Menjaga kesehatan merupakan akhlak mulia. Jadi akhlak itu tidak hanya berkaitan dengan hubungan kita dengan orang lain saja tetapi juga berkaitan dengan perlakuan terhadap tubuh kita sendiri. Tubuh kita ini merupakan karunia Allah yang harus disyukuri. Caranya adalah dengan memelihara kesehatan secara baik sesuai dengan kemampuan kita masing-masing.
Pandemi seharusnya menjadi kesempatan kita untuk semakin rajin beribadah. Mungkin selama ini kita kurang memperhatikan terhadap Allah. Mungkin jika kita terlalu asyik dengan kehidupan kita masing-masing dan kurang memberikan porsi yang memadai terhadap ajaran agama. Kini saatnya bagi kita untuk semakin meningkatkan ibadah kita.
Selain ikhtiar fisik-material, kita harus memaksimalkan ikhtiar spiritual. Apa yang terjadi di dunia ini sesungguhnya merupakan hasil dari interaksi bekerjanya sunnatullah baik di alam fisik maupun sunnatullah di alam ruhani. Bila ada perubahan di alam ruhani, maka apa yang terjadi di alam fisik juga berubah. Menurut Bagir (2020), yang menggerakkan alam ruhani itu ada beberapa.Â
Pertama, doa. Fungsi doa itu sangat penting bagi manusia. Alexis Carrel, seorang penerima nobel dalam bidang bedah menyatakan bahwa doa itu sangat besar perannya dalam kehidupan. Manusia yang meninggalkan doa akan bisa terpuruk kehidupannya. Dalam kerangka kondisi sekarang ini, berdoa adalah upaya kita memperbesar pengharapan kepada Allah agar kita bisa menjalani kehidupan dengan baik di tengah dinamika yang semakin kompleks.
Kedua, sedekah. Dijelaskan dalam hadis bahwa sedekah memberikan banyak manfaat kepada pelakunya, di antaranya sebagai penolak bala' dan mengubah takdir. Karena itulah sedekah penting dilakukan sesuai dengan kemampuan kita masing-masing.
Ketiga, amal silaturrahim, yaitu berhubungan dengan makhluk Allah yang lain berdasarkan kasih sayang.
Paparan di atas sengaja saya tulis setelah hari Senin dini hari---7 Desember 2020---saya menerima naskah buku yang ditulis oleh Bapak Wijaya Kusumah, M.Pd. Buku dengan judul Awas Virus Corona Mengintai Anda ini segera saya baca di sela-sela aktivitas harian yang lumayan padat. Saya memang terbiasa melakukan aktivitas membaca dan menulis secara "ngemil". Saya melakukannya sedikit demi sedikit. Saat ada kesempatan, buku Omjay---panggilan akrab Wijaya Kusumah---saya baca. Mungkin hanya satu judul. Bukan persoalan sedikit atau banyaknya tetapi soal konsistensi untuk melakukannya.
Kata pengantar ini saya tulis juga secara "ngemil". Di beberapa kali duduk saya menuliskannya. Satu kali duduk saya menulis dua sampai tiga paragraf karena harus segera bergeser ke kegiatan selanjutnya. Maklum, hari senin tanggal 7 Desember 2020 agenda saya cukup padat. Pagi saya mengisi review Book Chapter yang diadakan oleh Pascasarjana IAIN Curup, lalu mengajar secara daring dua kelas untuk matakuliah "Pemikiran dan Peradaban Islam", ada juga jadwal menguji skripsi, dan rapat dengan Rektor IAIN Tulungagung.
Saya menemukan satu hal menarik dari buku Omjay ini, yaitu kreativitas. Ya, Omjay adalah seorang guru yang kreatif. Ada saja ide dan gagasannya. Saya kira satu hal yang menjadi pembeda dari Omjay adalah menulis. Apa saja beliau tulis. Bahasanya enak, mengalir, dan renyah. Saya cukup menikmati bagian demi bagian dari buku ini.
Buku ini adalah aktualisasi dari kreativitas Omjay. Kesibukannya yang padat merayap tidak mengurangi aktivitasnya dalam menulis. Saat beliau dinyatakan positif Corona, Omjay tetap menulis. Pengalaman demi pengalaman sebelum dan saat harus menghadapi virus Corona justru menjadi energi bagi beliau untuk terus menulis.
Buku ini penting artinya sebagai dokumen atas perjalanan hidup Omjay. Juga penting artinya bagi pembaca sekalian untuk menggali hikmah dan ilmu dari pengalaman Omjay. Sungguh, jika kita mau menulis maka kita bisa mendapatkan banyak pelajaran dalam kehidupan ini. Omjay sudah membuktikannya. Sepanjang mampu beliau akan selalu menulis dan menulis.