Untunglah saya bertemu dengan para guru tangguh berhati cahaya. Di sekolah kami di doktrin untuk tidak tawuran. Kalau terpaksa harus tawuran karena diserang, kami lebih baik mengambil sikap mundur. Beberapa guru tampil untuk mencari solusi damai. Sekolah kami pun akhirnya damai dan tentram. Tak ada tawuran di sekolah kami selama saya bersekolah di sekolah itu. sampai saat inipun saya tak pernah mendengar ada tawuran di sekolah saya dulu yang kini menjadi SMKN 5 Jakarta.
Di sekolah lain bahkan diterapkan peraturan. Siapa saja siswa yang telibat tawuran, maka sanksinya adalah dikeluarkan dari sekolah. Sepintas terlihat kejam, tapi hasilnya dahsyat. Tak ada satupun siswa yang mau tawuran antar pelajar. Kalaupun ada, hanya perkelahian kecil saja antar sesama siswa. Tak menjalar ke sekolah lain sehingga menyebabkan tawuran.
Pak dedi dwitagama kepala SMKN 29 Jakarta, sudah mempraktekkannya di sekolah SMKN 29 yang dipimpinnya. Tak ada anak yang berani tawuran, karena sanksinya dikeluarkan dari sekolah. Kepala sekolah harus tegas, dan membuat aturan di tahun ajaran baru. Merekapun sebagai pelajar harus tanda tangan dengan materai 6000 sebagai bukti perjanjian mereka dengan sekolah. Bila melanggar, cukup diperlihatkan saja perjanjian yang sudah mereka tanda tangani. Dari sisi hukum sekolah menang, dan tak ada lagi siswa yang berani tawuran apapun alasannya.
Di sekolah Labshool Jakarta tempat penulis mendidik anak bangsa, tak ada perjanjian siswa dikeluarkan dari sekolah karena tawuran pelajar. Namun kami fokus dengan pendidikan karakter yang sudah masuk dalam budaya sekolah kami. Iman, ilmu, dan amal bukan hanya slogan semata. Semua itu diterapkan dalam kegiatan akademis dan non akademis. Alhasil, sekolah kami tak pernah telibat tawuran antar pelajar sekolah lain. Kalaupun ada terjadi, itu semua sudah diantisipasi oleh para wakil kepala sekolah bidang kesiswaan.
Tawuran pelajar terjadi, karena anak belum menemukan potensi unik dalam dirinya. Akhirnya, potensi itu menjadi liar dan tak terkendali. Akibatnya, anak merasa menjadi jagoan, dan tak ada orang lain yang lebih jago darinya. Bila guru tak mampu menjadi pemandu untuk anak-anak ini, maka berakibat mereka tak menemukan minat dan bakatnya. Pada akhirnya, kenakalan remaja yang terjadi. Mereka merasa tidak puas dengan keadaan di sekelilingnya. Bila itu terjadi, sekolah menjadi beban buat mereka, dan bukan tantangan untuk meraih manisnya ilmu. Sekolah tak ubahnya seperti hutan belantara, dimana yang kuat dia yang berkuasa. Padahal seharusnya, sekolah menjadi peradaban ilmiah karena ada suasana menyenangkan di rumah keduanya. Sekolah harus menjadi rumah kedua buat peserta didik kita.
Akhirnya, tawuran pelajar yang menyedihkan harus kita sikapi dengan bijaksana. Semua anak adalah juara, dan guru di sekolah harus mampu mengembangkan potensi unik mereka. Para orang tua harus lebih memperhatikan buah hatinya, dan harus mampu menjadi idola buat putra/putrinya. Bila anak bangga dengan kedua orang tuanya, maka diapun akan bangga dengan dirinya yang melahirkan prestasi dari apa yang diminatinya.
Salam blogger persahabatan
Omjay
http://wijayalabs.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H