Jakarta, bukan hanya sebuah provinsi tapi sebuah ibu kota negara, banyak ciri khas jakarta yang menonjol, pariwisata, budaya betawi yang unik, wisata kuliner, pusat pergerakan ekonomi bangsa, pusat perbelanjaan, banyak yang menarik dari Jakarta. Tapi tidak sedikit permasalahan yang timbul karena “kemenarikan” Jakarta itu. Salah satunya permasalahan sampah, setiap hari Jakarta menghasillan 6500 ton sampah yang di buang ke TPA (Tempat Pembuangan Akhir), dengan dibuang ke TPA tidak berarti permasalahan sampah Jakarta selesai. Masih ada sampah yang menumpuk di sungai-sungai jakarta, di laut jakarta, dipinggiran jalan-jalan Jakarta, dipemukiman penduduk bahkan dipusat-pusat wisata Jakarta seperti di kepulauan seribu, monas dll. Dalam pemilihan Bunda Pariwisata Dan Budaya Provinsi DKI Jakarta 2013 saya mempunyai misi menciptakan Guide otomatis dalam pariwisata yaitu pariwisata “Clean and Green” melalui Gerakan Pariwisata Bebas Sampah dan Gerakan Kampung Bebas Sampah.
Kenapa SAMPAH? Pariwisata identik dengan keindahan dan Kebersihan, keindahan dan kebersihan mencerminkan budaya suatu bangsa. Karena itu kita sebagai bangsa yang berbudaya dalam mengembangkan pariwisata yang kita miliki selayaknya kita menonjolkan identitas diri yang berbudaya. Karena itu dalam membawa misi pariwisata saya lebih dahulu memberdayakan masyarakat yang berbudaya dalam pengelolaan sampah.
Permasalahan sampah di Indonesia menjadi masalah yang serius yang belum dapat diselesaikan dengan baik oleh Pemerintah kab/kota. Permasalahan tersebut selain disebabkan oleh keterbatasan pendanaan untuk penyediaan infrastruktur juga rendahnya tingkat pelayanan persampahan terhadap masyarakat. Hampir semua Tempat Pembuangan sampah Akhir (TPA) tidak dapat lagi menampung sampah yang dihasilkan oleh masyarakat, sehingga sampah menumpuk dan menimbulkan bau yang tidak sedap yang dapat menimbulkan berbagai masalah di perkotaan seperti penyakit, banjir, dll.
Sampah sebagai barang sisa yang tidak terpakai baik padat maupun cair dari manusia, sehingga dengan demikian jika masalah sampah ini tidak dikelola dengan baik maka otomatis akan menyebabkan penurunan kualitas lingkungan yang selanjutnya akan mengancam kehidupan manusia itu sendiri. Jakarta sampai sejauh ini belum mampu menangani sampah ini dengan baik.
Dengan adanya pertumbuhan kota yang pesat dan tingkat sosial yang berubah serta kemajuan teknologi, sampah menjadi masalah yang serius dan diperlukan penanganan secara seksama secara terintegrasi dengan inovasi-inovasi baru yang lebih memadai ditinjau dari segala aspek, baik itu aspek sosial, aspek ekonomi maupun aspek teknis. Dalam kondisi sekarang ini penanganannya menjadi masalah yang kian mendesak di Jakarta, sebab pertumbuhan masyarakat,ekonomi,dan pariwisata Jakarta akan terus berlangsung dengan percepatan yang terus meningkat.
Kondisi yang secara otomatis juga akan memproduksi sampah lebih banyak dan lebih bervariatif, oleh karena itu apabila tidak dilakukan penanganan yang baik sejak sekarang ini akan mengakibatkan terjadinya perubahan keseimbangan lingkungan, mencemari lingkungan baik tanah, air dan udara.
Pada umumnya, sebagian besar sampah yang dihasilkan di Jakarta merupakan sampah basah, yaitu mencakup 60-70% dari total volume sampah. Oleh karena itu pengelolaan sampah yang terdesentralisisasi sangat tidak membantu dalam meminimasi sampah yang harus dibuang ke tempat Pembuangan sampah Akhir (TPA) atau pengelolaan secara sentralisasi. Pada prinsipnya pengelolaan sampah haruslah dilakukan sedekat mungkin dengan sumbernya, dengan prediksi >80% pengelolaan di Tempat Pembuangan sampah Sementara (TPS) dan >20% pengelolaan di TPA, hanya sampah B3 (10-20%) menuju TPA. Selama ini pengelolaan persampahan, terutama di Jakarta, tidak berjalan dengan efisien dan efektif karena pengelolaan sampah bersifat terpusat (sentralisasi).
Dari sistem pengelolaan persampahan yang sedang berjalan sampai saat ini, ternyata masih belum mampu menangani persampahan Jakarta, karena ada beberapa masalah yang timbul dalam sistem penanganan sampah saat ini, yaitu :
1. Pengumpulan sampah tidak efisien karena mulai dari sumber sampah (hulu) sampai ke TPA (hilir), sampah belum dipilah sehingga kalaupun akan diterapkan teknologi lanjutan berupa komposting maupun daur ulang perlu tenaga untuk pemilahan menurut jenisnya sesuai yang dibutuhkan, dan hal ini akan memerlukan dana maupun menyita waktu.
2. Pembuangan akhir ke TPA dapat menimbulkan masalah, diantaranya :
a. Perlu lahan yang besar untuk TPA sehingga hanya sesuai bagi kota yang masih mempunyai banyak lahan yang tidak terpakai. Hal ini akan timbul berbagai masalah sosial dan lingkungan, diantaranya :
- Dapat menjadi lahan yang subur bagi pembiakan jenis-jenis bakteri serta bibit penyakit lain;
- Dapat menimbulkan bau tidak sedap
- Dapat mengurangi nilai estetika dan keindahan lingkungan yang bisa menimbulkan efek negatif pariwisata Jakarta
b. Biaya operasional sangat tinggi bagi pengumpulan, pengangkutan dan pengolahan lebih lanjut.
c. Pembuangan sistem open dumping (hampir semua kab/kota di Indonesia masih menerapkan system ini), ini dapat menimbulkan beberapa dampak negatif terhadap lingkungan (sebagaimana amanat UU.18/Th.2008 Tentang Pengelolaan Sampah, bahwa pada tahun 2012, system open dumping harus ditinggalkan
d. Pembuangan dengan cara sanitary landfill, walaupun dapat mencegah timbulnya bau, penyakit dan lainnya, tetapi masih memungkinkan muncul masalah lain yakni :
- Timbulnya gas yang dapat menyebabkan pencemaran udara. Gas-gas yang mungkin dihasilkan adalah : methan, H2S, NH3 dan lainnya. Gas H2S dan NH3 walaupun jumlahnya sedikit, namun dapat menyebabkan bau yang tidak enak sehingga dapat merusak sistem pernafasan tanaman dan membuat tanaman kekurangan gas oksigen dan akhirnya mati.
- Pada proses penimbunan, sebaiknya sampah diolah terlebih dahulu dengan cara dihancurkan dengan tujuan untuk memperkecil volume sampah agar memudahkan pemampatan sampah. Untuk melakukan ini tentunya perlu tambahan pekerjaan yang berujung pada tambahan dana.
3. Penggunaan Incinerator dalam pengolahan sampah memiliki beberapa kelemahan, di antaranya
- Dihasilkan abu (15%) dan gas yang memerlukan penanganan lebih lanjut. Selain itu gas yang dihasilkan dari pembakaran dengan menggunakan alat ini dapat mengandung gas pencemar berupa : NOx, SOx dan lain-lain yang dapat mengganggu kesehatan manusia;
- Dapat menimbulkan air kotor saat proses pendinginan gas maupun proses pembersihan Incinerator dari abu maupun terak. Kualitas air kotor dari instalasi ini menyebabkan COD meningkat dan pH menurun;
- Memerlukan biaya yang besar dalam menjalankan Incinerator. Untuk menangani sampah 800 ton/hari memerlukan investasi Rp. 60 milyar, sedangkan dari hasil penjualan listrik yang dihasilkanhanya Rp. 2,24 milyar/tahun;
- Butuh keahlian tertentu dalam penggunan alat ini.
- Penggunaan Incinerator ini tidak dapat berdiri sendiri dalam pemusnahan sampah, tetapi masih memerlukan landfill guna membuang sisa pembakaran;
4. Belum maksimalnya usaha pemasaran bagi kompos yang dihasilkan dari proses pengomposan sampah kota;
5. Belum maksimalnya upaya sistem daur ulang menjadi barang-barang yang bernilai ekonomi tinggi;
6. Sulitnya mendapatkan tambahan biaya bagi peningkatan kesejahteraan petugas yang terlibat dalam penanganan sampah. Hal ini tentu akan berakibat pada kegairahan kerja yang rendah dari para pengelola sampah.
Pengelolaan Sampah Di Jakarta Perlu Dirubah.
Masih belum tuntasnya penanganan sampah di Jakarta, diperlukan terobosan-terobosan maupun inovasi baru dalam manajemen pengelolaan persampahan. Untuk itu perlu melakukan evaluasi secara cermat atas semua proses maupun langkah-langkah yang selama ini telah pernah kita lakukan .
Pola pembuangan sampah yang dilakukan dengan sistem TPA perlu dirubah dengan perubahan mindset dan paradigma, karena sudah tidak relevan dengan kondisi sekarang. Pembuangan yang dilakukan secara terbuka dan di tempat terbuka juga berakibat meningkatnya intensitas pencemaran . karena dalam banyak hal pengelolaan TPA masih sangat buruk mulai dari penanganan air sampah (leachet) sampai penanganan bau yang sangat buruk. Selain itu yang paling dirugikan dan selama ini tidak dirasakan oleh masyarakat adalah telah dikeluarkannya miliaran rupiah untuk membuat dan mengelola TPA.
Solusi dalam mengatasi masalah sampah ini dapat dilakukan dengan meningkatkan efisiensi terhadap semua program pengelolaan sampah yang dimulai pada skala kawasan (tingkat kecamatan/kawasan permukiman), kemudian dilanjutkan pada skala yang lebih luas lagi. Cara penyelesaian yang ideal dalam penanganan sampah di Jakarta adalah dengan cara mengelola sampah selain membersihkan lingkungan, juga menghasilkan sumber ekonomi baru dan penciptaan lapangan kerja.
Penghapusan model pengelolaan sampah secara sentralisasi di TPA secara bertahap, dengan solusi bijak pemberdayaan Tempat Pembuangan sampah Sementara (TPS). Pengelolaan sampah secara komunal dengan pembentukan kelompok usaha bersama dalam pengelolaan sampah menjadi barang bernilai ekonomi, sebagai pemberdayaan ekonomi kreatif. (pola Inti Plasma atau sentralisasi desentralisasi > seDesentralisasi). Sehingga sampah tidak lagi dilihat sebelah mata, karena merupakan bahan baku produksi lanjutan dan menjadi sumber ekonomi baru.
Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah merupakan aspek yang terpenting untuk diperhatikan dalam sistem pengelolaan sampah secara terpadu. Partisipasi masyarakat dalam suatu proses pembangunan (basis komunal) terbagi atas 4 tahap, yaitu :
a. Partisipasi pada tahap perencanaan,
b. Partisipasi pada tahap pelaksanaan (usaha Inti-Plasma), kelompok masyarakat membangun instalasi pengolahan sampah kota (IPSK atau IPSO) di TPS atau lingkungannya.
c. Partisipasi pada tahap pemanfaatan hasil-hasil pembangunan termasuk proses pemasaran produk akhir berbahan dasar sampah, dan
d. Partisipasi dalam tahap pengawasan dan monitoring, untuk memudahkan hal ini, pengelolaan sampah dimanage dalam sebuah usaha BUMR atau Perusda sebagai perusahaan Inti dan masyarakat sebagai perusahaan plasma.
Masyarakat senantiasa ikut berpartisipasi terhadap proses-proses pembangunan bila terdapat faktor-faktor yang mendukung, antara lain : kebutuhan, harapan, motivasi, ganjaran, kebutuhan sarana dan prasarana, dorongan moral/agama, dan adanya kelembagaan baik informal maupun formal. Termasuk didalam merealisir program terpadu ini, perlu ada lembaga pendamping Pro Green dalam pengelolaan sampah tersebut, agar masyarakat tidak salah arah dalam menjalankan manajemen system dan teknologi serta pemasarannya.
Keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan sampah merupakan salah satu faktor teknis untuk menanggulangi persoalan sampah Jakarta atau lingkungan pemukiman dari tahun ke tahun yang semakin kompleks, karena dari rangkaian pengelolaan sampah, maka di hulu (masyarakat) merupakan faktor terberat (proses pemilahan), Indonesia perlu regulasi (kab/kota sangat perlu membuat/merevisi perda persampahannya yang mengacu pada UU.18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah dan UU.32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam mendukung penanganan persampahan ini dengan prinsip pro rakyat. Pemerintah Jepang saja membutuhkan waktu 10 tahun untuk membiasakan masyarakatnya memilah sampah. Reduce (mengurangi), Reuse (penggunan kembali) dan Recycling (daur ulang) adalah model relatif aplikatif dan dapat bernilai ekonomis. Sistem ini diterapkan pada skala kawasan sehingga memperkecil kuantitas dan kompleksitas sampah. Model ini akan dapat memangkas rantai transportasi yang panjang dan beban APBD yang berat. Selain itu masyarakat secara bersama diikutsertakan dalam pengelolaan yang akan memancing proses serta hasil yang jauh lebih optimal daripada cara yang diterapkan saat ini.
Oleh karena itu, untuk mendapatkan tingkat efektifitas dan efisiensi yang tinggi dalam penanganan sampah di Jakarta maka dalam pengelolaannya harus cukup layak diterapkan yang sekaligus disertai upaya pemanfaatannya sehingga diharapkan mempunyai keuntungan berupa nilai tambah. Untuk mencapai hal tersebut maka perlu pemilihan cara dan teknologi yang tepat, perlu partisipasi aktif dari masyarakat sumber sampah berasal dan mungkin perlu dilakukan kerjasama antar lembaga pemerintah yang terkait (antara Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Koperasi/UKM, Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, dan Industri, Kementerian Tenaga Kerja, Kementerian Sosial, Kementerian Kehutanan maupun lembaga keuangan). Serta lembaga social masyarakat (NGO), perusahaan swasta dengan pemanfaatan dana CSR perusahaan dan dunia usaha (Kadin Indonesia), karena konsep pengelolaan sampah terpadu ini dapat menjadi pemicu tumbuhberkembangnya pengusaha-pengusaha daerah dalam mengelola sampah. Disamping itu juga perlu aspek legal untuk dijadikan pedoman berupa peraturan-peraturan mengenai lingkungan demi menanggulangi pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh sampah.
Sistem Pengelolaan Sampah Terpadu.
Sistem Pengelolaan Sampah Terpadu, suatu sistem pengelolaan sampah yang beroperasi lebih banyak mengikut sertakan partisipasi masyarakat, lebih ramah lingkungan, secara operasional lebih hemat energi dan biaya, serta secara produktif dapat meningkatkan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Sistem yang dimaksud di sini merupakan satu diantara alternatif dari berbagai sistem pengelolaan sampah lainnya, yang mengarah kepada pemecahan kelemahan-kelemahan yang ada dalam penanganan sampah perkotaan dan limbah pertanian di perdesaan selama ini.
Sistem Pengelolaan Sampah terpadu diarahkan agar sampah-sampah dapat dikelola dengan baik dalam arti mampu menjawab permasalahan sampah hingga saat ini yang belum dapat diselesaikan dengan tuntas, juga diarahkan untuk pemberdayaan masyarakat lokal agar mampu mandiri terutama menyangkut :
1. Penataan dan pemanfaatan sampah berbasis masyarakat secara terpadu,
2. Peningkatan partisipasi aktif masyarakat dalam pengelolaan sampah,
3. Penggalian potensi ekonomi dari sampah, sehingga diharapkan dapat memperluas lapangan kerja.
Keuntungan Sistem Pengelolaan Sampah Terpadu.
Beberapa keuntungan yang dapat diperoleh dari sistem pengelolaan sampah terpadu ini, diantaranya:
1. Dengan sitem IPSK/IPSO (pola Inti-Plasma atau seDesentralisasi) ini terjadi peningkatan kualitas lingkungan demikian juga ekosistem dapat terjaga dengan baik, karena sistem yang dipakai dengan pengelolan sampah tanpa sisa (zero waste);
2. Matarantai pengangkutan sampah menjadi sangat kecil, sehingga dengan demikian biaya pengangkutan dapat ditekan;
3. Tidak memerlukan lahan untuk TPA yang luas ataupun TPA terpusat dengan incenerator maupun peralatan lainya dengan biaya operasional yang besar, cukup lahan-lahan untuk lokasi IPSK/IPSO yang lebih kecil yang mendekati daerah pelayanan;
4. Dapat menghasilkan nilai tambah hasil pemanfaatan sampah menjadi barang yang memiliki nilai ekonomis, dan tidak membebani pemerintah daerah yang berlebihan;
5. Dapat menambah lapangan pekerjaan sekaligus dapat lebih mensejahterakan masyarakat pengelola dengan berdirinya badan usaha yang dikelola oleh masyarakat yang mengelola sampah menjadi bahan yang bermanfaat;
6. Beban Anggaran Pemerintah Daerah Kab/Kota akan berkurang, atau bahkan akan tidak ada sama sekali (yang terkait dengan penanganan sampah).
Kesimpulan.
1. Pengelolaan yang sedang berjalan saat ini baik di TPA maupun di TPS yang mengandalkan sistem pengangkutan, pembuangan dan pengolahan menjadi bahan urukan perlu diubah karena dirasakan sangat tidak ekonomis (cost center). Disamping memerlukan biaya operasional dan lahan bagi pembuangan akhir yang luas juga menimbulkan banyak dampak yang kurang menguntungkan bagi kehidupan masyarakat kota serta akan menumbuhkan masyarakat yang kurang peduli terhadap lingkungannya.
2. Pengelolaan sampah dengan baik akan menjadi sumber ekonomi baru dan kreatif bagi masyarakat.
3. Pengelolaan sampah di pusat-pusat pariwisata harus lebih diperhatikan karena mencerminkan budaya bangsa. Khususnya pengelolaan sampah organik (sisa makanan, serasah pohon atau tanaman, dll) harus dikelola dengan basis komunal
4. Melalui kegiatan Bunda Pariwisata ini saya membuat Gerakan Kampung Bebas Sampah dan Gerakan Wisata Bebas Sampah
5. Sebagai usulan atau himbauan kami kepada pemerintah, agar konsisten menjalankan regulasi persampahan yang ada. Jakarta sebagai ibu kota negara Republik Indonesia, merupakan gerbang pariwisata Indonesia dan menjadi tolak ukur kesuksesan pengelolaan sampah di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H