Mohon tunggu...
Wildan Chasani
Wildan Chasani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Semoga tulisan saya dapat bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

[ESAI] Pentingnya Ilmu Gharib dalam penafsiran Al-Qur'an dan Hadits

25 Desember 2021   14:31 Diperbarui: 25 Desember 2021   14:53 3487
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Islam adalah ajaran yang isinya berdasarkan Al-Qur’an yang merupakan risalah dari Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW, yang diberikan amanat oleh Allah SWT untuk menyampaikan dan menjelaskan wahyu-wahyunya kepada manusia yang juga umatnya yaitu umat muslim. Dan tidak hanya Al-Qur’an yang merupakan sumber hukum atau pedoman terhadap ajaran islam, ada juga hadis sebagai sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW yang berupa perkataan, perbuatan, taqrir, hingga sifat-sifat Nabi Muhammad SAW. Hadis ini juga bisa disebut As-Sunnah dan tentunya juga merupakan pedoman dan sumber hukum yang dapat diikuti oleh umat muslim.

Namun, Al-Qur’an dan beberapa hadits yang awalnya ditulis oleh kalangan sahabat nabi lalu turun kepada perawinya, memiliki lafadz-lafadz yang sukar untuk dipahami dan akan menjadi masalah jika salah ditafsirkan, seperti halnya jika ada suatu hadits yang sebenarnya hadits sahih akan tetapi ditolak karena ada lafadz yang masih sukar atau juga salah untuk dipahami dan ditafsirkan. Ini menjadi topik yang sering dibicarakan ulama besar terdahulu.

Meskipun demikian para ulama terdahulu akhirnya membuat kitab atau ilmu yang bisa dikatakan sangat penting untuk penafsiran hadits, yaitu ilmu gharib al-hadits yang seperti penjelasan masalah diatas yaitu untuk memberikan ilmu-ilmu dalam menafsirkan hadits yang memiliki lafadz-lafadz yang gharib atau sukar untuk dipahami. Maka dari, itu penting dan baik jika mempelajari ilmu gharib ini agar mengetahui maksud dan makna dari lafadz-lafadz yang sukar dipahami untuk ditafsirkan tersebut.

Ilmu gharib pengertiannya berasal dari lafal gharib dari bahasa arab yang merupakan bentuk jamak dari Gharibah yang berarti asing atau sulit pengertiannya. Lafadz asing atau sulit dipahami ini yang menyebabkan beberapa ayat Al-Qur’an dan hadits itu salah untuk ditafsirkan. Maka dari itu, penting ilmu gharib ini ada untuk membantu para penafsir, santri, atau umat muslim lainnya sebagai acuan untuk meanfsirkan lafadz-lafadz yang sulit. Dan juga tidak hanya itu menurut Baidan pun mempelajari ilmu gharib juga memiliki banyak faedah untuk di ketahui seperti meningkatkan penalaran ilmiah, mengambil perhatian umat, dan memperoleh keyakinan bahwa hadirnya Al-Qur’an sebagai kallam illahi.

Sebagai contoh pentingnya ilmu gharib dalam Al-Qur’an yaitu dari surah Yasin: 52

قَالُوْا يٰوَيْلَنَا مَنْۢ بَعَثَنَا مِنْ مَّرْقَدِنَا ۜهٰذَا مَا وَعَدَ الرَّحْمٰنُ وَصَدَقَ الْمُرْسَلُوْنَ

Yang artinya : Mereka berkata “Celakalah kami! Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat tidur (kubur)?” Inilah yang dijanjikan (Allah SWT) yang maha pengasih dan benarlah rasul-rasul-nya.

Dalam surah Yasin; 52 diatas terdapat lafadz gharib, untuk itu menafsirkannya digunakan ilmu tanda saktah dalam ilmu gharib yaitu pada kalimat : مَنْۢ بَعَثَنَا مِنْ مَّرْقَدِنَا ۜهٰذَا مَا وَعَدَ الرَّحْمٰنُ  lafadz هٰذَا menurut Ad-Darwiz itu mubtada’ dan khabarnya adalah مَا وَعَدَ الرَّحْمٰنُ. Ini berbeda maksudnya menurut Az-Zamakhsyari bahwa yang menjadikan lafadz هٰذَا itu na’at dari مَّرْقَدِ, sedangkan مَا sebagai mubtada’  tlalu tersimpan khabarnya pada lafadz  هٰذَا. Dari segi makna penempatan tanda saktah pada kedua pendapat diatas sama-sama tepat. Yang pertama, orang yang dibangkitkan kuburnya mengatakan: “Siapakah yang membangkitkan dari tempat tidur (yang) ini. Apa yang di janjikan Allah dan dibenarkan oleh rasul ini pasti benar”. Dan yang kedua, orang yang dibangkitkan kuburnya itu mengatakan: “Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat tidur kami. Inilah yang dijanjiikan Allah dan dibenarkan oleh para rasul ini pasti benar. Kedua makna yang sama tepatnya tersebut bisa diserasikan, sekaligus untuk memisahkah ucapan malaikat dan orang kafir.

Sedangkan ilmu gharib dalam hadits seperti contohnya hadits Muttafaqun ‘alaih yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar r.a tentang Ibnu Shayyad :

قال النبي صلى الله عليه وسلم إني خبأت لك خبيئا, فماذا ؟ قال إبن صياد : هو الدخ ! قال النبي صلى الله عليه وسلم إخسأ ! فلن تعدو قدرك

Yang artinya: “Nabi Muhammad saw. Berkata : saya menyimpan sesuatu untukmu, apa itu ? sahut Ibnu Shayyad: yaitu asap. Salah ! kata Nabi saw., kamu tidak akan lepas secepat perkiraanmu.”

Terdapat lafadz gharib dalam hadits diatas yaitu الدخ yang menurut Al-Jauhari yang berarti “asap” secara etimologi. Namun, dalam pendapat lain berarti tumbuh-tumbuhan, hingga juga ada yang mengatakan jima’.

Untuk mendaparkan penafsiran yang tepat, tentu penting menggunakan ilmu gharib al-hadits dan juga mencari sanad lain, dan dalam hadits ini didapatkan sanad lain yaitu pentakhrijan hadits Abu Dawud dan At-Tirmidzy yang bersanadkan Az-zuhri, Salim, dan Ibnu Umar r.a menjelaskan keghariban kata tersebut. Kata Ibnu Umar:

النبي إن صلى الله عليه وسلم خبأله ( يوم تأتى السماء بدخان مبين) فأدرك ابن صياد البعض عادةالكهان فى اختطاف بعض الشيئ من الشياطين من غير وقوف على تمام البيان, فقال : هو الدخ

Artinya : “ suatu ketika Nabi Muhammad SAW menyembunyikan untuk Ibnu Shayyad : tunggulah sampai langi mengumpulkan asap-asap yang nyata”. Lalu Ibnu Shayyad mendapatkan sesuatu alat yang biasa dipakai tukang-tukang tenung untuk mencapai sesuatu dalam perantaraan setan-setan dan tanpa berpikir panjang lagi ia menjawab asap “asap”.

Dengan adanya Hadits Abu Dawud dan Tirmidzi tersebut, dapat disimpulkan dan diketahui bahwa kata الدخ  artiny adalah  asap.

Dan juga ilmu gharib penting untuk menghindari kekeliruan dalam membaca lafadz dalam Al-Qur’an maupun Hadits. Sebuah studi skripsi yang dilakukan oleh Anita Hidayati yang meneliti pemahaman materi ilmu gharib santri di Pondok Pesantren Tahaffudzul Qur’an Purwoyoso Ngaliyan Semarang, bahwa santri lebih paham praktiknya dari pada  pemahaman teori dari lafadz gharib dan santri banyak melakukan kekeliruan pada pemahaman per ayat atau lafadz.

Jadi, untuk menghindari kekeliruan dan kesalahan kata yang sukar dipahami atau gharib dalam penafsiran Al-Qur’an dan hadits, penting jika kita memakai ilmu gharib dalam prosesnya, seperti contoh diatas mulai untuk mengetahui keserasian dan perbedaan ucapan dari malaikat dan orang kafir dalam surah yasin dan mengetahui lafadz gharib   yaitu  asap dalam hadits itu menggunakan ilmu gharib yang penting adanya sebagai ilmu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun