penasaran akan pulau ini, saya meluangkan waktu menjelajahi Tidore. Seorang rekan konsultan PNPM Mandiri Perkotaan yang bertugas di Ternate dengan senang hati menemani. Dengan sepeda motor pinjaman, kami berdua bergegas menuju pelabuhan Bastiong Ternate. Setelah antri sesat untuk mendapatkan tiket kapal feri, sepeda motor yang kami naiki masuk ke dalam kapal feri. Kapal feri menuju Tidore hanya bertolak pukul 07.00 WIT. Setelah itu tak ada lagi kapal feri ke Tidore. Dari Tidore, kapal feri kembali ke Ternate pada pukul 15.00 WIT. Usai memarkir sepeda motor, saya dan Darusman naik ke dek kapal. Keindahan alam gugusan pulau di Maluku Utara mulai terasa. Dari atas dek kapal, terlihat Gunung Gamalama yang diselimuti mendung putih tipis. Cuaca yang cerah sangat cocok untuk melakukan aksi berfoto ria. Mau selfie juga boleh. Sinar matahari pagi yang tidak terlampau terang bisa menciptakan foto yang bagus.
Klakson kapal feri bergema, tanda kapal mulai melaju membelah arus laut yang tenang. Sekira 20 menitan kapal feri mengantarkan kami mendarat di Pelabuhan Rum Pulau Tidore. Kesibukan pengendara motor dan mobil menyeruak. Begitu pintu geladak feri dibuka, para pengendara motor keluar teratur. Pagi itu, udara pagi yang segar menyergap kami. Jalanan lengang. Hanya mobil angkot atau sepeda motor yang sesekali lewat. Mungkin kami kepagian datang ke Tidore. Kami menyusuri jalanan yang berada di pinggiran pantai. Sepanjang jalan, tak terlihat pantai berpasir putih. Yang ada justru pantai dengan bebatuan. “Rumah-rumah di Pulau Tidore itu bagus-bagus dan bersih-bersih. Saya heran, kok bisa budaya menjaga kebersihan ini begitu terjaga,” urai Darusman sembari mengendalikan laju sepeda motor. Saat melintasi deretan rumah penduduk, saya membuka mata lebar-lebar. Setelah tengok kanan dan kiri, memang benar deretan rumah yang tertata apik di Tidore terlihat bersih. Beberapa ibu terlihat membersihkan halaman rumahnya. Menurut Darusman, meski memiliki rumah yang terlihat bagus, warga Tidore bisa saja miskin. Sebab, mereka memilih makan apa adanya demi membangun rumah idamannya. Tak heran jika rumah-rumah milik warga Tidore terlihat bagus. Sebagian bahkan sudah dibangun dengan gaya bangunan modern. Selain rumah, ada banyak masjid yang kami jumpai di sepanjang jalan. Tidore memang dikenal penduduknya yang hampir semuanya muslim. Dulunya, Tidore dikenal sebagai kerajaan Islam besar di tanah Maluku. Kemasyhuran kerajaan Tidore seoleh ikut melengkapi wibawa kerajaan Islam Ternate. [caption id="attachment_358774" align="aligncenter" width="336" caption="Masjid Kesultanan Tidore. Ini salah satu lokasi yang perlu Anda kunjungi. "]
[/caption]
Sepeda motor yang kami kendarai melaju dengan kecepatan sedang. Dari Pelabuhan Rum, butuh waktu sekira 45 menit untuk bisa sampai di pusat Kota Tidore. Jalanan yang lengang dengan tiupan angin sepoi-sepoi mampu membuat mata kian mengantuk. Setelah bersabar beberapa puluh menit, tibalah kami di pusat Kota Tidore, Soasio. Tak keramaian layaknya sebuah kota. Sepi. Kami menyusuri Soasio saat matahari mulai terik. Dari pasar hingga kawasan pertokoan, semuanya masih terlihat sepi. Jam sudah menunjukkan pukul 08.15 WIT. Godaan kantuk yang menguat memaksa kami singgah ke warung. Saya memesan segelas kecil kopi. Sementara rekan saya Darusman memilih segelas teh manis. [caption id="attachment_358772" align="aligncenter" width="336" caption="Tampak sebuah
bentor melintas di salah satu ruas jalan di Tidore."]
[/caption]
Bagi Darusman, kesunyian Soasio bukanlah hal baru. Sebelum ditugaskan di Ternate, pria penggemar batu bacan ini pernah mencecap hidup di Tidore saat ditugaskan menjadi Koordinator Kota (Korkot) di PNPM Mandiri Perkotaan. Keseharian di Soasio yang lengang pernah menjadi lekat dalam hidup Darusman. [caption id="attachment_358773" align="aligncenter" width="336" caption="Kesepian seperti inilah yang bisa Anda rasakan jika singgah ke Tidore"]
[/caption]
Darusman mengajak saya membuktikan langsung kesunyian di Soasio. Kami berdua menyusuri pasar di tengah kota. Yang terlihat hanya suasana lengang. Tak banyak orang yang beraktivitas pagi itu. Sesekali keramaian pecah oleh suara musik dari becak motor atau bentor yang lewat. “Suara musik yang kencang itu menjadi semacam tanda. Agar calon penumpang tahu ada bentor yang lewat, musiknya disetel kencang-kencang,” papar Darusman. Selain bentor, sarana angkutan yang tersedia ialah angkot dan ojek motor. Untuk angkot, kata Darusman, tidak ada trayek. Penumpang bisa naik angkot dan diantar hingga ke depan rumah. Asyik kan? Tampak di samping pasar kota, pembangunan toko dengan desain modern tengah dikebut. Soasio sedang membangun diri. Namun sepinya kota ini memancing saya untuk bertanya: bisnis apa yang kelak bisa menjadikan pulau ini ramai dan dikunjungi banyak orang? Rekan saya Darusman menuturkan, sebagian besar pendudukan Pulau Tidore adalah masyarakat adat. Hanya ada sedikit sekali pendatang yang bertahan di pulau ini. Kalaupun ada orang Ternate yang ke Tidore, biasanya sore harinya mereka pulang. Ternate jauh lebih ramai dan menarik bagi banyak orang ketimbang Soasio yang sepi. Di mata sebagian pengunjung seperti saya, Soasio lebih tepat menjadi kota pensiunan. Jadi, bila Anda ingin menyepi, luangkan waktu berlabuh di Tidore.Tulisan sebelumnya:Belajar dari Ignasius JonanAnalisis Komposisi Kabinet Kerja Jokowi-JKBaca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Worklife Selengkapnya