Keluarga adalah unit sosial terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari orang tua dan anak-anak (Soemanto, 2022). Setiap anggota keluarga memiliki perannya masing-masing.Â
Dahulu, peran ayah sering dikaitkan sebagai pencari nafkah utama. Sementara itu, ibu bertanggung jawab atas semua kebutuhan rumah tangga, seperti memasak, membersihkan rumah, dan merawat anak-anak.Â
Meskipun demikian, mereka adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Apabila peran-peran tersebut tidak dilakukan dengan semestinya, maka hal tersebut dapat disebut dengan disorganisasi keluarga.
Menurut penelitian berjudul "Pengaruh Disorganisasi Keluarga Terhadap Perilaku Sosial Anak", disorganisasi keluarga adalah keretakan dalam keluarga sebagai satu kesatuan karena para anggotanya tidak berhasil memenuhi tanggung jawab yang sesuai dengan peran sosial mereka.Â
Disorganisasi dalam sebuah keluarga dapat berasal dari sejumlah keadaan yang mengarah pada ketidakseimbangan, kekacauan, dan ketidakstabilan internal.Â
Banyak faktor yang menjadi penyebab disorganisasi keluarga ini, termasuk perceraian orang tua, kematian orang tua, perselisihan keluarga, kekerasan dalam rumah tangga, masalah ekonomi, dan kecanduan narkoba. Ketidakstabilan ini berdampak pada semua anggota keluarga, terutama anak-anak.
Disorganisasi keluarga dapat memengaruhi ketidakstabilan emosional anak. Anak-anak mungkin merasa bingung, cemas, dan tidak aman.Â
Hal ini dapat menghambat kemampuan anak untuk mengelola emosinya secara efektif, menghambat perkembangan emosinya, dan meningkatkan risiko terjadinya masalah kesehatan mental.
MS (20 tahun), salah satu anak yang tumbuh dari keluarga yang disfungsional mengatakan bahwa konflik keluarga yang ia alami pada usia 10 tahun ini mengarah pada perceraian kedua orang tuanya. Â Hal ini juga menimbulkan beberapa dampak negatif pada dirinya.Â
"Perselingkuhan yang dilakukan ayah berulang kali itu dampaknya yaitu orang tua bercerai, kurangnya perhatian dan komunikasi yang buruk. kurang kasih sayang, ayah tuh mikirnya ngehidupin aku cukup pake uang aja, padahal aslinya aku juga butuh kasih sayang penuh. contohnya kaya ayah ga pernah dateng ke acara-acara sekolah dan cuma ngasih uang aja."
Selain dampak negatif dari keluarga itu sendiri, MS mengatakan bahwa kejadian ini juga menimbulkan dampak negatif lainnya dari pihak luar.Â
"Aku juga pernah di-bully waktu sekolah SD dan SMP, diejek dengan kata-kata 'tukang kawin' oleh temen aku, sampe aku ngamuk di sekolah." lanjutnya.Â
MS menambahkan juga bahwa kejadian-kejadian tersebut memengaruhi emosinya yang cenderung tidak stabil dan mudah marah.Â
"Dampak dari ini semua juga membentuk karakter aku yang keras dan tidak bisa mengontrol emosi hingga kadang tantrum".Â
Meski begitu, seiring berjalannya waktu dan bertambahnya usia, membuat MS sadar bahwa perilaku tersebut tidak baik, dan saat ini ia merasa lebih bisa mengontrol emosi serta lebih legowo-an.
Menurut penelitian berjudul "Disorganisasi Keluarga Mempengaruhi Perkembangan Kepribadian Anak" mengatakan bahwa terapi keluarga menjadi salah satu upaya mengatasi dampak disorganisasi keluarga.Â
Anggota keluarga bekerja sama untuk menyelesaikan konflik dan memperbaiki hubungan dalam terapi keluarga. Terapis keluarga membantu penyelesaian perselisihan, peningkatan komunikasi, dan pengembangan hubungan yang sehat.Â
Anak-anak juga diberikan dukungan emosional olehnya. Konseling individu, di mana anak-anak dapat dengan aman mengungkapkan pemikiran mereka dan mendapatkan dukungan, metode ini bermanfaat bagi anak-anak yang terkena dampak dari disorganisasi keluarga.Â
Konselor membantu anak-anak dalam mengatasi masalah yang disebabkan oleh keluarga yang berantakan, mengelola emosi, dan mengembangkan harga diri.
Selain itu, dukungan sosial yang sesuai bagi anak dapat menjadi solusi yang tepat untuk anak yang terdampak. Dukungan ini dapat diperoleh dari pihak luar selain keluarga, seperti contohnya dari teman, guru, dan masyarakat sekitar. Contohnya bisa dengan tidak mencemooh anak yang mengalami kejadian tersebut.
Orang tua dapat mengidentifikasi langkah-langkah yang diperlukan untuk perbaikan dan memahami dampak disorganisasi keluarga terhadap anak mereka dengan bantuan pendidikan dan pemahaman.Â
Program bantuan orang tua dan pendidikan keluarga dapat memberikan informasi, kemampuan, dan strategi yang dibutuhkan untuk memberikan anak-anak lingkungan yang lebih aman dan suportif. Membangun lingkungan keluarga yang stabil dan aman sangat penting untuk membantu anak-anak pulih dari dampak disorganisasi keluarga.Â
Upaya ini juga memerlukan partisipasi aktif dari berbagai pihak, termasuk lembaga pendidikan, lembaga sosial, dan pemerintah, untuk menciptakan sistem dukungan yang holistik dan berkelanjutan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H