Mengembalikan Magnet yang Hilang di PGRI.
Saya tersenyum sendiri membaca komentar sahabat saya mas Dimasmul Pgri di WA Group New PGRI..
"Program saatnya berorientasi kekinian. Tugas kita mengembalikan magnet yang hilang", Â katanya.
Apa yang beliau sampaikan benar adanya. Â Banyak kawan kawan guru yang masih belum percaya dengan PGRI. Padahal PGRI- lah yang selama ini fokus memperjuangkan kesejahteraan guru.
Salah satu hasil perjuangan PGRI adalah diterimanya Tunjangan Profesi Guru atau TPG. Walaupun masih sering telat diterima oleh guru, Â kita harus bersyukur karena TPG membuat isi dompet guru penuh.
Saya dapat informasi dari sahabat saya Kang Dudung dari Sukabumi. Guru PNS di sana dapat TPG sekitar 36 juta per tahun. Sebuah jumlah yang sangat menggiurkan bagi kami guru-guru non PNS.
Anehnya, Â masih banyak guru yang kurang bersyukur. Selalu saja menjelek-jelekkan PGRI dan membanggakan organisasi profesi yang dipilihnya. Mereka kudet atau kurang update dengan apa yang sudah dilakukan PGRI saat ini.
Saya sering menulis tentang kegiatan PGRI dan bahkan foto-foto kegiatan PGRI di wa group PGRI ini dan saya bagikan di status facebook saya dan WA Group Lainnya.
Hasilnya adalah banyak yang memberikan apresiasi dan banyak juga yang mencibir kegiatan PGRI. Katanya kegiatan PGRI di daerahnya sepi dan organisasi guru lainnya yang justru lebih diminati. Padahal guru tersebut adalah guru PNS yang selalu membayar iuran PGRI. Katanya gajinya dipotong setiap bulan oleh PGRI, tapi belum merasakan kegiatan PGRI.
Bagi saya ini sebuah otokritik yang membuat kita harus menunjukkan kinerja lebih baik. Teruslah bergerak dan teruslah melayani para anggota PGRI dengan pelayanan terbaik. Kepemimpinan itu harus melayani.
Saya banyak belajar dari tulisan pak Sampun dan pak Dudung Nurullah Koswara. Sosial enterprenership memang harus dikampayekan untuk mengembalikan magnet yang hilang di PGRI.
Saya dan kawan kawan pengurus di Ikatan guru TIK PGRI mencoba mencari cara dengan menjalin hubungan dengan sponsor. Itulah salah satu cara kami agar kegiatan workshop Elearning dan penyusunan buku ajar dapat berjalan. Semua peserta senang dan panitia pun senang.
Mengembalikan magnet yang hilang di PGRI memang bukan perkara mudah. Kita harus menjadi pasir-pasir magnet yang menyatu dalam kebersamaan. Hal ini akan berhasil kalau kita satu komando di bawah pimpinan ketua umum pengurus besar PGRI. Seia sekata. Selangit sebumi, senasib sepenanggungan dalam menjalankan program kerja PGRI.
Tulisan kang Dudung yang berjudul PGRI waspadalah dapat menjadi otokritik yang membangun bahwa guru milenial akan memilih organisasi profesi yang sesuai dengan zamannya.
TIK memudahkan kita saling berkomunikasi dan memberikan informasi. Â Guru seharusnya diajak menjadi konten kreator. Saya sendiri mengajak guru blogger menjadi guru youtuber. Sebab eranya sudah ke arah visual dan sedikit demi sedikit akses internet di Indonesia semakin cepat.
Kita banyak membutuhkan konten-konten edukasi yang menginspirasi. Â Tak bisa lagi kita hanya bermental download atau unduh. Â Sudah saatnya kita beralih ke upload atau unggah. Oleh karena itu diperlukan pelatihan terus menerus berbasis online dan digital agar guru-guru milenial menjadi profesional.
Saya sendiri termasuk guru kolonial. Era saya internet belum ada. Dulu pacaran sama mantan pacar hanya lewat surat. Tidak seperti sekarang. Bisa langsung kirim wa atau video call via wa.
Era disrupsi membuat PGRI harus berubah. Â Dari organisasi kolonial menjadi profesional. Semua itu akan terjadi kalau sesama pengurus rukun dan berdamai dengan dirinya. Belajar sepanjang hayat adalah kunci keberhasilan sebuah pendidikan, khususnya pendidikan karakter yang harus terus dijaga oleh kita semua.
Salam Blogger persahabatan
Omjay
Guru Blogger Indonesia
Blog http://wijayalabs.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H