Teater Koma merupakan komunitas teater tertua dan terbesar di Indonesia. Tahun ini kembali mempertunjukan Opera Kecoa yang menjadi pertunjukan teater koma yang ke-146.
Pertunjukan yang pernah digelar dua kali, pertama pada tahun 1985 dan yang kedua tahun 2003. Kini 13 tahun kemudian di tahun 2016 ternyata cerita yang diangkat dalam Opera Kecoa masih menjadi refleksi dari nasib rakyat kecil sampai saat ini yang hanya memiliki pilihan untuk menjadi ada atau tersingkir.
Tentang cinta, cerita ini pun memiliki kisahnya sendiri. Cerita cinta antara Roima, seorang bandit kelas teri dengan seorang waria yang begitu setia kepadanya, Julini. Diantara mereka hadir pula Tuminah, seorang PSK (Pekerja Seks Komersial) yang menarik hati Roima. Iya, meski berpacaran dengan seorang waria, sejatinya Roima adalah seorang pria. Dia masih memiliki hasrat kepada wanita sesungguhnya.
Di Indonesia, khususnya di Ibu Kotanya DKI Jakarta, kehidupan rakyat kecil selalu menjadi pembicaraan yang menarik. Mereka selalu menjadi objek yang diangkat-angkat dalam program kampanye-kampanye parpol. "Calon pemimpin yang mengedepankan aspirasi rakyat kecil".
Rakyat kecil diibaratkan seperti kecoa-kecoa dalam lakon Opera Kecoa. Dalam pertunjukan teater si-tukang obat hama kecoa yang mengisi pertunjukan dari awal hingga akhir selalu mengatakan bahwa kecoa-kecoa itu sudah ada dari zaman dahulu dan akan terus ada sampai akhir. Kecoa-kecoa itu sulit untuk dimusnahkan, mereka selalu berkembang biak dan selalu ada di gorong-gorong yang kotor.Â
Pertunjukan ini sangat menghibur sekali. Tema yang diangkat memang membuat kita menjadi sedih dan prihatin. Tetapi bumbu-bumbu humor tetap terasa gurih sekali. Julini, si waria tampaknya menjadi pemeran utama dalam pertunjukan ini. Dia berhasil membawa pertunjukan ini menjadi lebih menarik
"Hahaha..."
Sampai jumpa di pertunjukan teater berikutnya, sukses terus Teater Koma.
Salam seni dan budaya,