kadang malam-malam luruh air mataku melihat penderitaan Bapak. Malam ketika aku harus bolak balik ke tempat tidur bapak untuk mengganti posisi tidurnya. Malam ketika lantunan lirih dzikirnya mengantar tidur tak lelapku. Malam ketika waktu seolah membeku bagi bapakku. Tak tahu bedanya pagi dan malam. Tapi sungguh, luruhnya airmata ini bukan karena menyesali atau sedih melihat penderitaan Bapakku. Tapi terharu dan bahagia bahwa di tengah cobaan hebat ini, bapak begitu tabah dan tawakal. Bapak tetap pahlawanku, bahkan dalam kondisi tak berdaya seperti itu. Tapi bukankah yang tak berdaya hanya fisiknya? Hatinya, jiwanya begitu berdaya, tabah, sabar dan tawakal. menjalani semuanya.
Bapak, malam ini aku ingin menuliskan betapa bangganya aku memilki bapak sepertimu. Kalau dulu suara mesin ketikmu menemani tidurku, maka sekarang lantunan dzikirmu lah yang menemani tidurku. Bapak, aku tahu bahwa Allah sungguh menyayangimu, sehingga diijinkanNya engkau membayar semua dosa dan kesalahanmu di masa lalu, agar impas di dunia ini. agar kelah ketika saatnya engkau kembali padaNya, engkau kembali dalam keadaan suci dan khusnul khotimah. Surga untukmu Bapak....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H