Pertama kalinya parliamentary threshold dimaktubkan dalam Undang-Undang No 10 Tahun 2008 pasal 202 bahwa partai politik yang mengikuti kontestasi pemilu harus melampaui sekurang-kurangnya 2,5% suara nasional untuk lolos ke tahap alokasi kursi di parlemen. Namun, angka tersebut mengalami kontroversi di lingkup beberapa partai politik yang tidak sepakat atas batas 2,5% tersebut, sehingga terjadi pengujian Undang-Undang a quo oleh beberapa partai tersebut, yaitu: PDI-P, Partai Patriot (PP), Partai Persatuan Daerah (PPD), Partai Peduli Rakyat Nasional (PPPN), Partai Indonesia Sejahtera (PIS), Partai Nasional Banteng Kerakyatan (PNBK), Partai Perjuangan Indonesia Baru (PPIB), Partai Karya Perjuangan (PKP), Partai Hati Nurani Rakyat (HANURA), Partai Kasih Demokrasi Indonesia (PKDI) dan Partai Merdeka (PM).
Namun, pengujian Undang-Undang a quo terdapat kecacatan legal standing karena ada penguji yang tidak memberikan bukti kartu keanggotaan partai politiknya. Selanjutnya, pendapat mahkamah dalam simpulannya bahwa ketentuan Parliamentary Threshold merupakan open legal policy. Dari beberapa partai yang mengajukan review kepada Mahkamah Konstitusi, kebijakan parliamentary threshold tetap konstitusional. Pada pemilu tahun 2009, 9 partai politik yang lolos ambang batas parlemen, yaitu: Partai Demokrat (20,85%), Partai Golkar (14,45%), PDIP (14,03%), PKS (7,88%), PAN (6,01%), PPP (5,32%), PKB (4,94%), Partai Gerindra (4,46%) dan Paartai Hanura (3,77%).
Ketika pemilu selanjutnya tahun 2014 Parliamentary Threshold mengalami kenaikan persentase menjadi 3,5%, ditandakan dengan adanya Undang-Undang No 8 Tahun 2012 pasal 208. Disamping kenaikan tersebut, Parliamentary Threshold dipergunakan untuk tingkatan DPRD I dan DPRD II. Ketentuan itu dilandaskan kepada hasil pengujian UU sebelumnya ke MK pada tahun 2012. Pemilu 2014 menghasilkan 10 partai politik yang lolos ketentuan ambang batas parlemen: NasDem (6,7%), PKB (9,04%), 3. PKS (6,7%), PDIP (18,95%), Golkar (14,75%) Gerindra (11,81%), Demokrat (10,19%), PAN (7,59%), PPP (6,53%), Hanura (5,26%).Â
Pada periode pemilu selanjutnya, regulasi Parliamentary Threshold terus mengalami kenaikan. Persentasenya mencapai 4%, angka tersebut merupakan hasil kesepakatan partai politik dengan bertujuan mencapai jalan tengah antara partai politik besar dan partai politik kecil. Dituangkan dalam Undang-Undang No 7 Tahun 2014, pada kontestasi pemilu tahun 2019 terdapat 9 partai politik yang mampu memenuhi ketentuan 4%, yakni: PDIP (19,33 persen), Golkar (12,31 persen), Gerindra (12,57 persen), PKB (9,69 persen), Nasdem (9,05 persen), PKS (8,21persen), Partai Demokrat (7,77 persen), PAN (6,84 persen) dan PPP (4,52 persen).Â
Lebih lanjut pada pemilu 2024 yang menggunakan ketentuan Parliamentary Threshold sama dengan yang digunakan pemilu 2019 yaitu 4%, terdapat 9 partai politik yang cukup untuk mendapatkan alokasi kursi: PDIP (16,72%), Golkar (15,29%), Gerindra (13,22%), PKB (10,62%), Nasdem (9,66%), PKS (8,42%), Demokrat (7,43%), PAN (7,24%). Dari tahun ke tahun pemilu di Indonesia mengalami pasang surut ambang batas parlemen, hal itu terjadi karena tidak ada kejelasan landasan teoritis yang digunakan guna penetapan angka besaran Parliamentary Thereshold. Hanya landasan kesepakatan politik antara partai politik dengan partai politik lainnya, konsekuensi dari proses itu akan menghadirkan ketidakpastian hukum bagi partai politik.
Ambang Batas Parlemen yang Ideal di Indonesia
Jika menakar dengan teori Effective Number of Parliamentary Parties (ENPP) yang dikenalkan oleh Laakso dan Taagepera, yang bertujuan untuk mengukur tipologi sistem kepartaian di suatu negara. Dengan rumus:
Dari pemaparan persentase partai politik pemilu 1999 sampai 2024 di atas, maka banyak partai politik yang berada di dalam parlemen bukan menjadi ukuran utama. Karena, jika menggunakan indeks ENPP pada pemilu 1999 yang notabenenya parlemen diisi oleh 21 partai politik diantaranya 6 partai politik yang lolos Electoral Threshold ternyata hasil perhitungan dari ENPP indeksnya adalah 4,7 sehingga bisa dikatakan parlemen mempunyai sistem multi partai sederhana. Berbeda dengan pemilu tahun 2004 yang diisi oleh 17 partai politik di parlemen diantaranya 7 partai politik yang lolos Electoral threshold jika diukur dengan ENPP, maka indeksnya adalah 7,1 atau bisa dikatakan parlemen memakai sistem multi partai ekstrim.
Juga, sama dengan pemilu 2009 partai politik yang ada di parlemen berjumlah 9 partai, namun jika diukur atas persentase dari perolehan kursi dari setiap partai politik menggunakan rumus ENPP indeksnya adalah 6,2. Dengan kata lain bisa disebut sistem multi partai ekstrim. Jumlah banyaknya partai politik yang berada di parlemen bukan menjadi ukuran utama, tetapi partai politik yang relevan di parlemen adalah ukuran utama dalam penentuan sistem kepartaian di Indonesia.
Pemilu tahun 2014 kursi di parlemen diisi oleh 10 partai politik yang memenuhi syarat ambang batas parlemen, dan indeks ENPP nya adalah 8,2. Selanjutnya pada pemilu 2019 alokasi kursi parlemen diisi oleh 9 partai politik yang indeks ENPPnya adalah 7,5. Dan pada pemilu yang terakhir 2024, 8 partai politik mampu menembus minimal ambang batas parlemen dengan indeks ENPP 6,25. Dari runtutan perjalanan ambang batas parlemen, apabila indeks ENPP di atas 5 menurut Taagepera tergolong tipologi sistem multi partai ekstrim. Di Indonesia hanya tahun 1999 yang memiliki indeks ENPP di bawah 5 yang tergolong sederhana, sehingga berpengaruh terhadap kinerja DPR dalam tugasnya terkhusus pembuatan Undang-Undang.