Suasana sekolah sudah sepi. Satu persatu siswa meninggalkan kelasnya. Begitupun dengan teman-teman guru di sekolahku. Tinggal aku sendiri yang masih sibuk ketik mengetik di laptop kesayanganku.
Aku mencoba merangkai kata. Berupaya menceritakan kisahku yang pilu. Sebuah kisah tentang perjuangan seorang guru. Pergi di waktu subuh dan pulang  setelah isya. Kata orang, pergi pagi pulang petang penghasilan pas-pasan.
Sungguh malang benar nasibku. Tiap hari berbagi ilmu kepada anak bangsa. Tapi kenapa aku miskin? Gajiku tak lebih dari seorang pembantu rumah tangga tetanggaku di rumah. Bahkan gajiku masih di bawah UMR!
Bah! Aku tak boleh bermental pengeluh. Aku miskin karena salahku. Tak perlulah lirak lirik menyalahkan orang lain. Kalau saja aku kreatif dan menjadi guru idola di sekolahku, tentu gajiku tak sekecil ini. Aku tak hanya bergantung pada jam mengajar. Bila aku mengajar banyak dengan jam yang banyak, maka besarlah gajiku bulan ini. Tetapi bila jam mengajarku sedikit, maka sedikit pula gajiku.
Aku berputar-putar dalam lamunanku. Mencari akal untuk menambah pemasukan. Masih kuingat putri bungsuku berkata, "ayah ontot minta beliin susu ya!".
Aku termangu. Tinggal lima ribu perak duit di dompetku. Mana cukup untuk beli susu anakku. Sudah begitu, bensin motor tuaku sudah hampir sekarat. Kalau tak diisi, bisa campur dorong untuk sampai ke rumahku. Orang bilang aku tinggal di BSD. Bekasi Sonoan Dikit.
Suasana sekolah semakin sepi saja. Tinggal aku yang benar-benar sendiri.
Tiba-tiba pintu ruangan diketuk penjaga sekolah.
"maaf pak sudah waktunya bapak pulang, " begitulah pak Marno penjaga sekolahku mengingatkan.
Dalam kepasrahan itu, kulangkahkan kakiku ke masjid sekolah. Kuambil air wudhu, dan kuucapkan doa sesudahnya. Akupun setengah berlari menuju ruang sholat di lantai dua.
Di rumah Allah itu aku menangis. Aku menangis sesunggukkan. Aku menangis tersedu-sedu. Kemana lagi uang kucari untuk membeli susu anakku? Kuberdoa dengan khusyu, bahkan sangat khusyu dari biasanya. Kuingat pesan kiyai, "Jadikanlah sabar dan sholat sebagai penolongmu".
Tak terasa semakin malam aku berada di rumah Allah ini. Belum kutemukan jawaban atas doa-doaku. Belum kutemukan sebuah mukjijat ada di depanku.
Seandainya aku berada dalam negeri para pemimpi, mungkin sekotak susu untuk anakku sudah ada di depan mataku. Akupun akan tersenyum karena karena begitu mudah mendapatkan sekardus susu.
Di pojokan masjid aku temukan sebuah surat kabar. Tiba-tiba saja, aku tertarik membaca berita sebuah koran. Aku temukan dalam himpitan sajadah panjang di pojokan masjid. Mungkin ada yang sholat waktu itu, dan korannya terlupa untuk dibawa.
Aku baca berita yang sungguh menyedihkan. Seorang mahasiswa membakar dirinya di depan istana. Sungguh menyeramkan dan menyedihkan. Baginya negara sudah tidak ada. Negara sudah tak mengurus rakyatnya lagi. Negara tak mendengar jeritan rakyatnya yang menderita kemiskinan dan kebodohan. Negara sudah tak peduli lagi dengan nasib kami yang papa.
Akupun terdiam setelah membaca berita di koran itu. Kutanggalkan satu persatu bajuku. Kufoto diriku dalam keadaan bugil. Lalu kuambil korek api untuk membakar rokokku yang memang tinggal sebatang. Akupun berpikir. Haruskah aku membakar diriku? Haruskah aku menghanguskan diriku karena tak mampu beli susu untuk anakku? Atau haruskah foto bugil ini yang kutayangkan?
[caption id="" align="aligncenter" width="496" caption="http://images.wikia.com/bajing-pedia/id/images/5/59/Baby-hitler.jpg"][/caption]
Salam Blogger Persahabatan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H