Saya awali artikel ini dengan beberapa pertanyaan :
1. Apakah manusia itu dalam setiap aktivitasnya digerakkan atau bergerak atas inisiatif sendiri?
2. Kalau digerakkan, siapa yang menggerakkan ?
3. Kalau bergerak atas inisiatif sendiri, lalu bagaimana dengan manusia yang sudah mati (mayat), koq nggak bisa bergerak?
4. Ada pula manusia yang masih hidup, tapi tidak bisa bergerak, karena menderita sakit, lumpuh, atau stroke.
Itulah sederetan pertanyaan yang sering muncul dalam pikiran saya sejak bersekolah di Sekolah Dasar pada tahun 70-an.
Sekarang mari kita kaji proses penciptaan manusia oleh Sang Maha Pencipta. Diawali dengan bertemunya sel sperma dan ovum, lalu menjadi zigot, embrio dan seterusnya, sehingga dalam waktu 9 bulan sepuluh hari, maka lahirlah manusia baru yang disebut dengan bayi.
Apakah bayi itu bisa langsung bisa bicara, bergerak, atau makan dan minum? O, tidak! Biasanya bayi hanya bisa menangis. Haus menangis. Lapar menangis. Kepanasan menangis. Kedinginan menangis. Sakit menangis. Ya, saat itu bahasa sibayi hanya menangis, menangis dan menangis.
Selanjutnya perlahan tapi pasti, sibayi mulai bisa tengkurap, merangkak dan akhirnya setelah berusia setahun lebih bisa berjalan. Lalu secara berangsur-angsur, atas bimbingan sang ibu, maka sibayi mulai bisa berbicara. Dari sepata dua patah kata, satu kalimat dua kalimat, sampai bicara lancar ceplas-ceplos.
Lalu dari tidak tahu apa-apa, sang bayi mulai bisa mengenal benda-benda di sekelilingnya dan diajarkan nama-nama benda itu oleh sang bunda. Kemudian menjelang umur 3 tahun sibayi mulai belajar berhitung, membaca, bahkan menulis.
Nah, dari uraian singkat di atas jelas bahwa semua manusia ini ada Yang Menciptakan, ada Yang Menghidupkan, ada Yang Membesarkan dan pada akhirnya ada Yang Mematikan.
Kembali kepada topik. Lantas apakah dalam setiap aktivitas manusia itu selalu digerakkan oleh Sang Dalang, atau Sang Maha Kuasa? Inilah pertanyaan yang sangat mendasar, sehingga menimbulkan setidaknya 3 aliran pemikiran : 1)manusia digerakkan oleh Sang Maha Kuasa; 2)manusia punya kekuasaan dalam beraktivitas dan 3)kombinasi antara aliran 1 dan 2.
Dalam terminologi sehari-hari kita mengenal kata "takdir". Takdir dapat dimaknai sebagai "hukum sebab-akibat", artinya setiap aksi akan ada reaksi terhadap aksi tersebut. Misalnya sifat api adalah membakar. Apa saja yang dibakar? Bisa minyak, kayu, kertas, dll. Nah, apabila benda-benda itu kena api, maka ia akan terbakar. Siapa yang mengenakan benda itu kepada api? Bisa manusia, bisa pula hewan. Dengan catatan manusia dan hewan itu masih hidup dan tidak dalam keadaan sakit berat, atau stroke. Hehehe.
Singkat kata, maka sebenarnya kita manusia ini diberi nyawa, oleh Sang Maha Hidup, sehingga kita dapat melakukan aktivitas sehari-hari. Dan pada saatnya nyawa itu akan dicabut atau diambil kembali oleh Sang Maha Hidup, sehingga kita jadi mayat yang tak bisa berbuat apa-apa.
Aktivitas kita sehari-hari adalah inisiatif kita. Segala konsekuensinya tentu kita juga yang menanggung. "Main api hangus, main air basah", itlah peribahsa ringkas yang menggambarkan adanya hukum sebab-akibat di dunia ini.
"Kekuasaan" manusia ini besifat terbatas. Tidak semua keinginan manusia dapat terwujud, walau kita sudah berusaha maksimal. Nah, pada titik inilah kita sadar bahwa ada peranan Sang Maha Kuasa. Kita manusia hanya bisa berusaha, berdo'a, dan selebihnya kita tawakkal kepada-Nya.
Sekian dan terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H