Meskipun panitia tak jua memberikan susunan acara. Saya senang-senang saja. Bagi saya tak mengapa. Mungkin panitia sudah memberikannya. MUngkin juga panitia membiasakan diri untuk mengurangi penggunaan kertas. Kata orang Go Green.
Malam hari hujan turun. Â Pak Haji Muchtar menjemput kami di rumah homestay nomor 15. Kami diajak makan malam di sekolahnya. Dingin merasuk kulit. Rasanya ingin berselimut dan lekas pergi ke kamar tidur. Tapi perut terasa lapar, makan malam adalah sebuah kebutuhan alami.
Sampailah kami di tempat acara. Tak saya sangka. Banyak guru penyanyi di sini. Â Hampir saja saya ikut menyanyi. Namun saya tak berani menampilkan diri. Sebab takut sound system besok tak berbunyi. Suara saya terlalu sumbang untuk menyumbangkan lagu malam itu.
Suara saya ini sumbang dan akan banyak pendengar pergi ke dokter Tehate. Telinga Hidung dan tenggorokan. Hahaha.
Saya nikmati lagu-lagu ini. Suara merdu guru-guru bernyanyi, melupakan sejenak kasedihan berpisah dengan anak dan istri.
Malam semakin larut. Tak ada juga panitia yang menjemput. Kami putuskan berjalan kaki saja. Â Badan sehat kaki kuat. Jalan menanjak kami lalui dengan senang hati dengan nafas sedikit ngos-ngosan hehehe.
Saya bersyukur jadi tahu lokasi desa wisata ini. Banyak tanaman dan bunga yang indah di sepanjang jalan. Â Saya menyebutnya sepanjang jalan kenangan. Mirip lagu yang baru saja dinyanyikan guru guru hebat di Sumatera Barat. SEPANJANG JALAN KENANGAN. KITA SELLAU BERGANDENG TANGAN.
Malam itu kami tertidur pulas. Sangat pulas. Saya berada di surga yang dirindukan. Penduduknya ramah dan udara dingin seperti di Lembang Bandung. Suara jangkrik dan binatang malam meramaikan suasana malam.
Nasi goreng lezat sudah menunggu di pagi hari. Â Sambil makan saya belajar bahasa minang dengan ketiga anak pak Toni. Pinter sekali mereka. Kecil kecil sudah pandai bahasa minang. Â Hehehe.