Omjay ingin mengenang masa lalu. Ketika Uji Kompetensi Guru (UKG) telah dilaksanakan dari tanggal 7 sampai 30 November 2015. Sudah terlaksana beberapa tahun lalu. Namun auranya sangat terasa hingga kini.
Demam UKG saat itu terasa di hampir semua sekolah. Semua guru sibuk mempersiapkan diri mengikuti UKG. Mereka takut nilai UKG mereka rendah dan tidak bisa naik pangkat.
Saat itu, Ada yang santai dan ada yang harap-harap cemas. Takut nilai UKG nya di bawah Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) dengan jumlah nilai 55.
Seorang guru saat itu membuat status di facebook miliknya:
"Kadang saya bingung berkaitan dengan UKG, apakah soal 100 dalam 120 menit itu bisa dipakai ukuran untuk melihat kualitas guru? Guru mampu mengerjakan semua soal itu apakah menjamin secara kenyataan di lapangan guru mampu mengajar dan mendidik siswa dengan baik? Nah, pandai di teori belum tentu mampu dalam prakteknya. Lalu bagaimana menurut anda?"
Buat Omjay sendiri guru itu harus bisa diuji secara teori dan praktik. Oleh karena itu guru harus senantiasa belajar sepanjang hayat. Guru tidak boleh berhenti belajar. Guru harus banyak membaca agar ilmu yang didapatkan terus bertambah.
Sekarang ada pemetaan uji kompetensi guru melalui asesmen nasional berbasis komputer. Semua guru diminta mengerjakan soal-soal anbk. Kalau ada guru yang nilainya rendah bukan berarti guru tersebut bodoh. Namun, guru belum sempat membaca dan berlatih soalnya.Â
Literasi dan numerasi harus dapat dipahami oleh guru sebagai sesuatu yang harus dikuasai dan diajarkan kepada semua peserta didiknya. Membaca itu penting untuk mendapatkan ilmu baru. Logika berpikir harus terus diasah dengan banyak berlatih soal-soal yang berhubungan dengan kegiatan sehari-hari.
Demikianlah kisah Omjay kali ini tentang uji kompetensi guru. Haruskah guru bercermin pada hasil uji kompetensi guru yang tidak kredibel? Kemdikbudristek harus membuat soal yang kredibel dan dapat terus dievaluasi sesuai dengan kurikulum merdeka.Â
Salam blogger persahabatan