Mohon tunggu...
wikaseptiana
wikaseptiana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa KPI semester 5

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Manten Kucing : Dari Sakral Ke Festival Budaya Tulungagung

11 Desember 2024   13:39 Diperbarui: 11 Desember 2024   13:39 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penulis : Wika Septiana Putri & Shindy Annisa Avielian

Perkembangan kebudayaan suatu masyarakat sering kali mengalami akulturasi dengan berbagai bentuk kultur yang ada. Oleh karena itu, corak dan bentuk kebudayaan tersebut sering diwarnai oleh berbagai unsur budaya yang bermacam-macam. Setiap masyarakat memiliki kebudayaan yang berbeda, salah satunya adalah tradisi ritual manten kucing.

Tradisi ritual manten kucing berawal dari Desa Pelem, Tulungagung. Pada masa itu, desa ini mengalami musim kemarau panjang yang menyebabkan kekurangan air untuk bertani dan kebutuhan lainnya. Dalam situasi tersebut, seorang tokoh yang dikenal sebagai Eyang Sangkrah, yang ahli dalam ilmu kejawen sekaligus pemimpin Desa Pelem, berusaha mencari solusi untuk mendatangkan hujan. Eyang Sangkrah kemudian mandi di Telaga Coban bersama seekor kucing peliharaannya yang bernama Candramawa.

Setelah kejadian itu, hujan turun di Desa Pelem, membawa kebahagiaan bagi masyarakat. Masyarakat kemudian percaya bahwa memandikan kucing dapat mendatangkan hujan. Ketika desa tersebut berganti pemimpin kepada Eyang Sutomejo, kekeringan kembali melanda. Berdasarkan petunjuk yang diterimanya, Eyang Sutomejo mencari dua ekor kucing Candramawa. Kedua kucing tersebut kemudian dimandikan secara bersamaan di Telaga Coban, dan beberapa hari kemudian hujan kembali turun. Sejak saat itu, memandikan sepasang kucing dipercaya oleh masyarakat Tulungagung sebagai tradisi untuk memohon hujan.

Seiring waktu, fungsi tradisi ritual manten kucing mengalami akulturasi. Perubahan ini mulai tampak di Desa Pelem, Kecamatan Campurdarat, Kabupaten Tulungagung, sekitar tahun 2001. Sebelum tahun tersebut, ritual manten kucing dilakukan dengan sifat sakral dan dikenal secara terbatas oleh masyarakat setempat. Namun, pada tahun 2009 dan 2010, tradisi ini mulai difestivalkan dalam rangka memperingati Hari Jadi Kabupaten Tulungagung. Pemerintah Kabupaten Tulungagung memutuskan untuk memasukkan ritual manten kucing sebagai bagian dari agenda tahunan peringatan hari jadi kabupaten.

Pada festival manten kucing tahun 2010, acara ini diikuti oleh 19 kecamatan di Kabupaten Tulungagung. Perubahan fungsi ritual ini disebabkan oleh meningkatnya tingkat pendidikan masyarakat dan pola pikir yang semakin modern. Meski demikian, masyarakat berharap tradisi ritual manten kucing tetap dilestarikan sebagai salah satu kekayaan budaya Tulungagung. Ritual ini tidak hanya menjadi simbol tradisi lokal tetapi juga bagian dari identitas budaya yang unik dan berharga.

Sumber : Jurnal Penelitian Asiyah. Pergeseran Fungsi Ritual Manten Kucing Di Desa Pelem Kecamatan Campurdarat Kabupaten Tulungagung Tahun 2001-2013.
Jurnal Penelitian Krisna. Nilai Budaya dan Implementasi Pancasila pada Tradisi Manten Kucing di Kabupaten Tulungagung.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun