Mohon tunggu...
Wildan NurulSani
Wildan NurulSani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hobi saya menuliskan hal terdekat di sekitar saya

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Dampak Ekonomi Menindas dalam Ranah Pendidikan Tinggi: Tekanan untuk Lulus Cepat dan Harapan Orangtua

17 Januari 2024   14:00 Diperbarui: 17 Januari 2024   14:07 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

          Pendidikan tinggi sering kali menjadi lanskap yang dipenuhi tantangan ekonomi yang signifikan. Lima tahun terakhir, gelombang protes atas kebijakan pendidikan tinggi semakin masif. Hai ini selaras dengan biaya kuliah yang melonjak tinggi lebih 10 kali lipat selama 20 tahun terakhir.

          Mahalnya biaya kuliah menjadi hambatan bagi kemajuan generasi muda Indonesia dalam membangun negerinya. Mayoritas tenaga kerja di Indonesia didominasi oleh lulusan tingkat Sekolah Dasar. Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) sebanyak 39,76% tenaga kerja merupakan tamatan SD ke bawah pada Februari 2023. Distribusi penduduk bekerja berdasarkan tamatan pendidikan yang didominasi oleh tingkat SD ke bawah menunjukkan pola yang sama sejak Februari 2021, malah semakin meningkat. Pada Februari 2021 sebesar 37,41%, dan meningkat 39,10% pada Februari 2022. Sedangkan yang merupakan lulusan sarjana dan diploma hanya 11 persen saja. Cukup jauh dengan negara tetangga seperti Malaysia yang tingkat lulusan sarjana dan diploma 24 persen, begitupun dengan Singapura tingkat kelulusan sarjana dan diplomanya mencapai 29 persen dari angkatan kerja di negerinya. Dengan riwayat pendidikan formal yang rendah, banyak anak muda di Indonesia terserap oleh industri dengan upah murah serta hubungan kerja yang tidak adil seperti outsourcing dan kontrak berkepanjangan, maupun sebagai tenaga kerja asing yang minim perlindungan.

         Indonesia sendiri mempunyai cita-cita yang mulia yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai yang tertulis pada pembukaan undang-undang dasar. Negara seharusnya aktif melindungi warganya, termasuk menjamin pemenuhan hak atas pendidikan. Namun pada kenyataannya pendidikan di Indonesia, seperti komoditas yang diperdagangkan. Apa yang membuat pendidikan seoalah diperdagangkan? Kenapa kuliah semakin mahal? Jawabannya adalah imbas dari perjanjian GATS yang berisikan dua belas sektor bidang jasa yang menjadi komoditas komersialisasi. Pendidikan adalah salah satunya. Artikel ini akan membahas sebab ekonomi yang menindas menghasilkan lingkungan yang tidak menunjang perkembangan mahasiswa dan kualitas kegiatan pembelajaran biaya Pendidikan yang Meningkat  Banyak orang merasa sulit untuk masuk kuliah karena kendala biaya. Sudah masuk kuliah pun, akan menemukan kendala biaya juga. Kita seolah terbiasa untuk harus membayar sejumlah uang untuk kuliah, tentu dengan nominal yang tidak murah per-semesternya. Kebanyakan orang menganggap itu hal biasa dan masuk akal. Ketika tidak  mampu bayar, ada beasiswa. Tidak bisa mendapat beasiswa, ada keringan, ada penyesuaian golongan UKT, bisa cari pinjaman ataupun kuliah sambil kerja. Bahkan saat seseorang harus berhenti kuliah, barangkali itu adalah nasib yang terbaik. Cara berpikir seperti yang masih diamini oleh kebanyakan orang dalam memandang biaya pendidikan tinggi. Ada kecenderungan biaya pendidikan tinggi terus meningkat dari tiap angkatannya. Kita bisa ambil contoh mahasiswa PTN angkatan 2013 hanya perlu membayar UKT saja per semesternya, tanpa harus membayar biaya lain seperti, Uang pangkal, Kuliah Kerja Nyata, Praktek Kerja Lapangan, Yudisium, Wisuda, dan sebagainya. Karena UKT adalah sistem pembayaran satu pintu berdasarkan Permendikbud No. 55 Tahun 2013. 

 Namun sekarang berdasarkan Pasal 7 Permenristekdikti No. 39 Tahun 2017, suatu PTN dapat menarik pungutan di luar UKT untuk biaya Kuliah Kerja Nyata, Praktek Kerja Lapangan, Yudisium, Wisuda, dan sebagainya. Apa yang tadinya tunggal kini menjadi jamak. Semakin jamak pungutannya, semakin besar pengeluarannya. Semakin mahalnya biaya pendidikan tinggi ternyata seiring dengan semakin berkurangnya peran pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi. Pada era Soekarno, biaya pendidikan menjadi sangat murah bahkan gratis. Pada era Soeharto, masyarakat mulai ikut dijadikan pihak yang bertanggung jawab terhadap pembiayaan pendidikan sehingga mulai dikenal istilah SSP. Pada tahun 1999-2012, perguruan-perguruan tinggi diperbolehkan menarik dana dari masyarakat untuk dikelola secara otonom. Mulai ada pungutan di luar SPP seperti biaya Uang Pangkal. Sejak tahun 2013, pembayaraan Uang Pangkal, SPP dan biaya lainnya yang diintegrasikan menjadi satu pintu bernama UKT, yang kemudian pada gilirannya masih tetap ada pungutan-pungutan di luar UKT 

2. Tekanan Orang Tua

Orang tua sering kali memiliki harapan tertentu terkait investasi pendidikan yang mereka lakukan. Dalam ekosistem ekonomi yang ketat, mereka mungkin menginginkan hasil investasi tersebut secepat mungkin. Hal inilah yang menimbulkan tekanan pada mahasiswa untuk lulus dalam waktu yang singkat. Dalam sejarah hidup manusia jika dipelajari dengan seksama tidak ada sukses dalam sehari semalam, seorang nabi saja membutuhkan belasan tahun untuk mencerdaskan umatnya. Harapan dan tuntutan yang didorong seiring dengan persaingan gengsi dan lapangan kerja yang minim, menjadi tekanan besar bagi keseharian mahasiswa dalam berkuliah. Bingung nanti kerja apa? Kerja dimana? Gaji berapa? Itu semua bisa terjawab ketika mahasiswa mau berusaha dan berani melawan sistem. Dampak dari biaya kuliah yang mahal menjadikan orientasi orang tua terhadap anaknya yang berkuliah harus secepat mungkin sarjana dan segera mencari pekerjaan. Banyak pelajaran dan pengalaman hidup saat berkuliah tanpa tekanan, ketidaknyamanan saat kuliah adalah hal lumrah bagi mahasiswa yang merasa salah masuk jurusan karna dipaksa orang tua. Tekanan berlebihan yang diberikan oleh orang tua pada anaknya bisa menyebabkan depresi atau gangguan kesehatan mental. Mengutip hasil penelitian survei yang dilakukan di UGM didapat 15.6%mahasiswa mengalami depresi minimal, 21.9%mahasiswa mengalami depresi ringan, 46.9%mahasiswa mengalami depresi sedang, dan 15.6%mahasiswa mengalami depresi berat.

Hal ini kebanyakan disebabkan oleh besarnya tekanan yang dialami oleh mahasiswa dalam menjalani program studinya. Tidak jarang hal tersebut menjadi sebab bunuh diri yang dipilih oleh mahasiswa karena tidak sanggup menerima tekanan besar dari segala arah termasuk orang tua.

Kesimpulan

Dalam konteks ekonomi yang sulit, dampak menindas terhadap pendidikan tinggi dapat merugikan mahasiswa dan proses pendidikan itu sendiri. Penting untuk mencari keseimbangan antara kebutuhan ekonomi dan tujuan pendidikan yang lebih luas, memastikan bahwa mahasiswa tidak hanya lulus cepat tetapi juga menerima pendidikan yang mendalam dan berguna untuk menunjang karir.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun