Yang bener? aku coba mempertanyakan pendapatnya. Nonton berita tu pentolan Golkar, Setya Novanto? tanyanya. Kadang-kadang aja, gak menarik, jawabku. Ada tivi yang belain setengah mati, padahal kan dia memang salah. Ketua DPR ikut-ikut ngurusin freeport, apa urusannya? Ngaco tu orang.
Aku mencoba mencari tahu lebih dalam tentang supir ini. Dia lahir di Pantura, tamat SMP, lama jadi supir bus dan truk sebelum jadi supir taksi. Pernah jadi supir mobil boks milik sebuah koran terkenal di ibu kota, tugasnya mengantarkan koran tersebut ke daerah Jakarta Barat.Â
Saat itulah sampai kini ia sangat rajin membaca koran. Ia tampak sangat kesal dengan televisi yang habis-habisan membela Setya Novanto. Dengan ketus dia bilang, kenapa tu tivi gak pernah serius memberitakan kasus lumpur Lapindo yang membuat ribuan rakyat menderita. Apa karena punyanya si Bakrie ya?
Apa yang dikatakan supir taksi itu hanyalah pendapat satu orang warga negara yang resah akan dampak buruk televisi terhadap anaknya. Juga kekesalannya bahwa televisi tidak memberikan sesuatu yang positif dan berguna bagi dirinya. Tentu saja pendapatnya ada benarnya, bisa benar, juga bisa salah. Belum tentu dia memiliki waktu untuk mengikuti acara televisi yang begitu banyak dan beragam.
Namun, kekhawatirannya tentang pengaruh buruk televisi terhadap perkembangan anak agaknya tidaklah berlebihan. Kerisauan si supir taksi boleh jadi merupakan kerisauan banyak orang tua.
Televisi di negeri ini semakin banyak. Daya hidupnya sangat tergantung pada iklan. Akibatnya televisi dikelola dengan model kapitalis yang mengedepankan untung. Dalam konteks televisi itu berarti pentingnya rating atau peringkat yang menunjukkan popularitas sebuah acara. Acara yang populer dengan penonton terbanyak pastilah ditempatkan pada jam tayang utama.
Tampaknya bagi para pengelola tidak penting benar apakah acara tersebut berisi pelajaran seperti yang diharapkan supir taksi. Orientasi utamanya bukan isi yang bermutu dan mencerahkan, tetapi laku dan bisa mendatangkan banyak iklan.
Para pengelola memang lebih mengutamakan jualan, dan laku. Itulah sebabnya saat bulan Ramadhan yang paling banyak dijual adalah acara-acara yang terkait dengan Islam. Tentu saja sudah dibungkus dan dibumbui dengan pendekatan hiburan dan gaya populer. Kita tidak tahu apa yang ditangkap pemirsa. Substansi ajaran agama atau asesori hiburannya. Makin menarik karena banyak kuis berhadiah dalam acara tersebut.
Kesan terkuat, bagi saya, adalah upaya menjadikan agama sebagai komoditi yang laku dijual. Ada ustaz yang berdoa sembari nangis-nangis. Rasanya lebih baik berdoa sendiri saat sholat malam dan menangis karena penghayatan mendalam. Berdoa sembari menangis di depan kamera jadi terlihat kayak sinetron.
Ada pula ustaz yang sangat tertarik membahas bagaimana menjadi kaya dan sukses dengan cara mengamalkan membaca ayat-ayat atau melaksanakan ibadah tertentu. Lucu rasanya menyaksikan ayat-ayat Al Quran yang sangat mulia disederhanakan menjadi semacam mantra dalam ajaran-ajaran agama kuno.
Tidak kalah mengherankan adalah niat beribadah agar kaya dan sukses. Rasanya beribadah merupakan wahana untuk menunjukkan bahwa manusia adalah hamba Allah. Bukan sebuah cara untuk bertransaksi dengan Allah dalam konteks mau sukses dan menjadi kaya. Sungguh, agama telah dijadikan sekadar komoditi.