Mohon tunggu...
Wildan RifaiAnwar
Wildan RifaiAnwar Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Mahasiswa

Saya adalah mahasiswa jurusan sejarah yang suka menulis dan berbagi pengetahuan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Lepasnya Timor Timur dari Indonesia

15 Mei 2023   13:16 Diperbarui: 15 Mei 2023   13:20 645
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi wilayah Indonesia dan Timor Leste | Sumber: Jurnal Soreang.com

Memperkuat Patriotisme dan Nasionalisme Melalui Peristiwa Historis Lepasnya Timor Leste dari Indonesia

Timor Leste merupakan sebuah negara yang terletak berdekatan dengan Indonesia. Pada masa lalu wilayah Timor Leste merupakan daerah jajahan Portugis yang berada di kawasan Nusntara. 

Pada masa Orde Baru berkuasa di Indonesia, pemerintah Republik Indonesia atas intruksi dari presiden Soeharto mencoba untuk mengambil alih kekuasaan di Timor Leste melalui berbagai cara, salah satunya melalui operasi militer yang dinamakan Operasi Seroja yang dimulai pada tanggal 7 Desember tahun 1975. 

Meskipun Timor Leste saat ini sudah merdeka, namun peristiwa bersejarah ini menjadi sebuah sejarah yang populer di Indonesia, khususnya dalam hal pro dan kontra atas tindakan pemerintah Orde Baru di Timor Leste. 

KOLONIALISME DI TIMOR LESTE

Timor Leste atau yang pada masa lalu disebut sebaga wilayah Timor Purtugis ini secara geografis merupakan sebuah wilayah yang masuk kedalam kepulauan Nusa Tenggara Timur. 

Wilayah ini merupakan wilayah jajahan Portugis yang pertamakali datang pada tahun 1556 dan mendarat di pantai Makasar, wilayah Oecusse dengan tujuan untuk berdagang. Setelah Portugis mendirikan wilayah kolonialnya ditempat tersebut, wilayah tersebut kemudian diberi nama “Timor Portugis/Portugis Timur” sebagai bentuk legitimasi atas kekuasaan koloial Portugis di kawasan tersebut. 

Dalam tindakan kolonialnya, pemerintah Portugis mencoba mengeksploitasi kekayaan alam di wilayah tersebut, khususnya kayu cendana yang kualitasnya bagus dan harganya yang mahal dipasar Eropa, serta merupakan komoditas utama dari wilaah Timor Leste. 

Adanya kabar tentang Timor Leste sebagai basis produksi kayu cendana bagi Portugis, membuat Belanda tertarik untuk ikut mengeksploitasi wilayah tersebut. Akibatnya terdapat persaingan politik atas legitimasi terhadap wilayah Timor Leste antara Belanda dengan Portugis. Puncaknya adalah pada tanggal 20 April 1859, pemerintah Belanda dan Portugis menyepakati perjanjian Lisboa yang membagi kekuasaan Belanda dan Portugis di wilayah Timor Leste. 

Pembagian wilayah kekuasaan kolonial antara Portugis dan Belanda terus bertahan higga memasuki era Perang Dunia ke-2. Pada masa Perang Dunia ke-2, wilayah Hindia-Belanda dan Timor Leste berhasil di aneksasi oleh Jepang. Namun setelah Jepang menyerah kepada sekutu pada tahun 1945, Portugis kembali menguasai wilayah Timor Leste dan mendirikan kembali kekuasaan kolonialnya di wilayah tersebut. 

REVOLUSI ANYELIR DAN KONFLIK INTERNAL TIMOR LESTE

Pada tahun 1974 terjadi sebuah kudeta militer yang dilakukan oleh militer Portugis bersama dengan masyarakat Portugis pro demokrasi terhadap kekuasaan Rezim Estado Novo. 

Peristiwa ini dinamai sebagai Revolusi Anyelir karena para tentara menggunakan bunga anyelir di seragam dan pucuk senjata mereka sebagai simbol perlawanan terhadap kebijakan pemerintah Portugis pada masa tersebut yang pro dengan kolonialisme, khususnya pada kebijakan militeristik yang mencegah wilayah jajahan Portugis di seluruh dunia untuk merdeka. 

Adanya perubahan kekuasaan dari rezim pro kolonialisme menjadi kekuasaan yang demokratis menyebabkan perubahan yang signifikan terhadap kebijakan kolonial Portugis. Pemerintah Portugis yang pro demokrasi kemudian membuat kebijakan demokratis terhadap seluruh wilayah jajahannya untuk menentukan nasib mereka sendiri. 

Hal ini dapat dirasakan hingga ke wilayah Timor Leste yang pada masa tersebut masih menjadi wilayah jajahan Portugis. Dalam mensukseskan kebijakannya ini pemerintah Portugis kemudian mengirim Mario Lemos ke Timor Leste sebagai Gubernur wilayah tersebut, untuk mengurus dan memberikan pilihan kepada rakyat Timor Leste terhadap nasib mereka sendiri.

 Upaya ini kemudian menghasilkan adanya tiga partai politik besar di Timor Leste yang semuanya memiliki tujuan dan pemikiran politiknya sendri-sendiri. Ke-3 partai politik tersebut adalah Uni Demokratik Timor (UDT), APODETI dan ADT yang kemudian berubah nama menjadi Fretilin. Tujuan partai Fretilin adalah kemerdekaan Timor Leste yang independen. 

Sedangkan APODETI bertujuan untuk mengintregasikan wilayah Timor Leste kedalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Adapun tujuan UDT adalah untuk menjadikan Timor Leste sebagai negara protektorat Portugis. Namun seiring berjalannya waktu UDT dan Fretilin akhirnya berkoalisi pada Januari 1975 dengan tujuan kemerdekaan Timor Leste yang independent. UDT dan Fretilin juga akhirnya memenangkan pemilu pada bulan Maret 1975. 

Pada bulan Agustus 1975, terjadi kudeta yang dilakukan oleh UDT dengan bantuan APODETI terhadap kekuasaan Fretilin dan menyebabkan perang saudara di wilayah tersebut. Hal ini didasari oleh ketidakpuasan UDT terhadap kebijakan Fretilin yang dinilai terlalu mendominasi dan tidak sesuai dengan kesepakatan bersama antara Fretilin dan APODETI sebelumnya. Adanya perang saudara ini menyebabkan Mario Lemos dan para anak buahnya meninggalkan wilayah Timor Leste yang dianggap semakin tidak kondusif dan membahayakan. 

Kudeta yang dilakukan oleh UDT dan APODETI terhadap kekuasaan Fretilin berakhir gagal, dikarenakan kekuatan militer dari Fretilin yang kuat pada masa tersebut. 

Hal ini wajar karena pasukan militer Fretilin sebelumnya merupakan bekas pasukan Tropaz yang dilatih secara khusus oleh militer Portugis untuk meredam pemberontakan di wilayah jajahan Portugis. 

Kemudian pada tanggal 28 November 1975, Fretilin memproklamasikan kemerdekaan Timor Leste, sekaligus merubah nama “Timor Potugis” menjadi “Timor Leste”. Hal ini dilakukan untuk memperkuat legitimasi kekuasaan Fretilin, sekaligus sebagai implementasi atas tujuan mereka yaitu membentuk sebuah negara merdeka yang diberi nama “Timor Leste”. 

OPERASI SEROJA DAN MASUKNYA TIMOR LESTE KE DALAM INDONESIA

Gagalnya kudeta yang dilakukan oleh UDT dan APODETI terhadap Fretilin menyebabkan mereka menjadi terasingkan dalam pemerintahan dan politik. Hal ini mendasari pihak UDT dan APODETI untuk meminta bantuan terhadap pemerintah Republik Indonesia. 

Menurut pernyataan resmi pemerintahan Soeharto pada masa tersebut, sebenarnya Indonesia tidak tertarik untuk ikut campur dalam urusan Timor Leste, namun karena adanya gejolak dikawasan tersebut yang notabennya bersebelahan dengan wilayah Indonesia membuat Indonesia mau tidak mau harus mengambil tindakan strategis untuk menangani permasalahan ini. 

Selain itu kecondongan pemerintah Fretilin yang terkesan dekat dengan Komunisme, semakin membuat pemerintahan Soeharto yang anti terhadap komunis, memandang permasalahan di Timor leste dengan serius. Pendapat pemerintahan Soeharto ini didukung oleh Amerika dan Australia yang sama-sama ingin menghilangkan pengaruh komunisme di wilayah Asia Tenggara. 

Dengan dukungan dari dunia internasional, khususnya Amerika Serikat dan Australia, pemerintah Indonesia akhirnya melakukan invasi militer ke wilayah Timor Leste dengan tujuan untuk mengintegrasikan wilayah Timor Leste kedalam Provinsi baru Indonesia pada masa tersebut. Tindakan militer ini dinamai sebagai “Operasi Seroja” yang dimulai pada 7 Desember 1975. Operasi militer ini berhasil membuat kekuasaan Fretilin di Timor Leste runtuh. Akibatnya pasukan Fretilin mulai melarikan diri ke wilayah hutan dan pegunungan untuk melancarkan perang geriliya. 

Setelah berhasil menguasai wilayah timor Leste, pemerintah Indonesia kemudian mendirikan pemerintahan baru di wilayah tersebut yang sebagian besar diisi oleh orang-orang dari UDT dan APODETI. Timor Leste kemudian menjadi Provinsi Indonesia ke-27 pada tanggal 17 Juli 1976 dengan nama baru yaitu Provinsi Timor Timur. 

Setelah itu pemerintah Indonesia pada masa tersebut kemudan mulai membangun wilayah Timor Leste, baik dari segi infrastruktur, kesehatan, dan pendidikan. Salah satunya adalah pembangunan jalan aspal yang dilakukan oleh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), pembangunan SD Inpres dan pemberantasan buta huruf, serta pengenalan pola hidup yang sehat seperti KB dan lain sebagainya. 

REFERENDUM DAN LEPASNYA TIMOR LESTE

Jatuhnya rezim Soeharto sebagai penguasa pemerintah Indonesia pada tahun 1998 membuat harapan kemerdekaan Timor Leste kembali menemui titik terangnya. Peralihan kekuasaan dari Presiden Soeharto ke Presiden B.J. Habibie ikut mempengaruhi kebijakan pemerintah Indonesia pada masa tersebut. Jatuhnya rezim militerisme di Indonesia berarti demorasi dapat dengan leluasa disuarakan lagi. 

Hal itulah yang dilakukan oleh para aktifis pro kemerdekaan Timor Leste yang menuntut agar Timor Leste dapat merdeka dari Indoneisa. Salah satu peristiwa yang memicu semangat kemerdekaan di masyarakat Timor Leste adalah adanya tragedi “Santa Cruz”, yaitu pembantaian oleh militer Indonesia terhadap para demontran pro kemerdekaan Timor Leste pada tahun 1991. 

Upaya kemerdekaan yang dilakukan oleh para aktifis pro kemerdekaan Timor Leste juga mendapat angin segar ketika Presiden B.J. Habibie memutuskan untuk menyelenggarakan referendum di Timor Leste pada tahun 1999. Presiden Habibie yakin bahwasanya masyarakat Timor Leste akan memilih untuk tetap memihak kepada Indonesia atas apa yang telah Indonesia lakukan di Timor Leste, khususnya dalam hal pembangunan infrastruktur, pedidikan, dan kesehatan masyarakat. 

Namun hasil referendum yang dipantau dan diselenggarakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), khususnya melalui Australia yang dijadikan sebagai wakil PBB menunjukan bahwa mayoritas peduduk Timor Leste menginginkan kemerdekaan dari Indonesia. Dengan adanya hasil tersebut maka Timor Leste akhirnya merdeka dari Indonesia dan secara resmi menjadi sebuah negara pada 20 Mei 2002. 

Lepasnya Timor Leste dari Indonesia tentunya memberikan pukulan yang signifikan terhadap kehidupan pemerintahan Indonesia. Semua usaha yang telah dilaukan oleh pemerintah Indonesia untuk mempertahankan Timor Leste seakan sia-sia. 

Hal ini sangat dirasakan oleh para anggota ABRI yang sebagian besar merasa perjuangan mereka selama berada di Timor Leste menjadi sia-sia. Selain itu adanya pro dan kontra dari opini publik dimasa sekarang tentang merdekannya Timor Leste dari Indonesia juga merupakan salah satu dampak panjang dari adanya peristiwa historis tersebut. 

Namun yang perlu digaris bawahi oleh kita sebagai masyarakat Indonesia pada masa kini adalah bahwasanya peristiwa tersebut dapat dijadikan pembelajaran untuk memperkuat nasionalisme bangsa. Jika nasionalisme kita tidak dibentuk dan diperkuat sejak dini, maka tidak memungkinkan wilayah-wilayah lain di Indonesia dapat mengalami gejolak kemerdekaan seperti yang terjadi di Timor Leste. 

Selain itu peristiwa merdekanya Timor leste juga memberikan pemahaman kepada kita bahwasanya tindakan pemaksaan yang dilaukan oleh pemerintah tanpa adanya dasar yang kredibel, tidaklah selalu menyelesaikan permasalahan yang ada.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun