Mohon tunggu...
Wilda Nabila Yoga
Wilda Nabila Yoga Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Jurnalistik Unpad

Seorang mahasiswa yang tertarik pada bidang jurnalisme salah satunya adalah mengenai isu general yang terjadi di sekitar lingkungan.

Selanjutnya

Tutup

Ramadan

Lika-liku Mahasiswa Merayakan Hari Raya Idul Fitri di Kota Perantauan

16 April 2024   22:49 Diperbarui: 16 April 2024   22:53 447
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap tahun, saat bulan Ramadan tiba, umat muslim dari seluruh penjuru dunia merayakan momen yang penuh kebahagiaan. Salah satu momen yang sangat dinantikan umat muslim seluruh dunia ini  adalah hari raya Idulfitri, yang lebih populer dengan sebutan Lebaran. Mudik sebelum hari raya Idulfitri sudah menjadi salah satu tradisi yang setiap tahunnya dilakukan sebagian besar masyarakat Indonesia. 

Kebanyakan umat muslim berbondong-bondong pulang ke kampung halamannya untuk merayakan hari kemenangan. Bahkan, banyak kaum non-muslim yang turut serta melakukan tradisi mudik ini, mengingat libur cuti bersama yang cukup panjang dan dapat digunakan untuk liburan, atau hanya untuk sekadar rehat sejenak dari hiruk pikuk kesehariannya. 

Tradisi mudik ini banyak dilakukan oleh masyarakat yang merantau, baik itu karena pekerjaan maupun pendidikan. Salah satunya adalah mahasiswa yang merantau. Namun, bagaimana ya perbedaan suasana Lebaran antara kampung halaman dan kota perantauan?

Di balik suka cita masyarakat yang mudik ke kampung halamannya, masih banyak pula yang tidak mudik dan merayakan hari raya di kota perantauannya. Seperti halnya beberapa mahasiswa yang mengurungkan niatnya untuk merayakan hari raya bersama keluarga di rumah karena berbagai macam alasan. 

Sepertinya halnya Aqil, seorang mahasiswa di salah satu perguruan tinggi di Bandung yang memutuskan untuk tidak mudik ke kampung halamannya yang berada di Bengkulu. "Ongkos mahal, bisa 2-3 lipat dari budget gue dan waktunya mepet juga". Selain itu, terdapat beberapa alasan lainnya mulai dari alasan waktu liburan dipakai untuk menyelesaikan skripsi sampai dengan karena suasana rumah yang kurang harmonis.

Suasana berlebaran di perantauan tentunya akan sangat berbeda dengan suasana berlebaran di kampung halaman bersama keluarga. Tradisi-tradisi yang biasa dilakukan di kampung halaman saat hari lebaran seperti silaturahmi dan saling bermaaf-maafan dengan tetangga sekitar, pembagian uang tunjangan hari raya (THR), serta berkumpul bersama sanak keluarga sambil menikmati hidangan khas lebaran tidak dapat dirasakan oleh mahasiswa yang merayakan hari raya lebaran di kota perantauannya. 

Sedangkan, suasana lebaran di kota perantauan tidak semeriah biasanya di kampung halaman, mengingat sebagian besar mahasiswa pulang ke kampung halaman masing-masing. Sehingga, perayaannya lebih sepi dan hanya ditemani oleh teman lain yang juga tidak mudik atau bahkan sendirian. 

"Jatinangor ini mayoritas mahasiswa, nah pas lebaran ini karena ditinggal banyak mahasiswanya ya jadi sepi dan kurang terasa hawa lebarannya. Beda kalau di kampung suasananya jauh lebih semarak dan banyak orang saling bersilaturahmi satu sama lain datang berkunjung ke rumah-rumah dan pastinya tiap rumah banyak makanan dan kue kering" ujar Akbar, mahasiswa berasal dari Banyuwangi yang sudah dua tahun tidak pulang mudik lebaran. 

Perbedaan perayaan hari raya lebaran yang cukup signifikan itu menjadi salah satu hal yang dirindukan para mahasiswa di perantauan. Meskipun ini bukan kali pertama Akbar merayakan hari raya lebaran di kota perantauannya, ia tetap merindukan banyak hal yang biasa dilakukan saat hari lebaran di kampung halamannya. "Kangen dibangunin pagi harinya dan keriweuhan sebelum salat ied, kangen juga sama segala jenis makanan lebaran, dan yang pasti kangen juga sama keluarga di rumah" tambah Akbar.

Selain para mahasiswanya, kota perantauan juga banyak ditinggal mudik oleh para pemilik usaha makanan di sana. Seperti yang terjadi di kota Yogyakarta. Sekumpulan pemilik usaha Warung Indomie (Warmindo) berbondong-bondong mudik ke kampung halamannya. Sehingga, Warmindo yang biasa menjadi pilihan utama para mahasiswa untuk membeli makanan kesulitan untuk mencari warung makan dengan harga terjangkau, banyak pilihan menu, serta mudah ditemukan di setiap sudut kota. 

Hal ini tidak hanya terjadi di kota Yogyakarta, akan tetapi di sebagian besar kota-kota perantauan yang umumnya berisi para mahasiswa yang sedang menempuh pendidikannya. "Banyak tempat yang tutup juga jadi susah juga untuk cari makanan" ucap Akbar. Meski begitu, banyak mahasiswa yang akhirnya memasak makanannya sendiri saat hari lebaran untuk mengobati kerinduannya akan hidangan di kampung halaman atau mendapat makanan khas lebaran dari teman yang memang berasal dari kota perantauan tersebut. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun