Mohon tunggu...
Wikan Widyastari
Wikan Widyastari Mohon Tunggu... Wiraswasta - An ordinary mom of 3

Ibu biasa yang bangga dengan 3 anaknya. Suka membaca, menulis,nonton film, berkebun.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Toko Buku Tutup? Jangan Dulu

3 Juni 2023   10:01 Diperbarui: 3 Juni 2023   10:06 372
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa tahun terakhir ini, kita menyaksikan toko buku berguguran. Satu persatu menutup gerainya, karena pembeli makin hari makin berkurang, sehingga margin yang didapat tak mampu menutup biaya operasional. Sedih? Tentu. Saya ingat ketika saya masih SD, pernah diajak oleh salah satu teman Bapakku, menginjungi toko buku Gunung Agung di Jl. Diponegoro, barat Tugu Jogja. Rasanya seneng banget, seperti masuk ke dunia lain. Apalagi ketika kawan Bapak itu membebaskanku membeli buku apapun yang saya mau. Dan pilihan saya adalah buku cerita seri Lima Sekawan karangan Enyd Blyton. Lalu setelahnya saya keranjingan membaca semua buku-buku karangan Enyd Blyton. Ketika SMP, karena seri buku Enyd Blyton sangat banyak, saya dan beberapa sahabat suka membeli buku dnegan judul yang berbeda, lalu kami saling bertukar buku, sehingga lebih hemat dan bisa membaca keseluruhan serinya bergantian. Mengenang masa kecil dengan begitu banyak buku yang dibaca memang menimbulkan nostalgia tersendiri.  Selain buku-buku Enyd Blyton, buku-buku karya sastrawan kitapun banyak saya baca ketika kecil, seperti Robohnya Surau Kami, Tengelamnya Kapal Van der Wick, Siti Nurbaya dan banyak lagi yang lain. Waktu itu, saya suka banget baca buku sambil tiduran di bawah kolong tempat tidur, bersembunyi agar tidak disuruh-suruh oleh ibuku. Mengingat masa kecil dan kedekatanku dengan buku-buku memang membuat sedih, mungkin pengalaman seperti ini tidak akan dialami anak-anak generasi Z yang kemana-mana menenteng laptop dan smartphone.

Dari buku cetak, generasi Z ini beralih ke E book. Selain harganya lebih murah, juga mudah dibawa kemana-mana, melalui laptop maupun netbook, ipad, tablet atau smarphone. lebih ringkas, lebih ringan. Lebih sesuai untuk anak-anak generasi Z yang mobilitasnya tinggi. Harus diakui bahwa membeli E book lebih murah dibanding membeli buku cetak, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Apalagi bagi mahasiswa-mahasiswa yang membutuhkan buku text yang tebalnya ribuan halaman dan harganya bahkan mencapai jutaan rupiah. Kemajuan tekbnilogi memang tak bisa dihambat. Perubahan gaya hidup yang dibawa oleh teknologi ini, mau tak mau memang harus diikuti jika tidak ingin dilindas jaman. Setelah bergugurannya media masa cetak {koran}, buku-buku cetak, barangkali kelak, buku tulis juga akan tinggal kenangan. Makin banyak saja buku tulis ditinggalkan, karena orang tak lagi perlu mencatat di buku tulis. Contoh jelas, anak saya yang tadinya suka banget beli buku tulis yang lucu-lucu dan bagus-bagus, ballpoint dan stabilo warna warni untuk membuat catatan kuliah agar menarik dibaca dan memberi tekanan pada hal-hal penting sekarang sudah ditinggalkan. Kenapa? Karena dia sekarang lebih suka mencatat pelajaran menggunakan tablet yang bisa mengganti fungsi buku, mencatat menggunakan pen tablet, diberi warna sesuka hati dan langsung bisa disave dan dibawa kemanapun, dibaca kapanpun tanpa terasa memberatkan.

Sama seperti bahwa dunia ini selalu dipergantikan, semua masanya. Ada masa ketika kaset ditinggalkan karena CD ditemukan, lalu ada masanya kaset, CD dan berbagai teknologi film yang  ditemukan ditinggalkan karena penemuan internet.Toko-toko kaset dan CD yang pernah berjaya ditinggalkan orang. Semua itu tinggal kenangan. Kita bisa saja merasa melankolis mengingat semua kejayaan masa-masa itu. Namun harus terus bergerak ke depan menyesuaikan diri dengan perkembangan jaman. Jika buku-buku cetak mulai ditinggalkan, maka toko buku bisa beralih berjualan E book.

Kalaupun ingin tetap bertahan, maka toko buku harus berbenah, membuat format toko yang berbeda dan lebih dekat dengan kebiasaan generasi milenial. Mungkin bisa dicoba membuat toko buku yang disatukan dengan coworking space dan kafe. Dimana ditoko itu disediakan meja-meja untuk bekerja dan belajar dengan nyaman, dengan banyak colokan listrik untuk lapto, free wifi yang kencang. Menyediakan berbagai makanan dan minuman yang disukai generasi Z, menjual berbagai E book yang bisa didownload langsung di tempat, selain ruang toko yang nyaman, disana juga bisa diatur rak-rak buku cetak yang bagus dan instagramable. Buku-buku yang dipilih lebih baik buku-buku tertentu. Misal toko buku novel. Yang dijual khusus novel2 fiksi maupun sejarah.  Toko buku psikologi, khusus menjual buku-buku literatur  psikologi dstnya. Dengan begitu tidak memerlukan space yang terlalu luas seperti jika menjual berbagai macam jenis buku.  

Entah apakah dengan mengubah format toko buku menjadi semacam ini akan meningkatkan penjualan dan bisa bertahan atau tidak, namun nampaknya layak dicoba jika ingin generasi Z tidak kehilangan buku-buku cetak dan segala kelebihannya dibanding membaca E book. Karena membaca E book dengan jumlah halaman yang banyak akan banyak menimbulkan masalah pada mata, dibanding dengan membaca buku cetak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun