Pahlawan Revolusi Gigih membela NKRI Sampai titik Darah Penghabisan  dalam G30SPKI.
Hari kesaktian Pancasila di peringati di setiap tanggal 01 September, adanya peristiwa tersebut karena adanya gerakan 30 September1965 (G30S). pada tanggal 30 September 1965, PKI  terbagi dalam beberapa kelompok untuk  mendatangi kediaman ketujuh jenderal.Â
Gerakan ini dipimpin oleh Letnan Kolonel Untung Syamsuri, yang merupakan Komandan Batalyon I Cakrabirawa Dari ketujuh jenderal, tiga diantaraya, yaitu Jenderal Ahmad Yani, Jenderal Mas Tirtodarmo Haryono dan Jenderal Donald Isaac Panjaitan dibunuh tepat di kediamanya.Â
Sedangkan, Jenderal Siswondo Parman, Jenderal Sutoyo Siswodiharjo dan Jenderal Soeprapto ditangkap hidup-hidup. Setelah gerombolan PKI menyiksa para jenderal hingga tewas,kemudian  jenazah ketujuh jenderal tersebut dimasukkan ke lubang sumur sedalam 12 meter ataau yang di sebut dengan Lubang Buaya. Lubang tersebut terletak di Pondok Gede, Jakarta Timur, PKI merupakan salah satu partai tertua dan terbesar di Indonesia.Â
Partai ini mengakomodir kalangan intelektual, buruh, hingga petani. Pada pemilu tahun 1955, PKI berhasil meraih 16,4 persen suara dan menempati posisi keempat di bawah PNI, Masyumi, dan NU.
Tujuan adanya G30S adalah sebagai berikut :
- Menghancurkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan menjadikannya sebagai negara komunis.
- Menyingkirkan TNI Angkatan Darat dan merebut kekuasaan pemerintahan.
- Mewujudkan cita-cita PKI, yakni menjadikan ideologi komunis dalam membentuk sistem pemerintahan yang digunakan sebagai alat untuk mewujudkan masyarakat komunis.
- Mengganti ideologi Pancasila menjadi ideologi komunis.
- Kudeta yang dilakukan kepada Presiden Soekarno tak lepas dari rangkaian kegiatan komunisme internasional.
Dari tahun 1963, kepemimpinan PKI makin lama makin berusaha memprovokasi bentrokan-bentrokan antara aktivis massanya dengan polisi dan militer. Pemimpin-pemimpin PKI juga menginfiltrasi polisi dan tentara dengan slogan "kepentingan bersama" polisi dan "rakyat". Pemimpin PKI DN Aidit mengilhami slogan "Untuk Ketentraman Umum Bantu Polisi". Di bulan Agustus 1964, Aidit menganjurkan semua anggota PKI membersihkan diri dari "sikap-sikap sektarian" kepada angkatan bersenjata, mengimbau semua pengarang dan seniman sayap-kiri untuk membuat "massa tentara" subjek karya-karya mereka
Di akhir 1964 dan permulaan 1965 ribuan petani anggota Barisan Tani Indonesia (BTI) bergerak merampas tanah dengan dasar Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Bentrokan-bentrokan besar terjadi antara mereka dengan polisi dan para pemilik tanah.
Bentrokan-bentrokan tersebut dipicu oleh propaganda PKI yang menyatakan bahwa petani berhak atas setiap tanah, tidak peduli tanah siapapun (milik negara = milik bersama). Kemungkinan besar PKI meniru revolusi Bolsevik di Rusia, di mana di sana rakyat dan partai komunis menyita milik Tsar dan membagi-bagikannya kepada rakyat.
Isu masalah tanah dan bagi hasil
Pada tahun 1960 keluarlah Undang-Undang Pokok Agraria dan Undang-Undang Pokok Bagi Hasil yang sebenarnya merupakan kelanjutan dari Panitia Agraria yang dibentuk pada tahun 1948.Â
Panitia Agraria yang menghasilkan UUPA terdiri dari wakil pemerintah dan wakil berbagai ormas tani yang mencerminkan 10 kekuatan partai politik pada masa itu. Walaupun undang-undangnya sudah ada namun pelaksanaan di daerah tidak jalan sehingga menimbulkan gesekan antara para petani penggarap dengan pihak pemilik tanah yang takut terkena UUPA, melibatkan sebagian massa pengikutnya dengan melibatkan backing aparat keamanan.Â
Peristiwa yang menonjol dalam rangka ini antara lain peristiwa Bandar Betsi di Sumatra Utara dan peristiwa di Klaten yang disebut sebagai 'aksi sepihak' dan kemudian digunakan sebagai dalih oleh militer untuk membersihkannya.Â
Keributan antara PKI dan Islam (tidak hanya NU, tetapi juga dengan Persis dan Muhammadiyah) itu pada dasarnya terjadi di hampir semua tempat di Indonesia, di Jawa Barat, Jawa Timur, dan di provinsi-provinsi lain juga terjadi hal demikian.
Pada permulaan 1965, para buruh mulai menyita perusahaan-perusahaan karet dan minyak milik Amerika Serikat. Kepemimpinan PKI menjawab ini dengan memasuki pemerintahan dengan resmi. Pada waktu yang sama, jenderal-jenderal militer tingkat tinggi juga menjadi anggota kabinet.Â
Jenderal-jenderal tersebut masuk kabinet karena jabatannya di militer oleh Sukarno disamakan dengan setingkat menteri. Hal ini dapat dibuktikan dengan nama jabatannya (Menpangab, Menpangad, dan lain-lain).
Menteri-menteri PKI tidak hanya duduk di sebelah para petinggi militer di dalam kabinet Sukarno ini, tetapi mereka terus mendorong ilusi yang sangat berbahaya bahwa angkatan bersenjata adalah merupakan bagian dari revolusi demokratis "rakyat".[3]
Aidit memberikan ceramah kepada siswa-siswa sekolah angkatan bersenjata di mana ia berbicara tentang "perasaan kebersamaan dan persatuan yang bertambah kuat setiap hari antara tentara Republik Indonesia dan unsur-unsur masyarakat Indonesia, termasuk para komunis".
Rezim Sukarno mengambil langkah terhadap para pekerja dengan melarang aksi-aksi mogok di industri. Kepemimpinan PKI tidak berkeberatan karena industri menurut mereka adalah milik pemerintahan NASAKOM.
Tidak lama PKI mengetahui dengan jelas persiapan-persiapan untuk pembentukan rezim militer, menyatakan keperluan untuk pendirian "angkatan kelima" di dalam angkatan bersenjata, yang terdiri dari pekerja dan petani yang bersenjata.
Bukannya memperjuangkan mobilisasi massa yang berdiri sendiri untuk melawan ancaman militer yang sedang berkembang itu, kepemimpinan PKI malah berusaha untuk membatasi pergerakan massa yang makin mendalam ini dalam batas-batas hukum kapitalis negara.Â
Mereka, depan jenderal-jenderal militer, berusaha menenangkan bahwa usul PKI akan memperkuat negara. Aidit menyatakan dalam laporan ke Komite Sentral PKI bahwa "NASAKOMisasi" angkatan bersenjata dapat dicapai dan mereka akan bekerja sama untuk menciptakan "angkatan kelima".Â
Kepemimpinan PKI tetap berusaha menekan aspirasi revolusioner kaum buruh di Indonesia. Di bulan Mei 1965, Politbiro PKI masih mendorong ilusi bahwa aparatus militer dan negara sedang diubah untuk mengecilkan aspek anti-rakyat dalam alat-alat negara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H