Mohon tunggu...
Wijdan Daurut Tazakka
Wijdan Daurut Tazakka Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung

Padamu aku mengabdi dan kepadamu aku berserah diri

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Menakar Ulang Besaran Ambang Batas Parlemen yang Konseptual di Indonesia

14 Desember 2024   01:46 Diperbarui: 14 Desember 2024   01:46 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Konsep partai dalam sejarahnya berawal pada abad ke-19 digunakan pada sisten politik yang kompetitif, partai ditujukan untuk kelompok-kelompok yang mengikuti kontestasi politik di suatu negara. Seiring berkembangnya basis keilmuan, partai dimaknai secara lebih rinci sebagai alternatif penyambung antara pemerintah dan masyarakat. Konsep partai menghasilkan sistem kepartaian yang merupakan partai politik sebagai produk pemilu. Artinya, sistem kepartaian adalah sistem dimana partai politik yang ada di parlemen. Dalam sistem kepartaian terdapat tipologi yang perlu diketahui, Giovanni Satori membagikan 4 pengelompokan sistem kepartaian, yaitu:

  • Sistem partai tunggal, dapat diartikan bahwa partai yang mendominasi (relevan) kursi di parlemen terdapat satu partai;
  • Sistem dwi partai, dalam sistem ini partai politik hanya 2 partai yang mendominasi (relevan) kursi di parlemen;
  • Sistem pluralisme moderat, terdapat 3-5 partai yang mendominasi (relevan) kursi di parlemen;
  • Sistem pluralisme ekstrim, terdapat lebih dari 5 partai dalam suatu parlemen yang mendominasi (relevan) kursi.

Jika menilik teori dari Satori tersebut di Indonesia tergolong kepada sistem pluralism ekstrim, terdapat lebih dari 5 partai dominasi (relevan) kursi di parlemen, dengan kondisi tersebut beberapa ahli hukum dan pemerintah mengkaji mengenai sistem kepartaian yang akan berpengaruh terhadap stabilitas politik dan stabilitas pemerintahan di Indonesia. Selanjutnya, pemerintah mengakui dengan sistem yang pluralism ekstrim perlu untuk disederhanakan. Dibuktikan dengan penerapan electoral threshold dan juga parliamentary threshold dalam dinamikannya, kedua tersebut memiliki makna yang sama untuk threshold sebagai ambang batas parlemen yang harus ditempuh oleh partai politik dalam perolehan kursi.

Electoral threshold awal mula digunakan di Indonesia pada tahun 1999, ketentuan electoral threshold dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 3 tahun 1999 Pasal 39 Ayat (3) "Untuk dapat mengikuti Pemilihan Umum berikutnya, Partai Politik harus memiliki sebanyak 2% dari jumlah kursi DPR atau memiliki sekurang-kurangnya 3% jumlah kursi DPRD I atau DPRD II yang tersebut sekurang-kurangnya di 1/2 (setengah) jumlah propinsi dan di 1/2 (setengah) jumlah kabupaten/kota seluruh Indonesia berdasarkan hasil Pemilihan Umum".

Kemudian mengalami perubahan regulasi mengenai threshold di Indonesia yang awalnya menggunakan konsep electoral bergeser menjadi parliamentary threshold yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 Pasal 202 Ayat (1), dengan mencantumkan ketentuan minimal 2,5 % suara nasional bagi partai politik yang hendak menduduki kuota kursi di parlemen dengan catatan tidak untuk DPRD Provinsi dan DPRD Kota/Kabupaten. Karena dirasa belum cukup untuk menyederhakan sistem kepartaian di parlemen, maka ambang batas tersebut ditambah persentasennya menjadi 3,5 % perolehan suara nasional partai politik dengan dasar hukumnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 Pasal 208 Ayat (1). Serta, mengalami perubahan lagi dengan menentukan sekurang-kurangnya 4% suara nasional pada tahun 2017 sampai sekarang dimaktubkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Pasal 414 Ayat (1). Jelas sudah perjalanan ambang batas di parlemen mulai dari penerapan electoral threshold sampai parliamentary threshold.

Perubahan Ambang Batas Parlemen Dari Pemilu Tahun 1999 Sampai Pemilu 2024

Indonesia memakai konsep check and balances dengan membagi tiga Lembaga negara menjadi: eksekutif, legislatif, yudikatif. Yang menjadi pusat perhatian publik adalah eksekutif dan legislative, karena di Indonesia sendiri kedua lembaga tersebut merupakan dual legitimacy yang sering terbawa arus oleh kehendak masyarakat. Artinya, posisi partai politik yang notabenenya adalah hasil dari bentuk kebebasan berserikat masyarakat menggunakannya sebagai kendaraan untuk melimpahkan kehendaknya. Dari proses representatif suara/kehendak rakyat kepada partai politik akan berpengaruh signifikan bagi lembaga eksekutif (presiden) dan legislative (DPR).

Hal yang seperti itu harus kita coba ditilik lebih jauh, posisi DPR dan Presiden mempunyai kedudukan yang berbeda akan riskan adanya kesewenang-wenangan dari kedua lembaga itu. Bisa dilihat, pasca reformasi kondisi DPR memiliki kekuatan yang sangat besar sehingga mampu mengontrol presiden sekaligus pemerintahan agar berjalan sesuai dengan hasrat politik DPR. Semua itu, didasari oleh sistem multi partai ekstrim yang membentuk banyaknya fragmentasi koalisi di parlemen.

Menurut Satori, sistem multi partai ekstrim bisa dicirikan dengan adanya 5 partai yang mendominasi suara (relevan) di parlemen, dan berdampak terhadap stabilitas politik di parlemen serta berujung terhadap stabilitas pemerintahan dalam negara yang menganut check and balances. Untuk menangani sistem multi partai ekstrim pemerintah menetapkan regulasi yang dikenal dengan electoral threshold, Undang-Undang No. 3 Tahun 1999 bahwa partai politik bisa mendapati alokasi kursi apabila memenuhi syarat sekurang-kurangnya mendapatkan 2% dari jumlah kursi DPR, atau sekurang-kurangnya 3% dari jumlah DPRD I atau DPRD II yang sekurang-kurangnya tersebar di setengah jumlah provinsi dan setengah jumlah kabupaten atau kota.

Apabila partai politik yang tidak lolos, maka tidak bisa ikut kontestasi pemilu selanjutnya kecuali mengubah nama partai politik. Hasil dari kebijakan tersebut, terindikasikan hanya 6 partai yang masuk ke tahap alokasi kursi di parlemen, yaitu: PDIP (31,12%), Golkar (25,97%), PPP (12,55%), PKB (11,03%), PAN (7,36%) dan PBB (2,81%).  keenam partai ini, berhak juga secara otomatis lolos electoral threshold untuk menjadi peserta pemilu 2004. Namun, bagi partai politik yang tidak lolos electoral threshold sebelumnya dalam Undang-Undang No 12 Tahun 2003 pasal 142 dapat mengikuti kontestasi pemilu 2004 dengan syarat:

  • Merapat kepada partai politik yang lolos pada pemilu 1999:
  • Bergabung dengan partai politik yang tidak lolos pemilu 1999, dengan ketentuan menggunakan nama dan logo salah satu partai politk:
  • Bergabung dengan partai politik yang tidak lolos pemilu 1999, dengan ketentuan menggunakan logo dan nama baru partai politik.

Pemilu tahun 2004 terdapat 24 partai politik yang menjadi peserta pemilu, namun yang lolos ketentuan electoral threshold hanya 7 partai politik, yaitu: Partai Golkar (23,09%), PDI-P (19,82%), PPP (10,55%), Partai Demokrat (10,18%), PAN (9,64), PKB (9,45%), dan PKS (8,18). Pasca keberlakuan electoral threshold pemerintah menganggap masih kurang efektif untuk dijadikan mekanisme penyederhanaan partai politik karena bertentangan dengan konstitusi Indonesia. 

Akhirnya, ketentuan Parliamentary Thereshold mulai diperkenalkan dan digunakan dalam pemilu tahun 2009. Secara nilai, parliamentary threshold dan electoral threshold memiliki kesamaan yang mirip sebagai persyaratan bagi partai politik untuk menjadi peserta pemilu dan mendapatkan alokasi kursi di parlemen. Perbedaanya parliamentary threshold memberikan kebebasan yang tidak diskriminatif kepada semua partai politik untuk ikut menjadi peserta pemilu tanpa ada batasan suara di pemilu sebelumnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun