Mohon tunggu...
Wilaga Azman Kharis
Wilaga Azman Kharis Mohon Tunggu... -

mahasiswa semester 5 minat menulis dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Manusia dan Serigala

3 September 2011   11:53 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:16 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku berbicara pada rindangnya pegunungan. Aku malah dibuatnya bertekuk lutut. Di pesisir jurang, ketika aku berbisik, dia berbisik, ketika aku berteriak, dia berteriak, ketika aku bernyanyi, dia bernyayi, ketika aku berelegi, dia berelegi. Walaupun tinggi, gunung itu pecundang. Dia hanya bisa ikut apa yang aku lakukan. Dia hipokrit paling sejati.

Aku berbicara pada sensualitas pantai. Aku malah dibuatnya gondok. Di ujung daratan, ketika aku berbisik, dia diam, ketika aku beteriak, dia diam, ketika aku bernyanyi, dia diam, ketika aku berelegi, dia diam. Memang dia tidak diam, tapi berkata yang sama, selalu. Suaranya gemeresik air garam menggelitiki pasir. Walaupun merunduk, laut itu bisu. Dia hanya bisa bicara sama padahal aku berkata berbeda. Dia si Bisu yang rendah.

Aku berkata pada matahari, dia menyilaukan. Aku berkata bulan, dia lebih sering ngumpet di gelap, tidak jelas. Aku berkata pada ilalang, dia selalu bergoyang. Aku berkata pada pepohonan, dia tidak beringsut, tidak juga berdiam. Aku berkata pada tangan kananku, katanya, bilang saja pada tangan kiriku. Aku berkata pada tangan kiriku, katanya, bilang saja pada tangan kananku. Aku berkata padaku, aku bingung.

Inilah dilema dari segala dilema. Ketika dilahirkan dari rahim yang sama, ketika dahulu sebenarnya kita adalah orang yang sama, telur yang sama, ketika kita terlahir sama-sama tidak tahu apa-apa, kecuali menangis dan ngompol. Kini, kita menjadi aku dan kamu. Sepertinya kita dengan sengaja dibuat seperti itu.

Alam manusia tidak diciptakan sepaket dengan objektivitas. Silau ada karena keadaan seperti itu disetujui namanya silau. Gelap ada karena keadaan seperti itu disetujui gelap. Emas dibilang indah karena banyak manusia yang setuju emas itu indah. Aku benci emas dan bilang malah kotoran yang indah. Mereka berbicara tentang dirinya sendiri, tentang persetujuannya masing-masing, kemudian berkelompok.

***

“Sudah tiga puluh tahun, Nak, bapak melarang kamu”

“Tapi, kamu selalu menentang apa arti larangan, Nak”

“Tuh, benar kata mamak-mu, Nak. Lihatlah dirimu”

“Ya, kata abah-mu benar, kan? Sekarang inilah yang abah mamak khawatirkan”

***

Januari, 2011.

“Benarkah itu, mamak?”

“Mendengar dari siapa kamu?!”

PLAK!

Bah, jangan kasar sama bujang

Mak, jawab bujang, Mak. Benarkah itu?”

“Kalau kamu tidak puas dengan tamparan Abah barusan, Abah menyimpan cemeti. Mau?!”

Bah! Jangan!”

“Jangan tahan abah, Mak!”

“Apa bujang salah bertanya, Bah?”

“Tidak salah, Jang, kamu bertanya. Kamu hanya bertanya pada orang yang salah”

Setelah itu yang kuingat dua kali tamparan hingga bibirku berdarah, lima kali pada mamak hingga pingsan, dan aku yang setelah itu keluar rumah. Mencari yang kutanyakan, saudara kembarku.

***

Agustus, 2041. Aku punya rumah yang besar walaupun istri belum punya. Aku punya kuda meskipun tak satupun penerusku yang ada. Aku menikmati keadaan ini, keluar dari jalur yang ditetapkan. Jalur-jalur yang disetujui. Padahal, aku adalah aku. Jauh dari abah adalah hal yang seharusnya aku lakukan sejak dulu meskipun setiap Januari aku merindukan mamak.

Aku pemburu yang terkenal hingga ke negeri seberang. Segala hewan pernah kutaklukkan. Ular berbisa bukan kelasku, kelasku adalah naga. Macan bukan kelasku, kelasku adalah dinosaurus. Tapi, satu kelas yang belum kucapai yaitu berburu saat rembulan telanjang bulat.

Biar durhaka begini, aku menganut adat-istiadat yang kental. Abah mamak selalu dan selalu tidak bosan menutup pintu dan jendela saat rembulan sempurna. Ketika itu, aku ke kamar mandi pun dilarang. Nah, meski aku sudah hebat begini, meski aku telah tinggal di kota yang beda, meski kotaku menyelenggarakan pesta dengan kupu-kupu cantik, meski dengan itu aku dibilang si Congkak, aku tetap menutup pintu dan jendela bilikku ketika rembulan sempurna.

***

Beberapa waktu sebelum rembulan sempurna berikutnya. Aku keburu kepincut dengan lembar sayembara yang ditempel di penjuru kota, bahkan hingga lemari bajuku. Sayembara itu menjanjikan kepemilikan setengah kota asal memburu kumpulan serigala saat rembulan sempurna. Bagaimana aku tidak bisa kepincut dengan tawaran itu? Selain mempertaruhkan harga diri pemburu tertinggi dikelasnya, aku juga tamak. Aku manusia.

***

Rupanya, hanya aku saja yang tertarik dengan sayembara itu. Semua pemburu lemah. Semua pemburu pengecut. Akulah yang gagah. Akulah pemburu dari segala pemburu, meski aku akui, aku pemburu yang durhaka dan penjahat adat.

Aku selusuri gelap tidak dengan sebatang senter atau selaksa obor. Aku mengandalkan pengelihatanku yang sebenarnya mulai lunglai. Tapi, aku percaya diri dan aku tetap berjalan. Ini adalah hutan yang belum pernah aku masuki sebelumnya dalam keadaan gelap. Ternyata biar bagaimana manusia itu sombong ketika matahari ada, aku yang pemburu ini gentar juga saat gelap begini. Aku jadi ngeri membayangkan ketika hidupku kelak gelap seperti ini. Aku tidak bisa bawa senter atau obor karena aku durhaka pada orang tua dan pengkhianat adat.

Terlalu maju untuk mudur dan terlalu takut untuk maju, ironis. Mau bagaimana lagi? Ini pertama kali kulihat. Sekelompok serigala yang dimaksud ada di depanku beberapa puluh langkah. Biasanya, pada saat biasa, aku dengan mantap menodongkan moncong senapanku, tapi malam ini aku gentar.

Rembulan telanjang bulat seperti cuma beberapa jengkal saja jaraknya diatas sana, setidaknya seperti itulah yang dipikir serigala. Lihat itu, mereka mengadahkan cakarnya seperti mereka berpikir dengan itu tali yang menggantung rembulan akan putus dan kemudian rembulan jatuh kepangkuan mereka. Setengah jam penuh aku pandangi mereka tapi aku belum bisa melihat wajah mereka. Wajah mereka dimakan siluet. Jelas tapi tersamarkan.

Sedikit demi sedikit rembulan tercuil cakar-cakar serigala. Nah, dari sini keadaan jadi seru. Setiap ada yang mencongkel rembulan, serigala yang lain bosan mencongkel rembulan yang tergantung, inginnya mengambil milik saudaranya. Maka, cakar-cakaran terjadi. Bisa jadi karena perpendaran bulan yang berkurang karena tercungkil, aku sedkit-sedikit bisa melihat sosok mereka, dan disitulah darahku serasa menguap.

Bukankah itu wajah abah dan mamak? Ya, di kepala serigala-serigala itu. Persis sekali. Aku tidak berceloteh. Aku serius dan aku yakin aku benar. Kuping itu bukan cuping serigala, hidung itu bukan hidung serigala, mata itu bukan mata serigala, pipi itu bukan pipi serigala, tapi manusia! Dan itu punya abah dan mamak.

Aku tahu ternyata darahku tidak menguap, tapi masih ada di tempatnya. Buktinya, dari tanganku mengalir darah segar. Aku digigit salah seorang dari serigala. Aku rupanya terlalu asyik dengan tontonanku hingga tak sadar aku dijadikan rembulan oleh salah satu dari mereka. Sakit lukaku tekalahkan telak oleh kagetku. Serigala yang menggigitku wajahnya persis seperti punyaku. Tapi, aku tak mungkin spesiesku sama seperti abah dan mamak. Wajahku ada dua, yang satu tetap di kepalaku sementara yang lain ada di wajah serigala ini.

***

Beberapa jam setelah aku digigit serigala berwajah wajahku itu, aku terdampar pada sebuah ruangan, aroma, rasa, dan kesannya sama dengan bilik aku dibesarkan abah dan mamak. Ya, ini bilik tempat tinggalku.

“Sudah tiga puluh tahun, Nak, bapak melarang kamu”

“Tapi, kamu selalu menentang apa arti larangan, Nak”

“Tuh, benar kata mamak-mu, Nak. Lihatlah dirimu”

“Ya, kata abah-mu benar, kan? Sekarang inilah yang abah mamak khawatirkan”

Aku bahagia, mamak tidak apa-apa, tiga puluh tahun yang lalu beliau hanya pingsan. Bibirku biru, sekujur tubuhku beku, dan aku bisa melihat tubuhku digoyang-goyang abah, mamak, dan saudara kembarku dengan cakar-cakar mereka, dengan tubuh serigala mereka. Inikah yang disebut kematian?

Mereka bertiga bicara soal kekhawatiran yang terwujud. Kataku—walaupun suaraku tidak akan terdengar oleh mereka—tidak peduli manusia berwajah serigala, atau serigala berwajah manusia. Menurutku, adalah gawat ketika karena manusia berjalan diatas dua kaki sementara serigala empat kaki, ketika manusia punya akal sementara serigala hanya naluri, dan dengan segala perbedaan memuakkan itu, adab manusia dan serigala jadi sama

Aku berbicara pada rindangnya pegunungan. Aku malah dibuatnya bertekuk lutut. Di pesisir jurang, ketika aku berbisik, dia berbisik, ketika aku berteriak, dia berteriak, ketika aku bernyanyi, dia bernyayi, ketika aku berelegi, dia berelegi. Walaupun tinggi, gunung itu pecundang. Dia hanya bisa ikut apa yang aku lakukan. Dia hipokrit paling sejati.

Aku berbicara pada sensualitas pantai. Aku malah dibuatnya gondok. Di ujung daratan, ketika aku berbisik, dia diam, ketika aku beteriak, dia diam, ketika aku bernyanyi, dia diam, ketika aku berelegi, dia diam. Memang dia tidak diam, tapi berkata yang sama, selalu. Suaranya gemeresik air garam menggelitiki pasir. Walaupun merunduk, laut itu bisu. Dia hanya bisa bicara sama padahal aku berkata berbeda. Dia si Bisu yang rendah.

Aku berkata pada matahari, dia menyilaukan. Aku berkata bulan, dia lebih sering ngumpet di gelap, tidak jelas. Aku berkata pada ilalang, dia selalu bergoyang. Aku berkata pada pepohonan, dia tidak beringsut, tidak juga berdiam. Aku berkata pada tangan kananku, katanya, bilang saja pada tangan kiriku. Aku berkata pada tangan kiriku, katanya, bilang saja pada tangan kananku. Aku berkata padaku, aku bingung.

Inilah dilema dari segala dilema. Ketika dilahirkan dari rahim yang sama, ketika dahulu sebenarnya kita adalah orang yang sama, telur yang sama, ketika kita terlahir sama-sama tidak tahu apa-apa, kecuali menangis dan ngompol. Kini, kita menjadi aku dan kamu. Sepertinya kita dengan sengaja dibuat seperti itu.

Alam manusia tidak diciptakan sepaket dengan objektivitas. Silau ada karena keadaan seperti itu disetujui namanya silau. Gelap ada karena keadaan seperti itu disetujui gelap. Emas dibilang indah karena banyak manusia yang setuju emas itu indah. Aku benci emas dan bilang malah kotoran yang indah. Mereka berbicara tentang dirinya sendiri, tentang persetujuannya masing-masing, kemudian berkelompok.

***

“Sudah tiga puluh tahun, Nak, bapak melarang kamu”

“Tapi, kamu selalu menentang apa arti larangan, Nak”

“Tuh, benar kata mamak-mu, Nak. Lihatlah dirimu”

“Ya, kata abah-mu benar, kan? Sekarang inilah yang abah mamak khawatirkan”

***

Januari, 2011.

“Benarkah itu, mamak?”

“Mendengar dari siapa kamu?!”

PLAK!

Bah, jangan kasar sama bujang

Mak, jawab bujang, Mak. Benarkah itu?”

“Kalau kamu tidak puas dengan tamparan Abah barusan, Abah menyimpan cemeti. Mau?!”

Bah! Jangan!”

“Jangan tahan abah, Mak!”

“Apa bujang salah bertanya, Bah?”

“Tidak salah, Jang, kamu bertanya. Kamu hanya bertanya pada orang yang salah”

Setelah itu yang kuingat dua kali tamparan hingga bibirku berdarah, lima kali pada mamak hingga pingsan, dan aku yang setelah itu keluar rumah. Mencari yang kutanyakan, saudara kembarku.

***

Agustus, 2041. Aku punya rumah yang besar walaupun istri belum punya. Aku punya kuda meskipun tak satupun penerusku yang ada. Aku menikmati keadaan ini, keluar dari jalur yang ditetapkan. Jalur-jalur yang disetujui. Padahal, aku adalah aku. Jauh dari abah adalah hal yang seharusnya aku lakukan sejak dulu meskipun setiap Januari aku merindukan mamak.

Aku pemburu yang terkenal hingga ke negeri seberang. Segala hewan pernah kutaklukkan. Ular berbisa bukan kelasku, kelasku adalah naga. Macan bukan kelasku, kelasku adalah dinosaurus. Tapi, satu kelas yang belum kucapai yaitu berburu saat rembulan telanjang bulat.

Biar durhaka begini, aku menganut adat-istiadat yang kental. Abah mamak selalu dan selalu tidak bosan menutup pintu dan jendela saat rembulan sempurna. Ketika itu, aku ke kamar mandi pun dilarang. Nah, meski aku sudah hebat begini, meski aku telah tinggal di kota yang beda, meski kotaku menyelenggarakan pesta dengan kupu-kupu cantik, meski dengan itu aku dibilang si Congkak, aku tetap menutup pintu dan jendela bilikku ketika rembulan sempurna.

***

Beberapa waktu sebelum rembulan sempurna berikutnya. Aku keburu kepincut dengan lembar sayembara yang ditempel di penjuru kota, bahkan hingga lemari bajuku. Sayembara itu menjanjikan kepemilikan setengah kota asal memburu kumpulan serigala saat rembulan sempurna. Bagaimana aku tidak bisa kepincut dengan tawaran itu? Selain mempertaruhkan harga diri pemburu tertinggi dikelasnya, aku juga tamak. Aku manusia.

***

Rupanya, hanya aku saja yang tertarik dengan sayembara itu. Semua pemburu lemah. Semua pemburu pengecut. Akulah yang gagah. Akulah pemburu dari segala pemburu, meski aku akui, aku pemburu yang durhaka dan penjahat adat.

Aku selusuri gelap tidak dengan sebatang senter atau selaksa obor. Aku mengandalkan pengelihatanku yang sebenarnya mulai lunglai. Tapi, aku percaya diri dan aku tetap berjalan. Ini adalah hutan yang belum pernah aku masuki sebelumnya dalam keadaan gelap. Ternyata biar bagaimana manusia itu sombong ketika matahari ada, aku yang pemburu ini gentar juga saat gelap begini. Aku jadi ngeri membayangkan ketika hidupku kelak gelap seperti ini. Aku tidak bisa bawa senter atau obor karena aku durhaka pada orang tua dan pengkhianat adat.

Terlalu maju untuk mudur dan terlalu takut untuk maju, ironis. Mau bagaimana lagi? Ini pertama kali kulihat. Sekelompok serigala yang dimaksud ada di depanku beberapa puluh langkah. Biasanya, pada saat biasa, aku dengan mantap menodongkan moncong senapanku, tapi malam ini aku gentar.

Rembulan telanjang bulat seperti cuma beberapa jengkal saja jaraknya diatas sana, setidaknya seperti itulah yang dipikir serigala. Lihat itu, mereka mengadahkan cakarnya seperti mereka berpikir dengan itu tali yang menggantung rembulan akan putus dan kemudian rembulan jatuh kepangkuan mereka. Setengah jam penuh aku pandangi mereka tapi aku belum bisa melihat wajah mereka. Wajah mereka dimakan siluet. Jelas tapi tersamarkan.

Sedikit demi sedikit rembulan tercuil cakar-cakar serigala. Nah, dari sini keadaan jadi seru. Setiap ada yang mencongkel rembulan, serigala yang lain bosan mencongkel rembulan yang tergantung, inginnya mengambil milik saudaranya. Maka, cakar-cakaran terjadi. Bisa jadi karena perpendaran bulan yang berkurang karena tercungkil, aku sedkit-sedikit bisa melihat sosok mereka, dan disitulah darahku serasa menguap.

Bukankah itu wajah abah dan mamak? Ya, di kepala serigala-serigala itu. Persis sekali. Aku tidak berceloteh. Aku serius dan aku yakin aku benar. Kuping itu bukan cuping serigala, hidung itu bukan hidung serigala, mata itu bukan mata serigala, pipi itu bukan pipi serigala, tapi manusia! Dan itu punya abah dan mamak.

Aku tahu ternyata darahku tidak menguap, tapi masih ada di tempatnya. Buktinya, dari tanganku mengalir darah segar. Aku digigit salah seorang dari serigala. Aku rupanya terlalu asyik dengan tontonanku hingga tak sadar aku dijadikan rembulan oleh salah satu dari mereka. Sakit lukaku tekalahkan telak oleh kagetku. Serigala yang menggigitku wajahnya persis seperti punyaku. Tapi, aku tak mungkin spesiesku sama seperti abah dan mamak. Wajahku ada dua, yang satu tetap di kepalaku sementara yang lain ada di wajah serigala ini.

***

Beberapa jam setelah aku digigit serigala berwajah wajahku itu, aku terdampar pada sebuah ruangan, aroma, rasa, dan kesannya sama dengan bilik aku dibesarkan abah dan mamak. Ya, ini bilik tempat tinggalku.

“Sudah tiga puluh tahun, Nak, bapak melarang kamu”

“Tapi, kamu selalu menentang apa arti larangan, Nak”

“Tuh, benar kata mamak-mu, Nak. Lihatlah dirimu”

“Ya, kata abah-mu benar, kan? Sekarang inilah yang abah mamak khawatirkan”

Aku bahagia, mamak tidak apa-apa, tiga puluh tahun yang lalu beliau hanya pingsan. Bibirku biru, sekujur tubuhku beku, dan aku bisa melihat tubuhku digoyang-goyang abah, mamak, dan saudara kembarku dengan cakar-cakar mereka, dengan tubuh serigala mereka. Inikah yang disebut kematian?

Mereka bertiga bicara soal kekhawatiran yang terwujud. Kataku—walaupun suaraku tidak akan terdengar oleh mereka—tidak peduli manusia berwajah serigala, atau serigala berwajah manusia. Menurutku, adalah gawat ketika karena manusia berjalan diatas dua kaki sementara serigala empat kaki, ketika manusia punya akal sementara serigala hanya naluri, dan dengan segala perbedaan memuakkan itu, adab manusia dan serigala jadi sama.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun