Pandemi covid yang berlangsung kurang lebih 2 tahun, telah menutup semua pintu sekolah. Anak-anak yang tadinya tiap pagi berangkat ke sekolah, belajar dan bermain, bersosialisasi dengan teman-temannya, selama dua tahun, hanya terkurung di rumah, tanpa kegiatan yang yang cukup untuk mendukung perkembangan kedewasaan mereka. Sedemikian parahnya kondisi ini, sehingga sampai keluar istilah kaum rebahan.
Sekolah Anak Usia Dini pun tak luput dari persoalan ini. Banyak sekolah anak usia dini yang tutup, orangtua takut menyekolahkan anaknya, sehingga anak -anak hanya dikurung di rumah.Â
Jika orangtua cukup kreatif dan punya waktu, mereka akan menciptakan kegiatan dan memfasilitasi anak- anak agar tetap belajar dan bermain di rumah, membiasakan pola hidup yang baik dan sehat, menstimulasi seluruh kebutuhan untuk perkembangan mereka.
Tapi jika orangtua sibuk dengan pekerjaannya, pulang larut malam, tak ada waktu untuk berinteraksi dengan anak, maka interaksi  anak -anak hanyalah dengan HP atau TV. Tak ada interaksi yang cukup significant antara orangtua dan anak. Dan apa yang terjadi setelah covid berlalu?Â
Ketika sekolah sekolah mulai dibuka, ternyata terjadi ledakan anak- anak dengan kasus speech delay. 20 anak Indonesia mengalami speech delay setelah pandemi covid berlalu. (sumber : https://lifestyle.bisnis.com/read/20220520/106/1535165/darurat-speech-delay-20-persen-anak-ri-alami-terlambat-bicara)
Sekolah kami setelah pandemi berlalu, menerima anak dengan kondisi speech delay 3 orang, sebenarnya masih banyak lagi yang mau mendaftar, namun karena usia sudah lebih dari 7 tahun, kami tak bisa menerimanya.Â
Bayangkan, ada yang sudah berusia 8 tahun belum mampu bicara dan berkomunikasi. Murid yang kami terima berusia mulai 2 tahun dan belum bisa bicara sama sekali.Â
Selain speech delay, juga tidak bereaksi ketika dipanggil, sehingga sering keliru dikira autis. Anak - anak dengan gangguan emosi juga banyak. Anak- anak yang lahir di era covid, yang menghabiskan tahun tahun pertama kehidupannya di rumah saja, dalam pelukan ibunya, tanpa interaksi dengan orang lain, juga memiliki kencenderungan masalah emosi.Â
Anak- anak ini biasanya mudah ngamuk, lebih egois, mudah memukul, dan belum mengerti arti hak milik. Jadi dia mengambil barang apapun, milik siapapun (terutama makanan dan mainan) jika dilarang dia akan mengamuk dan memukul.
Bagi anak yang lebih besar, usia TK, mengajak  mereka untuk kembali bersekolah juga bukan perkara yang mudah. Selama 2 tahun mereka hanya di rumah, bangun tidur sesuka hati, kegiatannya hanya menonton tv, main hp, lalu tetiba covid berlalu, mereka dipaksa bangun pagi, mandi dan berangkat sekolah, Mereka harus siap dengan perubahan pola hidup yang baru. Bangun lebih pagi, berangkat sekolah, tak bisa tidur dan bermain  sesuka hati.Untuk mengembalikan anak anak agar kembali bersemangat sekolah, bersemangat menerima hal hal baru, ilmu ilmu baru, juga bukan hal yang mudah.Â
Diperlukan pemahaman yang cukup besar terhadap permasalahan yang dihadapi anak anak, kebutuhan mereka, dan apa yang akan membuat mereka kembali bersemangat belajar, dan bermain di sekolah.Â
Kesabaran, empathy dan kreatifitas dalam membuat rancangan pembelajaran menjadi kunci bagi sukses atau tidaknya membangun semangat belajar anak anak, kembali menyukai sekolah dengan segala dinamikanya dan mengubah pola hidup yang sudah terlanjur sesuka hati, menjadi lebih tertata.
Di masa masa transisi yang penuh tantangan bagi sekolah, guru, orangtua dan murid sendiri, maka gagasan kemdikbud  dengan kurikulum merdeka dan merdeka belajarnya sungguh merupakan ide yang sangat luar biasa.Â
Kami para guru paud, jadi merasa lebih leluasa mengembangkan kurikulum sesuai kebutuhan anak didik lembaga, tanpa harus dikejar untuk memenuhi target tema tema atau apapun yang sebelumnya dicantumkan di dalam kurikulum 13.Â
Karena tantangan awal sekolah adalah menciptakan suasana belajar melalui bermain yang  menyenangkan bagi anak anak. Mengembalikan kecintaan mereka pada sekolah, menata ulang pola hidup, rutinitas, semangat belajar  dan kemandirian mereka.
Terbukti bahwa dengan keleluasan sekolah untuk membuat sendiri rancangan dan system pembelajaran, masalah -masalah yang muncul di masa transisi bisa diatasi dengan baik.Â
Anak anak yang tadinya mengalami speech delay, tidak merespon ketika dipanggil, kesulitan mengendalikan emosi, dalam beberapa bulan mengalami kemajuan yang pesat.Â
Di kelas TK, anak- anak mampu mendisiplin diri dan melakukan rutinitas pagi, bahkan ketika gurunya belum hadir di kelas untuk memimpin karena satu dan lain hal. Kehidupan sekolah menjadi sangat menyenangkan, anak- anak makin mandiri dan makin pandai mengendalikan emosi mereka.
Sekolah telah menjadi tempat yang menyenangkan, seperti rumah kedua bagi mereka, sehingga bahkan, ketika saat pulang tiba, banyak yang enggan pulang dan masih ingin tetap di sekolah.Â
Itulah awal keberhasilan sekolah dalam mendidik dan mengajar anak anak menjadi anak yang pintar, mandiri, sehat mental dan spiritual, memiliki ketangguhan dan kreatifitas dalam menghadapi setiap tantangan dalam hidupnya. Memberikan fondasi yang kuat, untuk memasuki tahap selanjutnya dalam hidup mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H