"Ini, Daf." Jawab Lena sambil memberikan selembar kartu undangan pernikahan, setelah seorang waiter datang dan meletakkan pesanan mereka.
Daffa tak bergeming saat ia membaca nama Lena tertera di sana.
"Aku minta maaf atas sikapku yang udah nyakitin kamu, Daf. Ini alasanku kenapa waktu itu aku gak jawab pernyataan kamu. Dan kenapa aku mencoba menghilang dari kamu dua minggu kemarin. Andai saja kamu mengungkapkannya lebih cepat, dan kamu lebih dulu berani menemui Papa untuk menyatakan itu ...." kata Lena.
Ia tak berani menatap Daffa yang masih terdiam sejak membaca kartu undangan itu. Matanya kembali basah. Ada luka tak terperih saat ia mengungkapkan kenyataannya. Ada harap nama Daffa yang tertulis bersanding dengan namanya di kartu undangan itu. Namun apa daya, ia tak mampu menolak perjodohan yang telah dilakukan oleh kedua orangtuanya.
Daffa tak dapat mengeluarkan satu katapun. Tenggorokannya tercekat. Ia hanya mampu bangun dari kursinya, dan pindah ke samping Lena. Memeluk wanita itu begitu erat. Seolah tak ingin ia lepaskan. Air matanya jatuh dalam pelukan Lena.
"Aku rindu kamu, Daf." Kata Lena dengan suara seraknya. Air matanya semakin deras mengalir.
"Aku lebih merindukan kamu."
"Daf ... bawa aku pergi." Pinta Lena dengan tatapan mengiba ke arah Daffa.
"Itu enggak mungkin dan tak akan pernah aku lakukan. Aku memang mencintai kamu. Tapi aku tak ingin namamu rusak di mata kedua orang tuamu juga di mata orang banyak."
"Tapi Daf ... aku gak cinta sama dia ... Aku gak yakin bisa bahagia bersama dia."
"Bersahabatlah dengan dia. Perlahan kamu akan menyayangi dan mencintainya."